SETIAP MANUSIA
WAJIB BERSEDEKAH
عَنْ أَبِـيْ هُرَيْرَةَ
رَضِيَ اللهُ عَنْهُ ، قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللّٰـهِ صَلَّى اللّٰـهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ : كُلُّ سُلَامَـى مِنَ النَّاسِ عَلَيْهِ صَدَقَةٌ كُلَّ يَوْمٍ
تَطْلُعُ فِيْهِ الشَّمْسُ : تَعْدِلُ بَيْنَ اثْنَيْنِ صَدَقَةٌ ، وَتُعِيْنُ
الرَّجُلَ فِـيْ دَابَّتِهِ فَتَحْمِلُهُ عَلَيْهَا ، أَوْ تَرْفَعُ لَهُ
عَلَيْهَا مَتَاعَهُ صَدَقَةٌ ، وَالْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ ، وَبِكُلِّ
خُطْوَةٍ تَـمْشِيْهَا إِلَـى الصَّلاَةِ صَدَقَةٌ ، وَتُـمِيْطُ اْلأَذَىٰ عَنِ
الطَّرِيْقِ صَدَقَةٌ. (رَوَاهُ الْـبُخَارِيُّ وَمُسْلِمٌ)
Dari Abu
Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Setiap persendian manusia wajib bersedekah pada setiap hari
di mana matahari terbit di dalamnya: engkau berlaku adil kepada dua orang (yang
bertikai/berselisih) adalah sedekah, engkau membantu seseorang menaikannya ke
atasnya hewan tunggangannya atau engkau menaikkan barang bawaannya ke atas
hewan tunggangannya adalah sedekah, ucapan yang baik adalah sedekah, setiap
langkah yang engkau jalankan menuju (ke masjid) untuk shalat adalah sedekah,
dan engkau menyingkirkan gangguan dari jalan adalah sedekah.’” [HR. al-Bukhâri
dan Muslim]
TAKHRIJ
HADITS
Hadits ini
shahîh, diriwayatkan oleh:
Al-Bukhâri no. 2707, 2891, 2989
Muslim no. 1009 (56)
Ahmad 2/312, 316, 374
Ibnu Hibbân no. 3372-at-Ta’lîqâtul Hisân
Al-Baihaqi 4/187-188
Al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah no. 1645
SYARAH HADITS
1.
KEAGUNGAN CIPTAAN ALLAH AZZA WA JALLA
Allah Azza
wa Jalla telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. Allah Azza
wa Jalla berfirman:
لَقَدْ خَلَقْنَا
الْإِنْسَانَ فِي أَحْسَنِ تَقْوِيمٍ
Sungguh,
Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. [at-Tîn/95:4]
Dalam
hadits dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
إِنَّهُ خُلِقَ كُلُّ
إِنْسَانٍ مِنْ بَنِـى آدَمَ عَلَـىٰ سِتِّيْنَ وَثَلاَثِ مِئَةِ مَفْصِلٍ :
فَمَنْ كَبَّرَ اللّٰـهَ ، وَحَمِدَ اللّٰـهَ ، وَهَلَّلَ اللّٰـهَ ، وَسَبَّحَ
اللّٰـهَ ، وَاسْتَغْفَرَ اللّٰـهَ ، وَعَزَلَ حَجَرًا عَنْ طَرِيْقِ النَّاسِ ،
أَوْ شَوْكَةً ، أَوْ عَظْمًـا عَنْ طَرِيْقِ النَّاسِ ، وَأَمَرَ بِمَعْرُوْفٍ ،
أَوْ نَـهَىٰ عَنْ مُنْكَرٍ ، عَدَدَ تِلْكَ السِّتِّيْنَ وَالثَّلَاثِ
مِئَةِ السُّلَامَى ، فَإِنَّهُ يُمْسِيْ يَوْمَئِذٍ وَقَدْ زَحْزَحَ نَفْسَهُ
عَنِ النَّارِ.
Sesungguhnya
anak keturunan Adam diciptakan di atas 360 persendian. Barang-siapa bertakbir
kepada Allah, memuji Allah, bertahlil kepada Allah, bertasbih kepada Allah,
menyingkirkan batu dari jalanan kaum Muslimin, atau menyingkirkan duri, atau
menyingkirkan tulang, atau menyuruh kepada kebaikan, atau melarang dari
kemungkaran setara dengan jumlah 360 persendian, maka pada sore harinya ia
menjauhkan dirinya dari neraka.[1]
Abu ‘Ubaid
rahimahullah berkata, “Pada asalnya sulâma (persendian) ialah tulang di ujung
kuku unta. Sepertinya makna hadits tersebut ialah setiap tulang anak keturunan
Adam wajib bersedekah.”[2]
Abu ‘Ubaid
rahimahullah mengisyaratkan bahwa sulâma adalah salah satu tulang kecil
di unta kemudian ia mengungkapkannya untuk seluruh persendian manusia dan
lain-lain. Sehingga makna hadits ini menurutnya, bahwa setiap persendian anak
keturunan Adam wajib bersedekah.
Di dalam
hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma disebutkan bahwa jumlah persendian manusia ialah
360 buah.[3]
2. WAJIB
BERSYUKUR ATAS NIKMAT ALLAH AZZA WA JALLA
Sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Setiap persendian manusia wajib
bersedekah.”
Makna
hadits ini ialah bahwa penyusunan tulang-tulang dan kesempurnaannya termasuk
nikmat-nikmat Allah Azza wa Jalla yang paling besar pada hamba-Nya. Oleh karena
itu setiap tulang harus bersedekah; dan pemiliknya bersedekah mewakili setiap
tulang yang ada pada dirinya, agar menjadi syukur atas nikmat
tersebut.[4]
Allah Azza
wa Jalla berfirman:
يَا أَيُّهَا الْإِنْسَانُ
مَا غَرَّكَ بِرَبِّكَ الْكَرِيمِ﴿٦﴾الَّذِي خَلَقَكَ فَسَوَّاكَ فَعَدَلَكَ﴿٧﴾فِي
أَيِّ صُورَةٍ مَا شَاءَ رَكَّبَكَ
Wahai
manusia! Apakah yang telah memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap
Rabb-mu Yang Maha Mulia? Yang telah menciptakanmu lalu menyempurnakan
kejadianmu dan menjadikan (susunan tubuh)mu seimbang, dalam bentuk apa saja
yang dikehendaki, Dia menyusun tubuhmu.” [al-Infithâr/82:6-8]
Allah Azza
wa Jalla berfirman:
قُلْ هُوَ الَّذِي
أَنْشَأَكُمْ وَجَعَلَ لَكُمُ السَّمْعَ وَالْأَبْصَارَ وَالْأَفْئِدَةَ ۖ
قَلِيلًا مَا تَشْكُرُونَ
Katakanlah,
“Dia-lah yang menciptakan kamu dan menjadikan pendengaran, penglihatan, dan
hati nurani bagi kamu. (Tetapi) sedikit sekali kamu bersyukur.” [al-Mulk/67:23]
Allah Azza
wa Jalla berfirman:
أَلَمْ نَجْعَلْ لَهُ
عَيْنَيْنِ﴿٨﴾وَلِسَانًا
Bukankah
Kami telah menjadikan untuknya sepasang mata dan lidah serta sepasang bibir?
[al-Balad/90:8-9]
Mujahid
rahimahullah berkata, “Nikmat-nikmat dari Allah Azza wa Jalla terlihat dengan
jelas dan Allah Azza wa Jalla menegaskannya kepadamu agar engkau bersyukur.”[5]
Pada suatu
malam Fudhail bin ‘Iyâdh membaca ayat tersebut al-Balad/80:8-9 kemudian
menangis. Ia ditanya: “Mengapa menangis?” Ia menjawab, “Apakah engkau pernah
bermalam pada suatu malam dalam keadaan bersyukur kepada Allah Azza wa Jalla
yang telah menciptakan dua mata untukmu kemudian engkau melihat dengan
keduanya? Apakah engkau pernah bermalam pada suatu malam dalam keadaan
bersyukur kepada Allah Azza wa Jalla yang telah menciptakan lidah untukmu
sehingga engkau bisa berbicara dengannya?…” al-Fudhail mengulang-ulang contoh
tersebut.[6]
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
نِعْمَتَانِ مَغْبُوْنٌ
فِيْهِمَـا كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ : الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ
Dua nikmat
di mana kebanyakan manusia tertipu dengan keduanya: kesehatan dan waktu
luang.[7]
Ini semua
termasuk nikmat-nikmat Allah Azza wa Jalla dan manusia akan ditanya tentang
syukur terhadapnya pada hari Kiamat dan dimintai pertanggung jawaban,[8]
seperti firman Allah Azza wa Jalla ”
ثُمَّ لَتُسْأَلُنَّ
يَوْمَئِذٍ عَنِ النَّعِيمِ
Kemudian
kamu benar-benar akan ditanya pada hari itu tentang kenikmatan (yang megah di
dunia itu). [At-Takâtsur/102:8]
Maksudnya,
Allah Azza wa Jalla menganugerahkan kepada hamba-hamba-Nya nikmat-nikmat yang
tidak bisa mereka hitung, seperti firman Allah Azza wa Jalla :
وَآتَاكُمْ مِنْ كُلِّ مَا
سَأَلْتُمُوهُ ۚ وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا ۗ
إِنَّ الْإِنْسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ
Dan Dia
telah memberikan kepadamu segala yang kamu mohonkan kepada-Nya. Dan jika kamu
menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak dapat menghitungnya. Sungguh,
manusia itu sangat zhalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).”
[Ibrâhîm/14:34]
Selain itu,
Allah Azza wa Jalla menuntut mereka bersyukur dan meridhai syukur mereka. Ada
yang berpendapat bahwa jika Allah Azza wa Jalla memberi salah satu nikmat
kepada seorang hamba kemudian ia memuji Allah Azza wa Jalla atas nikmat
tersebut, maka pujiannya kepada Allah Azza wa Jalla lebih baik daripada nikmat-Nya.
Para Ulama
membenarkan bahwa pujian lebih baik daripada nikmat, karena yang dimaksud
dengan nikmat-nikmat tersebut ialah nikmat-nikmat dunia, seperti kesembuhan,
rezeki, kesehatan, dijaga dari hal-hal yang tidak mengenakkan dan lain
sebagainya, sedangkan perkataan alhamdulillâh merupakan salah satu nikmat
agama. Kedua nikmat tersebut: nikmat dunia dan nikmat agama adalah nikmat dari
Allah Azza wa Jalla , namun nikmat agama kepada hamba-Nya dalam bentuk
memberikan petunjuk untuk mensyukuri nikmat-nikmat-Nya dan memuji atas
nikmat-nikmat-Nya itu lebih baik daripada nikmat-nikmat dunia yang Dia berikan
kepada hamba-hamba-Nya. Karena jika nikmat-nikmat dunia tidak disikapi dengan
syukur, maka nikmat dunia tersebut menjadi petaka, seperti dikatakan Ibnu Hâzim
rahimahullah :
كُلُّ نِعْمَةٍ لاَ تُقَرِّبُ
مِنَ اللّٰـهِ ؛ فَهِيَ بَلِيَّةٌ
Setiap
nikmat yang tidak mendekatkan pemiliknya kepada Allah adalah petaka.[9]
Jadi, jika
Allah Azza wa Jalla membimbing hamba-Nya untuk mensyukuri nikmat-nikmat dunia
yang diberikan-Nya dengan pujian dan jenis-jenis syukur lainnya, maka nikmat
itu lebih baik daripada seluruh nikmat dan lebih dicintai Allah Azza wa Jalla ,
karena Allah Azza wa Jalla mencintai puji-pujian, meridhai
hamba-hamba-Nya yang jika makan lalu memuji Allah Azza wa Jalla atas nikmat
makanan tersebut. Bagi orang-orang dermawan, sanjungan terhadap nikmat-nikmat,
pujian atasnya, dan mensyukurinya, itu lebih mereka cintai daripada harta yang
mereka berikan; karena mereka memberikan harta justru untuk mendapatkan
sanjungan. Allah Azza wa Jalla adalah Dzat yang Maha Dermawan. Dia memberikan
nikmat-nikmat-Nya kepada hamba-hamba-Nya dengan meminta mereka menyanjung
nikmat-nikmat tersebut, menyebut-nyebutnya, memujinya, dan Dia meridhai itu
semua sebagai syukur mereka atasnya. Meskipun itu semua berasal dari Allah Azza
wa Jalla kepada mereka, Dia tidak membutuhkan syukur mereka; namun Dia menyukai
yang dikerjakan hamba-hamba-Nya karena kebaikan, keberuntungan, dan
kesempurnaan seorang hamba itu berada pada syukur.
Di antara
karunia Allah Azza wa Jalla ialah bahwa Dia mengatas-namakan pujian dan syukur
kepada hamba-hamba-Nya, kendati itu nikmat-Nya yang paling agung pada mereka.
Ini seperti Allah Azza wa Jalla memberi harta kepada mereka; kemudian Dia
meminjam sebagiannya dan memuji mereka karena tindakan mereka, padahal semua
yang ada adalah milik Allah Azza wa Jalla dan merupakan karunia-Nya. Namun,
karunia-Nya menghendaki hal yang demikian.[10]
Zhahir
hadits ini menunjukkan bahwa syukur dengan sedekah itu wajib bagi seorang
Muslim di setiap hari, namun syukur terbagi ke dalam dua tingkatan:
Pertama:
Syukur wajib.
Yaitu
syukur dalam bentuk mengerjakan kewajiban-kewajiban dan menjauhi
larangan-larangan. Syukur seperti ini wajib dan sudah cukup sebagai tanda
syukur atas seluruh nikmat.
Salah
seorang generasi Salaf berkata, “Syukur ialah meninggalkan
kemaksiatan-kemaksiatan.” Salah seorang dari generasi Salaf lainnya mengatakan,
“Syukur ialah tidak menggunakan salah satu nikmat untuk kemaksiatan.” [11]
Abu Hâzim
az-Zâhid rahimahullah menyebutkan bahwa syukur ialah dengan seluruh anggota
tubuh, menahan diri dari kemaksiatan-kemaksiatan; dan menggunakan semua organ
tubuh untuk melakukan ketaatan-ketaatan. Setelah itu ia berkata, “Adapun orang
bersyukur dengan lisannya, namun tidak bersyukur dengan seluruh organ tubuhnya,
maka perumpamaannya seperti orang yang mempunyai pakaian; ia memegang ujungnya,
namun tidak mengenakannya. Pakaian seperti itu tidak bermanfaat baginya dari
panas, dingin, dan hujan.”[12]
Kedua:
Syukur sunnah.
Maksudnya
seorang hamba mengerjakan ibadah-ibadah sunnah setelah mengerjakan
ibadah-ibadah wajib dan menjauhi hal-hal yang diharamkan.
Ini adalah
tingkatan para as-sâbiqûn (orang-orang yang terdahulu dalam kebaikan) yang
didekatkan kepada Allah Azza wa Jalla . Tingkatan inilah yang telah disebutkan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang telah disebutkan
sebelumnya.[13]
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersungguh-sungguh dalam shalat dan qiyâmul lail
(shalat malam) hingga kedua kakinya bengkak. Ketika beliau ditanya, “Mengapa
engkau berbuat seperti ini, padahal Allah Azza wa Jalla telah mengampuni dosamu
yang telah lalu dan yang akan datang?” Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
أَفَلاَ أَكُوْنُ عَبْدًا
شَكُوْرًا ؟
Apakah aku
tidak boleh menjadi hamba yang banyak bersyukur?[14]
Shalat
Tahajjud adalah sunnah, namun beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap
melaksanakannya sebagai rasa syukur kepada Allah Azza wa Jalla . Ada sebagian
amal yang disebutkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah wajib, baik
fardhu ‘ain, seperti berjalan menuju shalat wajib berjama’ah, atau fardhu
kifâyah, seperti amar ma’ruf nahi munkar, menolong orang yang kelaparan, dan
adil terhadap manusia dalam memutuskan perkara mereka atau mendamaikan
mereka.[15]
3.
MENDAMAIKAN DUA PIHAK YANG SEDANG BERTIKAI (BERSELISIH)
Sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam , “Engkau berlaku adil di antara dua
orang (yang bertikai/berselisih) adalah sedekah.”
Maksudnya,
berlaku adil dalam memberikan keputusan atau berlaku adil dalam mendamaikan dua
orang yang sedang bermusuhan. Ini termasuk sedekah yang memiliki keutamaan yang
besar karena kebaikannya dirasakan orang lain, dan dengannya luka-luka dalam
masyarakat menjadi terkumpul sehingga menjadi bagaikan satu tubuh yang sehat
dan selamat.
Tentang
anjuran untuk mengerjakan amalan seperti ini terdapat pada banyak nash (dalil)
yang harus disebutkan di sini; karena sebagian kaum Muslimin meremehkan masalah
mendamaikan antara kaum Muslimin ketika terjadi permusuhan.[16] Padahal
ishlâh (mendamaikan) orang berselisih termasuk seutama-utamanya sedekah.
Mendamaikan dua orang yang sedang berselisih pahalanya sangat besar jika
dilakukan dengan ikhlas. Allah Azza wa Jalla berfirman:
لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ
نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ
النَّاسِ ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ فَسَوْفَ
نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
Tidak ada
kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia, kecuali pembicaraan rahasia dari orang
yang menyuruh (orang) bersedekah, atau berbuat kebaikan, atau mengadakan
perdamaian di antara manusia. Barangsiapa berbuat demikian karena mencari
keridhaan Allah, maka kelak Kami akan memberinya pahala yang besar.”
[an-Nisâ’/4:114]
Maksudnya,
kecuali pembicaraan rahasia orang yang berkata demikian.[17]
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
أَلاَ أُخْبِرُكُمْ
بِأَفْضَلَ مِنْ دَرَجَةِ الصِّيَامِ ، وَالصَّلاَةِ ، وَالصَّدَقَةِ ؟ قَالُوْا :
بَلَـى ، قَالَ : صَلاَحُ ذَاتِ الْبَيْنِ ، فَإِِنَّ فَسَادَ ذَاتِ الْبَيْنِ
هِيَ الْـحَالِقَةُ ، لاَ أَقُوْلُ تَـحْلِقُ الشَّعَرَ ، وَلٰكِنْ تَـحْلِقُ
الدِّيْنَ
Maukah aku
beritahukan kepada kalian sesuatu yang lebih baik daripada derajat puasa,
shalat, dan sedekah? Para Sahabat menjawab, “Ya.” Beliau bersabda, “Mendamaikan
hubungan (dua orang yang bertikai), karena kerusakan hubungan adalah pemotong.
Aku tidak mengatakan memotong rambut, tetapi memotong agama.[18]
Maka
mengadakan perdamaian di antara manusia adalah ibadah dan amal taqarrub oleh
orang-orang yang bertakwa.
Allah Azza
wa Jalla berfirman:
وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ
مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ
يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا ۚ وَالصُّلْحُ خَيْرٌ
Jika
seorang wanita khawatir dari suaminya akan nusyuz atau bersikap tidak acuh,
maka keduanya dapat mengadakan perdamaian yang sebenarnya, dan perdamaian itu
lebih baik (bagi mereka)…” [an-Nisâ’/4:128]
Ayat ini
menunjukkan bahwa berdamai antara suami-istri lebih baik daripada berpisah
(cerai). Sebab, perceraian menimbulkan banyak bahaya. Oleh karena itu, boleh
bagi seorang istri menggugurkan haknya atau sebagian haknya dari suami baik
berupa nafkah atau lainnya, jika ia khawatir suaminya akan pisah (cerai)
darinya atau berpaling darinya.
Allah Azza
wa Jalla berfirman:
فَاتَّقُوا اللَّهَ
وَأَصْلِحُوا ذَاتَ بَيْنِكُمْ
Maka
bertakwalah kepada Allah dan perbaikilah hubungan di antara sesamamu
[al-Anfâl/8:1]
Ayat ini
menunjukkan diperintahkannya mengadakan perdamaian dan melarang saling
menzhalimi dan saling bermusuhan.
Allah Azza
wa Jalla berfirman:
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ
الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا ۖ فَإِنْ بَغَتْ
إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَىٰ فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّىٰ تَفِيءَ
إِلَىٰ أَمْرِ اللَّهِ ۚ فَإِنْ فَاءَتْ فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا
بِالْعَدْلِ وَأَقْسِطُوا ۖ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Dan apabila
ada dua golongan orang Mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika
salah satu dari keduanya berbuat zhalim terhadap (golongan yang lain, maka
perangilah (golongan) yang berbuat zhalim itu sehingga golongan itu kembali
kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah),
maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlaku adillah. Sungguh,
Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.” [al-Hujurât/49:9]
Ayat ini
memerintahkan untuk mengadakan perdamaian ketika terjadi perselisihan dan
peperangan di antara kaum Mukminin.[19]
Dari Abu
Bakrah Radhiyallahu anhu, bahwa pada suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam berkhutbah di atas mimbar, saat bersama al-Hasan bin ‘Ali
Radhiyallahu anhuma . Beliau sesekali melihat kepadanya dan sesekali melihat
kepada manusia seraya bersabda:
إِنَّ ابْنِـيْ هٰذَا سَيِّدٌ
، وَلَعَلَّ اللّٰـهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ عَظِيْمَتَيْنِ مِنَ
الْـمُسْلِمِيْنَ
Sesungguhnya
cucuku ini adalah pemimpin. Mudah-mudahan dengan perantaraannya Allah Azza wa
Jalla mendamaikan antara dua kelompok yang besar dari kaum Muslimin.[20]
Apa yang
beliau sabdakan pun terjadi; sehingga Allah Azza wa Jalla mendamaikan antara
penduduk ‘Irak dan penduduk Syam setelah terjadi perang berkepanjangan (Perang
Shiffin).
Dalam
hadits ini terdapat isyarat yang agung tentang anjuran mendamaikan antara kaum
Muslimin, meskipun dengan cara seseorang menyerahkan sebagian dari haknya. Oleh
karena itulah, Allah Azza wa Jalla memuji al-Hasan bin ‘Ali Radhiyallahu
anhuma, karena dia menyerahkan jabatannya kepada Mu’âwiyah bin Abi Sufyân
sebagai khalifah, sehingga kedua kelompok bersatu di bawah kepemimpinan
Mu’âwiyah.[21]
Dari Ummu
Kultsûm binti ‘Uqbah bin Abi Mu’aith Radhiyallahu anha, ia berkata, “Aku
mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لَيْسَ الْكَذَّابُ الَّذِيْ
يُصْلِحُ بَيْنَ النَّاسِ فَيَنْمِي خَيْرًا أَوْ يَقُوْلُ خَيْرًا
Tidak
termasuk orang berdusta seseorang yang mendamaikan antara manusia, ia
menyampaikan kebaikan (dengan maksud mendamaikan) atau mengatakan kebaikan.[22]
Para Ulama
berkata, “Yang dimaksud dalam hadits ini, adalah menyampaikan
kebaikan-kebaikan orang yang bertikai/berselisih dan diam
(menutupi) tentang kejelekan orang tersebut. Ini tidak dikatakan dusta.”
Hadits ini
menunjukkan disyari’atkannya mendamaikan antara manusia dan dibolehkannya
berbohong dengan tujuan mendamaikan pihak yang bertikai atau berselisih.[23]
Imam
ath-Thabari rahimahullah berkata, “Sebagian Ulama berpendapat bolehnya
berbohong dengan maksud mengadakan perdamaian. Mereka berkata: “Dusta yang
dicela hanyalah dusta yang mendatangkan mudharat atau dusta yang tidak ada
maslahatnya sama sekali.”[24]
Imam
al-Bukhâri rahimahullah berkata, “Tidak termasuk orang yang berdusta;
seseorang yang mendamaikan antara manusia.”[25]
4. MENOLONG
DAN MEMBANTU SESAMA MUSLIM
Sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Engkau membantu seseorang
menaikkannya ke atas hewan tunggangannya atau engkau menaikkan barang bawaannya
ke atas hewan tunggangannya adalah sedekah.”
Ini termasuk
sedekah yang disyari’atkan sebagai kewajiban mensyukuri nikmat diberikannya
persendian. Sehingga menolong seorang Muslim untuk naik ke atas
kendaraannya atau membantunya mengangkat barang bawaannya ke atas kendaraannya
termasuk sedekah. Demikian pula seorang Muslim diberikan ganjaran pahala atas
setiap bantuan yang dilakukannya untuk saudaranya sesama Muslim. Allah Azza wa
Jalla memerintahkan kita untuk saling menolong dengan firman-Nya:
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ
وَالتَّقْوَىٰ
Dan
tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebaikan dan takwa. [al-Mâidah/5:2]
Sudah
diketahui bersama bahwa tolong-menolong dapat menuntaskan berbagai kesulitan
dan kesusahan. Seorang manusia tidak akan mampu mengerjakan semua urusannya
tanpa bantuan saudaranya. Dan saling tolong-menolong dapat menyebarkan
kecintaan antara kaum Muslimin, sedangkan Allah Azza wa Jalla memerintahkan
kita untuk saling cinta mencintai.[26]
Di antara
contoh menolong orang lain yang merupakan bentuk sedekah ialah menunaikan
hak-hak seorang Muslim atas seorang Muslim lainnya. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى
الْمُسْلِمِ خَمْسٌ : رَدُّ السَّلاِمِ ، وَعَيَادَةُ الْـمَرِيْضِ ، وَاتِّبَاعُ
الْـجَنَازَةِ ، وَإِجَابَةُ الدَّعْوَةِ ، وَتَشْمِيْتُ الْعَاطِسِ
Hak seorang
Muslim atas Muslim yang lainnya ada lima: menjawab ucapan salam, menjenguk
orang yang sakit, mengiringi jenazah, memenuhi undangan, dan mendoakan orang
yang bersin.
Dalam
riwayat Muslim disebutkan:
حَقُّ الْمُسْلِمِ عَلَى
الْمُسْلِمِ سِتٌّ : قِيْلَ : مَا هُنَّ يَا رَسُوْلَ اللهِ ؟ قَالَ : إِذَا
لَقِيْتَهُ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ ، وَإِذَا دَعَاكَ فَأَجِبْهُ ، وَإِذَا
اسْتَنْصَحَكَ فَانْصَحْ لَهُ ، وَإِذَا عَطَسَ فَحَمِدَ اللهَ فَشَمِّتْهُ ،
وَإِذَا مَرِضَ فَعُدْهُ ، وَإِذَا مَاتَ فَاتْبَعْهُ
Hak orang
Muslim atas Muslim lainnya ada enam.” Ditanyakan, “Apa saja keenam hak
tersebut, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Jika engkau bertemu dengannya
maka engkau mengucapkan salam kepadanya, jika ia mengundangmu maka engkau
memenuhinya, jika ia meminta nasihat kepadamu maka nasihatilah dia, jika ia
bersin kemudian memuji Allah maka doakan dia (dengan ucapan: yarhamukallâh),
jika ia sakit maka jenguklah, dan jika ia meninggal dunia maka antarkan
(jenazah)nya.”[27]
Di antara
bentuk sedekah yang lainnya ialah berjalan untuk melaksanakan hak-hak manusia
yang bersifat wajib. Ibnu ‘Abbâs Radhiyallahu anhu berkata, “Barangsiapa
berjalan karena hak saudaranya padanya untuk menunaikannya, maka setiap
langkahnya adalah sedekah.”[28]
Jenis
menolong sesama Muslim lainnya yang juga termasuk sedekah ialah memberikan
tempo kepada orang yang berhutang yang mengalami kesulitan pembayaran utang.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَنْظَرَ مُعْسِرًا ؛
فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ صَدَقَةٌ قَبْلَ أَنْ يَـحِلَّ الدَّيْنُ ، فَإِذَا حَلَّ
الدَّيْنُ ، فَأَنْظَرَهُ بَعْدَ ذٰلِكَ ؛ فَلَهُ بِكُلِّ يَوْمٍ مِثْلَهُ
صَدَقَةٌ
Barangsiapa
memberi tempo waktu kepada orang yang berutang yang mengalami kesulitan
membayar utang, maka ia mendapatkan sedekah pada setiap hari sebelum tiba waktu
pembayaran. Jika waktu pembayaran telah tiba kemudian ia memberi tempo lagi
setelah itu kepadanya, maka ia mendapat sedekah pada setiap hari
semisalnya.[29]
5. BERTUTUR
KATA YANG BAIK
Sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Ucapan yang baik adalah sedekah.”
Masuk dalam
ucapan yang baik ialah menjawab salam dan menolak orang yang minta-minta dengan
perkataan yang baik. Kemudian berdzikir kepada Allah Azza wa Jalla ,
mengucapkan perkataan yang benar, amar ma’ruf nahi munkar, memberikan syafâ’at
(pertolongan) bagi orang yang membutuhkan terhadap penguasa, nasihat dan
bimbingan, dan setiap perkataan dan ucapan yang dapat membuat orang lain
bergembira dan menyatukan hati di atas setiap kebaikan dan petunjuk.[30]
Allah Azza
wa Jalla berfirman:
قَوْلٌ مَعْرُوفٌ
وَمَغْفِرَةٌ خَيْرٌ مِنْ صَدَقَةٍ يَتْبَعُهَا أَذًى
Perkataan
yang baik dan pemberian maaf lebih baik daripada sedekah yang diiringi tindakan
menyakiti [al-Baqarah/2:263]
Allah Azza
wa Jalla berfirman:
إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ
الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ
Kepada-Nya-lah
akan naik perkataan-perkataan yang baik dan amal kebajikan Dia akan
mengangkatnya [Fâthir/35:10]
Allah Azza
wa Jalla berfirman:
مَنْ يَشْفَعْ شَفَاعَةً
حَسَنَةً يَكُنْ لَهُ نَصِيبٌ مِنْهَا
Barangsiapa
memberikan pertolongan dengan pertolongan yang baik, niscaya dia akan
memperoleh bagian dari (pahala)nya [an-Nisâ’/4:85]
6.
KEUTAMAAN BERJALAN MENUJU MASJID UNTUK SHALAT BERJAMA’AH
Sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Setiap langkah yang engkau jalankan
menuju shalat adalah sedekah.”
Hadits ini
menganjurkan kita pergi ke masjid-masjid Allah Azza wa Jalla untuk berkumpul
dan berjama’ah, mempelajari ilmu, memberikan nasihat, dan i’tikaf.[31]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ غَدَا إِلَى الْمَسْجِدِ
أَوْ رَاحَ أَعَدَّ اللّٰهُ لَهُ فِي الْجَنَّةِ نُزُلاً كُلَّمَا غَدَا أَوْ
رَاحَ
Barangsiapa
pergi di pagi hari atau di sore hari menuju masjid, maka Allah akan menyediakan
baginya sebuah tempat tinggal di surga setiap kali ia pergi di pagi hari atau
di sore hari (menuju masjid).[32]
Dari Jâbir
bin ‘Abdillâh Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Bani Salimah ingin pindah ke
dekat masjid, sedangkan tempat tersebut kosong. Ketika hal itu sampai kepada
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , maka beliau bersabda:
يَا بَنِيْ سَلِمَةَ !
دِيَارَكُمْ تُكْتَبْ آثَارُكُمْ
Wahai Bani
Salimah! Tetaplah di pemukiman kalian karena langkah-langkah kalian akan
dicatat.[33]
Imam
an-Nawawi rahimahullah berkata, “Maksudnya, tetaplah di pemukiman kalian!
Sebab, jika kalian tetap di pemukiman kalian, maka jejak-jejak dan
langkah-langkah kalian yang banyak menuju ke masjid akan dicatat.”[34]
7.
MENYINGKIRKAN GANGGUAN DARI JALAN
Sabda
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Dan engkau menyingkirkan gangguan
dari jalan adalah sedekah.”
Menghilangkan
apa saja yang mengganggu jalan kaum Muslimin, baik berupa duri, pecahan kaca,
batu besar, batang pohon yang menghalangi jalan; demikian juga, najis, kotoran,
sampah-sampah, dan selainnya; maka menyingkirkan semua itu termasuk sedekah dan
sebagai bukti nyata rasa syukur atas nikmat Allah Azza wa Jalla serta termasuk
bagian dari iman. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
اَْلإِيْمَـانُ بِضْعٌ
وَسَبْعُوْنَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّوْنَ شُعْبَةً ، فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لاَ إِلٰهَ
إِلاَّ اللّٰـهُ ، وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ اْلأَذَى عَنِ الطَّرِيْقِ،
وَالْـحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنَ اْلإِيْمَـانِ
Iman
memiliki lebih dari tujuh puluh cabang atau lebih dari enam puluh cabang,
cabang; yang paling tinggi adalah perkataan: ‘Lâ ilâha illallâh’, yang paling
rendah adalah menyingkirkan duri (rintangan) dari jalan dan malu adalah salah
satu cabang Iman.[35]
8. SHALAT
DHUHA MEMENUHI TUNTUTAN UNTUK BERSYUKUR ATAS KESEMPURNAAN ANGGOTA BADAN
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
يُصْبِحُ عَلَـىٰ كُلِّ
سُلَامَى مِنْ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ : فَكُلُّ تَسْبِيْحَةٍ صَدَقَةٌ ، وَكُلُّ
تَحْمِيْدَةٍ صَدَقَةٌ ، وَكُلُّ تَهْلِيْلَةٍ صَدَقًةٌ ، وَكُلُّ تَكْبِيْرَةٍ
صَدَقَةٌ ، وَأَمْرٌ بِالْمَعْرُوْفِ صَدَقَةٌ ، وَنَهْيٌ عَنِ الْمُنْكَرِ
صَدَقَةٌ ، وَيُجْزِءُ مِنْ ذٰلِكَ رَكْعَتَانِ يَرْكَعُهُمَا مِنَ الضُّحَـى
Pada pagi
hari, setiap persendian salah seorang dari kalian wajib bersedekah; setiap
tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap takbir adalah
sedekah, menyuruh berbuat baik adalah sedekah, melarang dari yang mungkar
adalah sedekah, dan itu semua cukup dengan dua raka’at shalat Dhuha yang ia
kerjakan.[36]
Dua raka’at
shalat Dhuha mencukupi tasbîh, tahlîl, dan lain-lain, karena shalat adalah
menggunakan seluruh organ tubuh dalam ketaatan dan ibadah. Jadi, shalat Dhuha
cukup sebagai tanda syukur atas kesempurnaan seluruh organ tubuh, sedang bentuk
sedekah sebelumnya: tasbîh, tahlîl, dan lain-lain, sebagian besar darinya hanya
menggunakan salah satu organ tubuh, oleh karenanya, sedekah tidak sempurna
dengannya hingga seseorang mengerjakan sedekah sejumlah persendian badan, yaitu
360 seperti disebutkan dalam hadits ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma.[37]
9.
MENGIKHLASKAN NIAT DALAM SEMUA SEDEKAH[38]
Niat yang
ikhlas hanya kepada Allah Azza wa Jalla dalam setiap amal kebaikan; dan sedekah
yang disebutkan dalam hadits ini atau yang lainnya adalah syarat untuk
mendapatkan pahala. Allah Azza wa Jalla berfirman:
لَا خَيْرَ فِي كَثِيرٍ مِنْ
نَجْوَاهُمْ إِلَّا مَنْ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوْ مَعْرُوفٍ أَوْ إِصْلَاحٍ بَيْنَ
النَّاسِ ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ فَسَوْفَ
نُؤْتِيهِ أَجْرًا عَظِيمًا
Tidak ada
kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia, kecuali pembicaraan rahasia dari
orang yang menyuruh (orang) bersedekah, atau berbuat kebaikan, atau mengadakan
perdamaian di antara manusia. Barangsiapa berbuat demikian karena mencari
keridhaan Allah, maka kelak Kami akan memberinya pahala yang besar.”
[an-Nisâ’/4:114]
FAWAID
HADITS
Keagungan ciptaan Allah Azza wa Jalla , yaitu menciptakan
manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya.
Setiap hari manusia wajib bersedekah; karena setiap
manusia berada di pagi hari dengan nikmat Allah Azza wa Jalla .
Wajib bersyukur kepada Allah Azza wa Jalla atas segala
nikmat-Nya dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi maksiat.
Matahari berputar mengelilingi bumi, karena ia terbit
dari timur dan terbenam di barat, dengan itu terjadilah pergantian siang dan
malam.
Keutamaan berlaku adil di antara dua orang, baik adil
dalam memberikan keputusan maupun adil dalam mengadakan perdamaian. Dengan
keadilan inilah tegaknya langit dan bumi.
Anjuran untuk mendamaikan antara manusia dengan adil
serta bermuamalah bersama mereka dengan akhlak yang mulia.
Seorang Muslim dianjurkan untuk membantu saudaranya
sesama Muslim; karena pertolongan kepada saudara sesama Muslim itu adalah
sedekah.
Anjuran untuk mengucapkan perkataan-perkataan yang baik.
Kata sedekah dimutlakkan untuk setiap perbuatan baik.
Pintu-pintu kebaikan yang mendekatkan diri kepada Allah
Azza wa Jalla banyak sekali; dan ini menunjukkan luasnya rahmat Allah Azza wa
Jalla .
Hadits ini menganjurkan kita untuk mengerjakan
amalan-amalan yang wajib dan yang sunnah karena ia merupakan sebab kecintaan
Allah Azza wa Jalla dan didekatkan kepada-Nya.
Dianjurkan mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla
dengan berbagai macam amal
Keutamaan berjalan menuju masjid untuk melaksanakan
shalat.
Wajibnya shalat berjama’ah di masjid bagi laki-laki.
Menyingkirkan gangguan dari jalan adalah sedekah.
Meletakkan atau melemparkan gangguan di jalan adalah
perbuatan dosa dan pelanggaran.
Haramnya membuat kerusakan di muka bumi.
Penentuan jumlah sendi-sendi manusia, yaitu 360 sendi.
MARAJI’
Al-Qur`ân dan terjemahnya.
Tafsîr Ibni Katsî
Shahîh al-Bukhâ
Shahîh Muslim
Musnad Imam Ahmad
Sunan Abu Dâwud
Sunan at-Tirmidzi
Sunan an-Nasâi
Sunan Ibnu Mâjah
Shahîh Ibnu Hibbân (at-Ta’lîqâtul Hisân).
Sunan al-Baihaqi.
Syarhus Sunnah lil Baghawi.
Fathul Bâri Syarh Shahîh al-Bukhâ
Syarah Shahîh Muslim lin Nawawi.
Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam, karya Ibnu Rajab al-Hanbali.
Tahqîq: Syu’aib al-Arnauth dan Ibrâhîm Bâ
Silsilah al-Ahâdîts ash-Shahîhah, karya Syaikh al-Albâ
Qawâ’id wa Fawâ-id minal ‘Arba’în an-Nawawiyyah, karya
Nâzhim Muhammad Sulthâ
Al-Wâfi fî Syarhil Arba’în an-Nawawiyyah, karya Dr.
Musthafa al-Bugha dan Muhyidin Mustha.
Syarhul Arba’în an-Nawawiyyah, karya Syaikh Muhammad bin
Shâlih al-‘Utsaimî
Bahjatun Nâzhirîn Syarh Riyâdhish Shâlihîn karya Syaikh
Sâlim bin ’Ied al-Hilâli
[Disalin
dari majalah As-Sunnah Edisi 08/Tahun XIII/1430H/2009M. Diterbitkan Yayasan
_______
Footnote
[1] Shahîh: HR. Muslim (no. 1007).
[2] Lihat Lisânul ‘Arab 7/349 dan Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam
2/74
[3] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam 2/74-75
[4] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam 2/75
[5] Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam 2/75
[6] Ibid.
[7] Shahîh: HR. al-Bukhâri no. 6412, Ahmad 1/258, 344,
at-Tirmidzi no. 2304, Ibnu Mâjah no. 4170, ad-Dârimi 2/297, al-Hâkim 4/306,
Ibnul Mubârak dalam az-Zuhd no. 1, dan selainnya.
[8] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam 2/76
[9] Hilyatul Auliyâ’ 3/266, no. 3908
[10] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam 2/82-83
[11] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam 2/83-84
[12] Diriwayatkan oleh Ibnu Abid Dunya dalam Asy-Syukr
no. 129 dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliyâ’ 3/279-280, no. 3963
[13] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam 2/85
[14] Shahîh: HR. al-Bukhâri no. 1130, 4836, 6471, Muslim
no. 2819, Ahmad 4/251, at-Tirmidzi no. 412, an-Nasâ-i 3/219, Ibnu Mâjah no.
1419, dan Ibnu Hibbân no. 311 dari al-Mughîrah bin Syu’bah.
[15] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam 2/85
[16] Lihat Qawâ’id wa Fawâ-id hlm. 231
[17] Lihat Tafsîr Ibni Katsîr 2/412
[18] Shahîh: HR. Ahmad 6/444-445, Abu Dâwud no. 4919,
at-Tirmidzi no. 2509, al-Bukhâri dalam Al-Adâbul Mufrad no. 391, Ibnu Hibbân
no. 5070/ At-Ta’lîqâtul Hisân, al-Baihaqi dalam Al-Jâmi’ li Syu’abil Îmân (no.
10578), al-Baghawi dalam Syarhus Sunnah no. 3538, dan selainnya. Lihat Ghâyatul
Marâm no. 414. Lafazh ini milik at-Tirmidzi.
[19] Lihat Qawâ’id wa Fawâ-id hlm. 232
[20] Shahîh: HR. al-Bukhâri no. 2704
[21] Lihat Qawâ’id wa Fawâ-id hlm. 233
[22] Shahîh: HR. al-Bukhâri no. 2692 dan Muslim no. 2605.
[23] Lihat Fathul Bâri 5/299-300 dan Qawâ’id wa Fawâ-id
hlm. 234
[24] Fathul Bâri 5/300
[25] Shahîh al-Bukhâri, kitab: Ash-Shulh, bab 2 dan
Fathul Bâri 5/299
[26] Lihat Qawâ’id wa Fawâ-id hlm. 234
[27] Shahîh: HR. al-Bukhâri no. 1240, Muslim no. 2162,
Ahmad 2/372, 412, 540, dan Ibnu Hibbân no. 241, 242 dari Abu Hurairah
Radhiyallahu anhu
[28] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam 2/90
[29] Shahîh: HR. Ahmad 5/351, 360, Ibnu Mâjah no. 2418, dan
al-Hâkim 2/29 dari Buraidah Radhiyallahu anhu
[30] Lihat Qawâ’id wa Fawâ-id hlm. 234-235
[31] Lihat Qawâ’id wa Fawâ-id hlm. 235
[32] Shahîh: HR. al-Bukhâri no. 662 dan Muslim no. 669
[33] Shahîh: HR. Muslim no. 665 (281)
[34] Syarh Shahîh Muslim lin Nawawi 5/169
[35] Shahîh: HR. al-Bukhâri (no. 9) dan Muslim (no. 35).
Lafazh ini milik Muslim dari Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu
[36] Shahîh Muslim (no. 720).
[37] Lihat Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam (II/86).
[38] Untuk pembahasan lebih lengkap tentang sedekah,
keutamaan sedekah, adab-adab sedekah, sedekah yang paling utama, siapa yang
berhak menerima sedekah dan tidak, dll. Silakan baca buku penulis
“Sedekah Sebagai Bukti Keimanan dan Penghapus Dosa” Penerbit Pustaka
at-Taqwa-Sya’ban 1430 H/Agustus 2009.
Oleh Al-Ustadz Yazid bin ‘Abdul Qadir Jawas حفظه الله
0 komentar:
Posting Komentar