Lima Pilar
Keteladanan Rasulullah SAW
Sudah bukan masanya lagi berdebat mengenai hukum
penyelenggaraan Maulid Rasulullah SAW. Di tengah kompleks dan peliknya masalah
umat, hanya akan menguras tenaga serta melalaikan prioritas.
Berlepas dari perdebatan, marilah sejenak merenung lebih
dalam, memaknai lebih detail mengenai kehadiran sang kekasih agung Rasulullah
di dunia ini. Turunnya beliau sebagai rahmat seluruh alam (Q.S Al-Anbiya: 107)
lantas mengapa, masih saja tergiring dalam konfrontasi perdebatan.
Turunnya Nabi Muhammad sebagai uswah hasanah (QS.
Al-Ahzab: 21)., boleh dikatakan public figure yang sempurna. Beliau sebagai
uswah dalam skup terkecil keluarga sampai memimpin sebuah pemerintahan yang
adil dan beradab.
Memaknai kelahiran Rasulullah dengan bingkai sirah
nabawiyah, akan menyingkap hikmah bagaimana Rasulullah bergerak dan
menggerakkan umat untuk membangun peradaban Islam yang gemilang. Inilah langkah
yang lebih priotitas ketimbang bersitegang dalam debat yang tak ada habisnya.
Dalam hal ini, menarik terdapat 5 siroh keteladanan
Rasulullah yang dapat dijadikan panduan dalam pergerakan di kekinian.
Pertama, meniru bagaimana cara Rasulullah berfikir, tenar di
kalangan intelektual Indonesia dengan istilah “Prophetic” atau dialih bahasakan
menjadi profetik, berfikir secara profetik yang artinya berfikiran seperti
Rasulullah, apa maksudnya?, yaitu berfikir berlandaskan wahyu bukan nafsu.
Berlandaskan dengan Q.S an-Najm ayat 3-4 “Dan tidaklah yang diucapkannya itu
(Alquran) menurut hawa nafsunya. Tidak lain (Alquran itu) adalah wahyu yang
diwahyukan (kepadanya)”. Kaidah ini dapat dijadikan dasar untuk mengawali
segala apa yang di dalam fikiran yaitu dengan pendekatan wahyu
(al-Qur’an-as-Sunnah) bukan dengan nafsu amarah bi suu’i. Berfikiran profetik ini
akan melahirkan fikiran yang jernih dan bersih, dengan kata lain akal yang
selamat (‘aqlu as-salim). Keselamatan akal (‘aql) adalah ketika ia bersandar
pada wahyu bukan nafsu.
Kedua, menyampaikan ajaran Islam dengan hikmah dan mau’idhoh
hasanah serta dengan keihsanan. Termaktub dalam Q.S an-Nahl: 124, “Serulah
(manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan
bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.
Penyampaikan komunikasi dakwah Rasul adalah salah satu
kunci dalam misi mengemban risalah suci ini (Islam), karena dakwah itu dari
hati ke hati, menggetarkan hati agar mendekat dengan hidayah yang selalu
mendorong kepada fitrah. Kelemah-lembutan Rasulullahlah yang menjadi uswah, Ia
dicintai oleh kawan namun disegani oleh lawan.
Ketiga, berbudi luhur dengan perangai akhlaq al-karimah dan
uswah hasanah. Meneladani Rasulullah dengan ber- akhlaq al-karimah dan
memberikan uswah di setiap hal kebaikan adalah selaras dengan misi
diturunkannya Rasul, Nabi Muhammad bersabda: “Sesungguhnya Saya diutus untuk
menyempurnakan akhlak yang mulia. (HR Ahmad, Baihaki, dan Malik). Pada riwayat
lain Rasulullah SAW juga bersabda, “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah
orang yang paling baik akhlaknya” (HR. At- Tirmizi). Kemuliaan Rasulullah juga
diteguhkan dalam al-Qur’an Allah berfirman, Wa innaka la’ala khuluqin `azhim”,
yang artinya sesungguhnya engkau (hai Muhammad) memiliki akhlak yang sangat
agung.(Q.S al-Qolam: 4) kemudian dalam surat al-Ahzab ayat 4, laqad kāna lakum
fī rasụlillāhi uswatun ḥasanah….pun menegaskan tenatng kebudi luhuran
Rasulullah yang agung.
Penegasan demi penegasan inilah sebagai panduan dalam
pergerakan, di kekinian ini dibutuhkan muslim yang selalu menjadi uswah berhias
akhlaq al-karimah sebagai jawaban kesemrawutan masalah internal umat Islam dan
masalah dari eksternal umat Islam, sekali lagi bukan berdebat tanpa maslahat,
namun bertindak dengan tepat.
Keempat, arif dan bijaksana dalam menanggulangi pluralitas.
Sebuah sejarah yang tak terbantahkan bahwa dinamika dakwah Rasulullah di Makkah
serta Madinah tantangannya sangatlah berat, namun dalam menyikapi perbedaan
pandangan yang majemuk, Rasulullah sangatlah arif dan bijaksana, tercatat
berkali-kali Umat Islam dikala itu melakukan perjanjian dengan pihak yang
berseberangan demi kemaslahatan bersama. Dengan jiwa yang hanif para Umat Islam
dengan ber-ittiba’ kepada Rasulullah senantiasa menaati perjanjian yang
disepakati dengan kubu berseberangan, namun disisi lain kelompok yang
bersebarangan justeru malah lebih sering mengingkarinya.
Sebagai catatan kelam para kaum pembenci Rasulullah,
beginilah pelanggaran yang telah dilakukan seperti; pelanggaran piagam Madinah
oleh bani Qainuqa sebagai penyebab perang Ahzab, pengingkaran perjanjian
Hudaibiyah, intoleransi dalam kronologi perang Mu’tah (lihat: buku Toleransi
dan Kemerdekaan Beragama Dalam Islam Sebagai Dasar Menuju Dialog dan Kerukunan
Bergama karya Umar Hasyim.1978). Namun pada ujungnya ketika fath Makkah/ futuh
Makkah tak setetes darahpun ditumpahkan, begitulah puncak toleransi Umat Islam
yang dipimpin langsung Muhammad Rasulullah SAW.
Kelima, totalitas dalam perjuangan. Dalam sirah nabawiyah karya
al-Mubarakfuri, dikisahkan ketika kaum Qurays mendatangi paman Rasulullah
dengan menebar ancaman, dengan tegas serta berjiwa pemberani beliau bersabda,
“Wahai Pamanku, Demi Allah, andaikan mereka meletakkan Matahari di tangan kananku
dan bulan di tangan kiriku, agar Aku meninggalkan risalah agama ini, hingga
Allah memenangkannya atau aku ikut binasa karenanya, maka aku tidak akan
meninggalkannya”. Statement inilah, bukti totalitas Rasul dalam berjuang.
0 komentar:
Posting Komentar