Rabu, 05 Oktober 2022

Mengqadha Shalat Apa dan Bagaimana? (Bagian Satu)

Mengqadha Shalat Apa dan Bagaimana? (Bagian Satu)

 

Mukadimah

Shalat adalah ibadah pokok dalam Islam yang memiliki ketentuan waktu tersendiri, dan hendaknya dilakukan sesuai waktunya (ada’an) itu, sebagaimana ayat:

 

إِنَّ الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَاباً مَّوْقُوتاً

 

Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman. (Q.S. An Nisa (4): 103)

Juga hadits Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu katanya:

 

سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ

 

Aku bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: Amal apakah yang paling Allah cintai? Beliau bersabda: Shalat pada waktunya. Lalu apa lagi? Beliau bersabda: Berbakti kepada kedua orang tua. Lalu apa lagi? Beliau bersabda: Jihad fisabilillah. (H.R. Bukhari No. 527 dan Muslim No. 85)

Adapun menyengaja mengerjakan shalat tidak pada waktunya tanpa udzur syar’i, apalagi meninggalkannya, telah dicela dalam ayat berikut:

 

فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ

 

Maka celakalah bagi orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai (saahuun) dari shalatnya. (Q.S. Al Ma’uun (107): 4-5)

Dasar Hukum Mengqadha Shalat

Ada beberapa hadits yang menjadi pijakan dalam masalah ini:

Dari Abu Qatadah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

 

ذَكَرُوا لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَوْمَهُمْ عَنْ الصَّلَاةِ فَقَالَ إِنَّهُ لَيْسَ فِي النَّوْمِ تَفْرِيطٌ إِنَّمَا التَّفْرِيطُ فِي الْيَقَظَةِ فَإِذَا نَسِيَ أَحَدُكُمْ صَلَاةً أَوْ نَامَ عَنْهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا

 

Mereka menceritakan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa tidurnya mereka membuat lalai dari shalat. Maka Beliau bersabda: “Sesungguhnya bukan termasuk lalai karena tertidur, lalai itu adalah ketika terjaga. Maka, jika kalian lupa atau tertidur maka shalatlah ketika kalian ingat (sadar).” (H.R. At Tirmidzi No. 177, katanya: hasan shahih. Abu Daud No. 437, Ibnu Majah No. 698, An Nasai No. 615, Ad Daruquthni, 1/386, Ibnu Khuzaimah No. 989, Ahmad No. 22546. Dishahihkan oleh Syaikh Syuaib Al Arnauth (Taliq Musnad Ahmad No. 22546), Syaikh Al Albani (Shahihul Jami No. 2410), juga diriwayatkan oleh Imam Muslim No. 680, namun dengan lafaz agak berbeda)

Karena hadits ini, Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menerangkan:

 

اتفق العلماء على أن قضاء الصلاة واجب على الناسي والنائم

 

Para ulama sepakat tentang wajibnya mengqadha shalat bagi orang lupa atau tertidur. (Fiqhus Sunnah, 1/274, Lihat juga Bidayatul Mujtahid, 1/182)

Yaitu wajib mengqadha bagi shalat wajib, sedangkan shalat sunah tidak wajib di qadha, melainkan sunah juga.

Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

 

مَنْ نَسِيَ صَلَاةً فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا لَا كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذَلِكَ{وَأَقِمْ الصَّلَاةَ لِذِكْرِي}

 

Barang siapa yang lupa dari shalatnya maka hendaknya dia shalat ketika ingat, tidak ada tebusannya kecuali dengan itu (Allah berfirman: “dirikanlah shalat untuk mengingatKu”). (H.R. Bukhari No. 597)

Dari Qatadah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

 

سِرْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً فَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ لَوْ عَرَّسْتَ بِنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَخَافُ أَنْ تَنَامُوا عَنْ الصَّلَاةِ قَالَ بِلَالٌ أَنَا أُوقِظُكُمْ فَاضْطَجَعُوا وَأَسْنَدَ بِلَالٌ ظَهْرَهُ إِلَى رَاحِلَتِهِ فَغَلَبَتْهُ عَيْنَاهُ فَنَامَ فَاسْتَيْقَظَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ طَلَعَ حَاجِبُ الشَّمْسِ فَقَالَ يَا بِلَالُ أَيْنَ مَا قُلْتَ قَالَ مَا أُلْقِيَتْ عَلَيَّ نَوْمَةٌ مِثْلُهَا قَطُّ قَالَ إِنَّ اللَّهَ قَبَضَ أَرْوَاحَكُمْ حِينَ شَاءَ وَرَدَّهَا عَلَيْكُمْ حِينَ شَاءَ يَا بِلَالُ قُمْ فَأَذِّنْ بِالنَّاسِ بِالصَّلَاةِ فَتَوَضَّأَ فَلَمَّا ارْتَفَعَتْ الشَّمْسُ وَابْيَاضَّتْ قَامَ فَصَلَّى

 

“Kami pernah berjalan bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada suatu malam. Sebagian kaum lalu berkata, Wahai Rasulullah, barangkali Anda mau istirahat sebentar bersama kami? Beliau menjawab: Aku khawatir kalian tertidur sehingga terlewatkan shalat. Bilal berkata, Aku akan membangunkan kalian. Maka merekapun berbaring, sedangkan Bilal bersandar pada hewan tunggannganya, tapi rasa kantuknya mengalahkannya dan akhirnya iapun tertidur. Ketika Nabi shallallahu alaihi wasallam terbangun ternyata matahari sudah terbit, maka beliau pun bersabda: Wahai Bilal, mana bukti yang kau ucapkan! Bilal menjawab: Aku belum pernah sekalipun merasakan kantuk seperti ini sebelumnya. Beliau lalu bersabda: Sesungguhnya Allah ‘Azza Wa Jalla memegang ruh-ruh kalian sesuai kehendak-Nya dan mengembalikannya kepada kalian sekehendak-Nya pula. Wahai Bilal, berdiri dan adzanlah (umumkan) kepada orang-orang untuk shalat! kemudian beliau berwudhu, ketika matahari meninggi dan tampak sinar putihnya, beliau pun berdiri melaksanakan shalat. (H.R. Bukhari No. 595)

Demikian dasar yang begitu kuat dalam mengqadha shalat, bisa disimpulkan dari hadits-hadits di atas:

Qadha itu terjadi jika luputnya shalat karena lupa dan tertidur

Qadha dilakukan segera ketika sadar atau ingat

Mengqadha shalat wajib adalah wajib, karena Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mengatakan: tidak ada tebusan yang lain kecuali dengan itu.”

Nabi dan para sahabat pun pernah mengalaminya.

Jika Selain Lupa dan Tidur, Wajib Qadha-kah?

Berkata para ulama:

 

واختلفوا في وجوب القضاء على تارك الصلاة عمدا ، والمرتد ، والمجنون بعد الإفاقة ، والمغمى عليه ، والصبي إذا بلغ في الوقت ، ومن أسلم في دار الحرب ، وفاقد الطهورين

 

Para ulama berbeda pendapat tentang kewajiban qadha shalat bagi yang sengaja meninggalkan shalat, murtad, gila setelah sadar, pingsan, anak-anak jika sudah sampai waktunya, masuk Islam di negeri kafir harbi, dan bagi orang yang ketiadaan untuk bersuci. (Al Mausuah, 34/26)

Mayoritas ahli fiqih berpendapat bahwa wajib mengqadha shalat yang terlewatkan bagi orang yang sengaja meninggalkan shalat. Dalilnya adalah hadits dari Abu Hurairah, bahwasanya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan orang yang jima di siang Ramadhan untuk mengqadha di hari lain dan juga melakukan kafaratnya, yaitu sebagai pengganti bagi puasanya yang batal gara-gara jima, sebab jika karena lupa saja wajib qadha maka alasan karena sengaja lebih layak lagi untuk mengqadhanya.

Fuqaha lain berpendapat tidak wajibnya qadha bagi yang sengaja tidak shalat, Al Qadhi Iyadh mengatakan: Tidak sah hal itu (mengqadha) kecuali menurut Daud dan Ibnu Abdirrahman Asy Syafii.

Ada pun orang murtad, bagi kalangan Hanafiyah dan Malikiyah tidaklah wajib mengqadha shalat yang dia tinggalkan saat dia murtad, sebab keyakinan dia saat murtad memang mewajibkan untuk meninggalkannya. Sedangkan Syafiiyyah menyatakan wajib qadha setelah keislamannya lagi sebagai bentuk peringatan keras untuknya, sebab keterikatannya terhadap Islam tidaklah membuat gugur kewajibannya itu sebagaimana terhadap hak-ahak manusia.

Abu Ishaq bin Syaqila menyebutkan dari Imam Ahmad, ada dua riwayat tentang kewajiban qadha atas orang murtad. Pertama. Tidak wajib qadha. Inilah zhahirnya perkataan Al Kharaqi dalam masalah ini. Maka atas inilah tidak wajibnya qadha atas apa yang dia tinggalkan saat kekafirannya, juga saat keislamannya terdahulu sebelum murtadnya. Sebab amal dia sudah terhapus karena kemurtadannya. Kedua. Tidak wajib qadha atas ibadah-ibadah yang dia tinggal, baik saat murtadnya atau sebelumnya. Namun tidak wajib mengulangi hajinya, sebab amal itu hanyalah terhapus karena melakukan kesyirikan lalu dia mati.

Disebutkan dalam Al Inshaf bahwa yang shahih adalah wajib baginya mengqadha apa-apa yang dia tinggalkan sebelum murtadnya, dan tidak wajib mengqadha yang dia tinggalkan ketika sudah murtadnya.

Sedangkan buat orang gila, tidak ada khilafiyah para fuqaha bahwa mereka tidak dibebankan untuk shalat pada saat gilanya. Hanya saja mereka berbeda pendapat tentang qadha saat sudah sadar/sembuh dari gilanya.

Sedangkan bagi orang yang pingsan, tidak wajib baginya qadha kecuali dia siuman/sadar saat dibagian waktu shalat dan dia tidak melaksanakan shalat itu, maka dia wajib qadha, ini pendapat Malikiyah, Syafiiyah, dan Hanabilah. Bagi kalangan Syafiiyah orang yang pingsan berulang-ulang wajib qadha. Hanafiyah mengatakan tidak wajib qadha bagi yang pingsan saat itu jika yang dia tinggalkan melebihi sehari semalam. Bagi Hanabilah dan ini yang shahih dari mereka, hukum pingsan sama dengan hukum tidur, bahwa kewajiban kewajiban tidak gugur, tapi mesti di qadha saat bangunnya, seperti shalat dan puasa.

Sedangkan anak-anak menurut jumhur tidak wajib mengqadha shalat, tetapi mereka diperintahkan shalat saat usia tujuh tahun, dan dipukul saat usia sepuluh tahun jika meninggalkan shalat. Kalangan Syafiiyah menyatakan bahwa anak-anak walau sudah mumayyiz lalu dia meninggalkan shalat, lalu usianya sudah baligh maka perintah qadha itu menunjukkan anjuran saja, sebagaimana perintah shalat baginya. Pendapat lain Syafiiyah tetap wajib qadha. Bagi Hanabilah, anak-anak tetap wajib shalat jika sudah berakal (aqil), walau belum baligh.

Sedangkan orang Islam di wilayah kafir harbi, sehingga dia tidak shalat, puasa, dan tidka tahu kewajibannya, maka wajib baginya qadha menurut Syafiiyah, Hanabilah, dan juga Malikiyah. Sedangkan Hanafiyah bertempat mereka mendapatkan udzur karena keadaanya.

Sedangkan bagi yang tidak memiliki suatu untuk bersuci, bagi Malikiyah mereka tidak wajib shalat, atau bagi orang yang sudah tidak mampu melakukannya seperti orang yang dipenjara dan disiksa, sehingga tidak wajib pula mengqadhanya. Syafiiyah mentatkan wajib mengqadha shalat wajib saja. Hanafiyah mengatakan hendaknya dia melakukan aktifitas seperti shalat, sebagai penghormatan atas waktu shalat. (Lihat semua ini dalam Al Mausuah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 34/26-29)

Bersambung …

Ust. Farid Nu’man Hasan Hafizhahullah

https://umma.id

 

0 komentar:

Posting Komentar