Mengqadha Shalat
Apa dan Bagaimana? (Bagian Satu)
Mukadimah
Shalat adalah ibadah pokok dalam Islam yang memiliki
ketentuan waktu tersendiri, dan hendaknya dilakukan sesuai waktunya (ada’an)
itu, sebagaimana ayat:
إِنَّ
الصَّلاَةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَاباً مَّوْقُوتاً
Sesungguhnya
shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang
beriman. (Q.S. An Nisa (4): 103)
Juga hadits
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu
katanya:
سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ
الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ قَالَ
ثُمَّ أَيٌّ قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
Aku
bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: Amal apakah yang paling
Allah cintai? Beliau bersabda: Shalat pada waktunya. Lalu apa lagi? Beliau
bersabda: Berbakti kepada kedua orang tua. Lalu apa lagi? Beliau bersabda:
Jihad fisabilillah. (H.R. Bukhari No. 527 dan Muslim No. 85)
Adapun
menyengaja mengerjakan shalat tidak pada waktunya tanpa udzur syar’i, apalagi
meninggalkannya, telah dicela dalam ayat berikut:
فَوَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ
الَّذِينَ هُمْ عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ
Maka
celakalah bagi orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai (saahuun) dari
shalatnya. (Q.S. Al Ma’uun (107): 4-5)
Dasar Hukum
Mengqadha Shalat
Ada
beberapa hadits yang menjadi pijakan dalam masalah ini:
Dari Abu
Qatadah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
ذَكَرُوا لِلنَّبِيِّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَوْمَهُمْ عَنْ الصَّلَاةِ فَقَالَ إِنَّهُ لَيْسَ
فِي النَّوْمِ تَفْرِيطٌ إِنَّمَا التَّفْرِيطُ فِي الْيَقَظَةِ فَإِذَا نَسِيَ
أَحَدُكُمْ صَلَاةً أَوْ نَامَ عَنْهَا فَلْيُصَلِّهَا إِذَا ذَكَرَهَا
Mereka
menceritakan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa tidurnya mereka
membuat lalai dari shalat. Maka Beliau bersabda: “Sesungguhnya bukan termasuk
lalai karena tertidur, lalai itu adalah ketika terjaga. Maka, jika kalian lupa
atau tertidur maka shalatlah ketika kalian ingat (sadar).” (H.R. At Tirmidzi
No. 177, katanya: hasan shahih. Abu Daud No. 437, Ibnu Majah No. 698, An Nasai
No. 615, Ad Daruquthni, 1/386, Ibnu Khuzaimah No. 989, Ahmad No. 22546.
Dishahihkan oleh Syaikh Syuaib Al Arnauth (Taliq Musnad Ahmad No. 22546),
Syaikh Al Albani (Shahihul Jami No. 2410), juga diriwayatkan oleh Imam Muslim
No. 680, namun dengan lafaz agak berbeda)
Karena
hadits ini, Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menerangkan:
اتفق العلماء على أن قضاء
الصلاة واجب على الناسي والنائم
Para ulama
sepakat tentang wajibnya mengqadha shalat bagi orang lupa atau tertidur.
(Fiqhus Sunnah, 1/274, Lihat juga Bidayatul Mujtahid, 1/182)
Yaitu wajib
mengqadha bagi shalat wajib, sedangkan shalat sunah tidak wajib di qadha,
melainkan sunah juga.
Dari Anas
bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
مَنْ نَسِيَ صَلَاةً
فَلْيُصَلِّ إِذَا ذَكَرَهَا لَا كَفَّارَةَ لَهَا إِلَّا ذَلِكَ{وَأَقِمْ
الصَّلَاةَ لِذِكْرِي}
Barang
siapa yang lupa dari shalatnya maka hendaknya dia shalat ketika ingat, tidak
ada tebusannya kecuali dengan itu (Allah berfirman: “dirikanlah shalat untuk
mengingatKu”). (H.R. Bukhari No. 597)
Dari
Qatadah Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
سِرْنَا مَعَ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً فَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ لَوْ
عَرَّسْتَ بِنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَخَافُ أَنْ تَنَامُوا عَنْ
الصَّلَاةِ قَالَ بِلَالٌ أَنَا أُوقِظُكُمْ فَاضْطَجَعُوا وَأَسْنَدَ بِلَالٌ
ظَهْرَهُ إِلَى رَاحِلَتِهِ فَغَلَبَتْهُ عَيْنَاهُ فَنَامَ فَاسْتَيْقَظَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ طَلَعَ حَاجِبُ الشَّمْسِ
فَقَالَ يَا بِلَالُ أَيْنَ مَا قُلْتَ قَالَ مَا أُلْقِيَتْ عَلَيَّ نَوْمَةٌ
مِثْلُهَا قَطُّ قَالَ إِنَّ اللَّهَ قَبَضَ أَرْوَاحَكُمْ حِينَ شَاءَ وَرَدَّهَا
عَلَيْكُمْ حِينَ شَاءَ يَا بِلَالُ قُمْ فَأَذِّنْ بِالنَّاسِ بِالصَّلَاةِ
فَتَوَضَّأَ فَلَمَّا ارْتَفَعَتْ الشَّمْسُ وَابْيَاضَّتْ قَامَ فَصَلَّى
“Kami
pernah berjalan bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada suatu malam.
Sebagian kaum lalu berkata, Wahai Rasulullah, barangkali Anda mau istirahat
sebentar bersama kami? Beliau menjawab: Aku khawatir kalian tertidur sehingga
terlewatkan shalat. Bilal berkata, Aku akan membangunkan kalian. Maka merekapun
berbaring, sedangkan Bilal bersandar pada hewan tunggannganya, tapi rasa
kantuknya mengalahkannya dan akhirnya iapun tertidur. Ketika Nabi shallallahu
alaihi wasallam terbangun ternyata matahari sudah terbit, maka beliau pun
bersabda: Wahai Bilal, mana bukti yang kau ucapkan! Bilal menjawab: Aku belum
pernah sekalipun merasakan kantuk seperti ini sebelumnya. Beliau lalu bersabda:
Sesungguhnya Allah ‘Azza Wa Jalla memegang ruh-ruh kalian sesuai kehendak-Nya
dan mengembalikannya kepada kalian sekehendak-Nya pula. Wahai Bilal, berdiri
dan adzanlah (umumkan) kepada orang-orang untuk shalat! kemudian beliau berwudhu,
ketika matahari meninggi dan tampak sinar putihnya, beliau pun berdiri
melaksanakan shalat. (H.R. Bukhari No. 595)
Demikian
dasar yang begitu kuat dalam mengqadha shalat, bisa disimpulkan dari
hadits-hadits di atas:
Qadha itu
terjadi jika luputnya shalat karena lupa dan tertidur
Qadha
dilakukan segera ketika sadar atau ingat
Mengqadha
shalat wajib adalah wajib, karena Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam mengatakan:
tidak ada tebusan yang lain kecuali dengan itu.”
Nabi dan
para sahabat pun pernah mengalaminya.
Jika Selain
Lupa dan Tidur, Wajib Qadha-kah?
Berkata
para ulama:
واختلفوا في وجوب القضاء على
تارك الصلاة عمدا ، والمرتد ، والمجنون بعد الإفاقة ، والمغمى عليه ، والصبي إذا
بلغ في الوقت ، ومن أسلم في دار الحرب ، وفاقد الطهورين
Para ulama
berbeda pendapat tentang kewajiban qadha shalat bagi yang sengaja meninggalkan
shalat, murtad, gila setelah sadar, pingsan, anak-anak jika sudah sampai
waktunya, masuk Islam di negeri kafir harbi, dan bagi orang yang ketiadaan
untuk bersuci. (Al Mausuah, 34/26)
Mayoritas ahli
fiqih berpendapat bahwa wajib mengqadha shalat yang terlewatkan bagi orang yang
sengaja meninggalkan shalat. Dalilnya adalah hadits dari Abu Hurairah,
bahwasanya Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan orang yang jima di
siang Ramadhan untuk mengqadha di hari lain dan juga melakukan kafaratnya,
yaitu sebagai pengganti bagi puasanya yang batal gara-gara jima, sebab jika
karena lupa saja wajib qadha maka alasan karena sengaja lebih layak lagi untuk
mengqadhanya.
Fuqaha lain
berpendapat tidak wajibnya qadha bagi yang sengaja tidak shalat, Al Qadhi Iyadh
mengatakan: Tidak sah hal itu (mengqadha) kecuali menurut Daud dan Ibnu
Abdirrahman Asy Syafii.
Ada pun
orang murtad, bagi kalangan Hanafiyah dan Malikiyah tidaklah wajib mengqadha
shalat yang dia tinggalkan saat dia murtad, sebab keyakinan dia saat murtad
memang mewajibkan untuk meninggalkannya. Sedangkan Syafiiyyah menyatakan wajib
qadha setelah keislamannya lagi sebagai bentuk peringatan keras untuknya, sebab
keterikatannya terhadap Islam tidaklah membuat gugur kewajibannya itu
sebagaimana terhadap hak-ahak manusia.
Abu Ishaq
bin Syaqila menyebutkan dari Imam Ahmad, ada dua riwayat tentang kewajiban
qadha atas orang murtad. Pertama. Tidak wajib qadha. Inilah zhahirnya perkataan
Al Kharaqi dalam masalah ini. Maka atas inilah tidak wajibnya qadha atas apa
yang dia tinggalkan saat kekafirannya, juga saat keislamannya terdahulu sebelum
murtadnya. Sebab amal dia sudah terhapus karena kemurtadannya. Kedua. Tidak
wajib qadha atas ibadah-ibadah yang dia tinggal, baik saat murtadnya atau
sebelumnya. Namun tidak wajib mengulangi hajinya, sebab amal itu hanyalah
terhapus karena melakukan kesyirikan lalu dia mati.
Disebutkan
dalam Al Inshaf bahwa yang shahih adalah wajib baginya mengqadha apa-apa yang
dia tinggalkan sebelum murtadnya, dan tidak wajib mengqadha yang dia tinggalkan
ketika sudah murtadnya.
Sedangkan
buat orang gila, tidak ada khilafiyah para fuqaha bahwa mereka tidak dibebankan
untuk shalat pada saat gilanya. Hanya saja mereka berbeda pendapat tentang
qadha saat sudah sadar/sembuh dari gilanya.
Sedangkan
bagi orang yang pingsan, tidak wajib baginya qadha kecuali dia siuman/sadar
saat dibagian waktu shalat dan dia tidak melaksanakan shalat itu, maka dia
wajib qadha, ini pendapat Malikiyah, Syafiiyah, dan Hanabilah. Bagi kalangan
Syafiiyah orang yang pingsan berulang-ulang wajib qadha. Hanafiyah mengatakan
tidak wajib qadha bagi yang pingsan saat itu jika yang dia tinggalkan melebihi
sehari semalam. Bagi Hanabilah dan ini yang shahih dari mereka, hukum pingsan
sama dengan hukum tidur, bahwa kewajiban kewajiban tidak gugur, tapi mesti di
qadha saat bangunnya, seperti shalat dan puasa.
Sedangkan
anak-anak menurut jumhur tidak wajib mengqadha shalat, tetapi mereka
diperintahkan shalat saat usia tujuh tahun, dan dipukul saat usia sepuluh tahun
jika meninggalkan shalat. Kalangan Syafiiyah menyatakan bahwa anak-anak walau
sudah mumayyiz lalu dia meninggalkan shalat, lalu usianya sudah baligh maka
perintah qadha itu menunjukkan anjuran saja, sebagaimana perintah shalat
baginya. Pendapat lain Syafiiyah tetap wajib qadha. Bagi Hanabilah, anak-anak
tetap wajib shalat jika sudah berakal (aqil), walau belum baligh.
Sedangkan
orang Islam di wilayah kafir harbi, sehingga dia tidak shalat, puasa, dan tidka
tahu kewajibannya, maka wajib baginya qadha menurut Syafiiyah, Hanabilah, dan
juga Malikiyah. Sedangkan Hanafiyah bertempat mereka mendapatkan udzur karena
keadaanya.
Sedangkan
bagi yang tidak memiliki suatu untuk bersuci, bagi Malikiyah mereka tidak wajib
shalat, atau bagi orang yang sudah tidak mampu melakukannya seperti orang yang
dipenjara dan disiksa, sehingga tidak wajib pula mengqadhanya. Syafiiyah
mentatkan wajib mengqadha shalat wajib saja. Hanafiyah mengatakan hendaknya dia
melakukan aktifitas seperti shalat, sebagai penghormatan atas waktu shalat.
(Lihat semua ini dalam Al Mausuah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 34/26-29)
Bersambung
…
✍ Ust. Farid
Nu’man Hasan Hafizhahullah
0 komentar:
Posting Komentar