Mengqadha
Shalat Apa dan Bagaimana? Bagian Dua
Bagaimanakah melakukannya?
Mengqadha shalat dilakukan menurut tertibnya. Jika
seseorang tertidur atau lupa shalat Ashar, lalu dia baru ingat atau sadar
ketika terbenam matahari, maka dia lakukan sesuai tertibnya yakni Ashar dulu
baru Maghrib.
Dalilnya, dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu Anhu
katanya:
أَنَّ
عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ جَاءَ يَوْمَ الْخَنْدَقِ بَعْدَ مَا غَرَبَتْ الشَّمْسُ
فَجَعَلَ يَسُبُّ كُفَّارَ قُرَيْشٍ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا كِدْتُ
أُصَلِّي الْعَصْرَ حَتَّى كَادَتْ الشَّمْسُ تَغْرُبُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاللَّهِ مَا صَلَّيْتُهَا فَقُمْنَا إِلَى بُطْحَانَ
فَتَوَضَّأَ لِلصَّلَاةِ وَتَوَضَّأْنَا لَهَا فَصَلَّى الْعَصْرَ بَعْدَ مَا
غَرَبَتْ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى بَعْدَهَا الْمَغْرِبَ
“Bahwa Umar
bin Al Khaththab datang pada hari peperangan Khandaq setelah matahari terbenam
hingga ia mengumpat orang-orang kafir Quraisy, lalu ia berkata, Wahai
Rasulullah, aku belum melaksanakan shaat ‘Ashar hingga matahari hampir
terbenam! Maka Nabi shallallahu Alaihi wa Sallam pun bersabda: Demi Allah, aku
juga belum melaksanakannya. Kemudian kami berdiri menuju Bath-han, beliau
berwudlu dan kami pun ikut berwudlu, kemudian beliau melaksanakan shalat ‘Ashar
setelah matahari terbenam, dan setelah itu dilanjutkan dengan shalat Maghrib.
(H.R. Bukhari No. 596)
Namun,
tidak perlu tertib sesuai urutan jika (Lihat Al Mausuah, 34/33-35):
1. Waktu
shalatnya sudah sangat sempit, misal tertinggal shalat Zhuhur, baru ingat
ketika waktu ‘Ashar sudah mau habis (menjelang Maghrib), maka hendaknya
melakukan ‘Ashar dulu.
2. Shalatnya bersama kaum muslimin yang shalat
sesuai waktunya, misal dia tertidur sehingga melewati waktu Zhuhur lalu bangun
pas di waktu manusia shalat ‘Ashar berjamaah, maka hendaknya dia ikuti mereka,
barulah dia shalat Zhuhur. Wallahu Alam.
3. Dia
tidak mengerti (jahil) caranya, atau lupa, atau banyak yang harus diqadha.
Mengqadha
Shalat Sunnah
Qadha pun
bisa terjadi pada shalat sunnah. Hal ini pernah terjadi pada masa Nabi
Shallallahu Alaihi wa Sallam, bahkan Beliau sendiri pernah melakukannya.
Qadha
Shalat Sunnah Fajar
Shalat
sunnah fajar boleh diqadha, yakni dilakukan setelah Shubuh baik matahari telah
terbit atau belum. Hal ini berdasarkan hadits berikut (sebenarnya masih ada
beberapa hadits lainnya, namun saya sebut dua saja):
Hadits
Pertama:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ لَمْ يُصَلِّ
رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ فَلْيُصَلِّهِمَا بَعْدَ مَا تَطْلُعُ الشَّمْسُ
Dari Abu
Hurairah, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa
yang belum shalat dua rakaat fajar, maka shalatlah keduanya (sunnah fajar dan
Shubuh) sampai tebitnya matahari.” (H.R. At Tirmidzi No. 423)
Imam At
Tirmidzi Rahimahullah berkata:
وقد روي عن ابن عمر أنه فعله
والعمل على هذا عند بعض أهل العلم وبه يقول سفيان الثوري وابن المبارك والشافعي
وأحمد وإسحق
Telah
diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa dia melakukannya. Sebagian ulama telah
mengamalkan hadits ini dan inilah pendapat Sufyan At Tsauri, Ibnul Mubarak, Asy
Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq. (Sunan At Tirmidzi, penjelasan hadits No. 423)
Imam Asy
Syaukani menulis dalam Nailul Authar sebagai berikut:
وَقَدْ ثَبَتَ أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَضَاهُمَا مَعَ الْفَرِيضَةِ
لَمَّا نَامَ عَنْ الْفَجْرِ فِي السَّفَرِ
“Telah
tsabit (kuat) bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mengqadha
keduanya (shalat sunah fajar) bersama shalat wajib (subuh) ketika ketiduran
saat fajar dalam sebuah perjalanan.”
Tentang hadits
Imam At Tirmidzi di atas, Imam As Syaukani berkata:
وَلَيْسَ فِي الْحَدِيثِ مَا
يَدُلُّ عَلَى الْمَنْعِ مِنْ فِعْلِهِمَا بَعْد صَلَاةِ الصُّبْحِ
“Pada
hadits ini tidaklah menunjukkan larangan untuk melaksanakan dua rakaat tersebut
setelah shalat subuh.” (Nailul Authar, 3/25)
Hadits
Kedua:
Hadits yang
paling jelas tentang qadha shalat sunnah fajar adalah riwayat tentang Qais bin
Umar bahwa beliau shalat Shubuh di masjid bersama Rasulullah, sedangkan dia
sendiri belum mengerjakan shalat sunnah fajar. Setelah selesai shalat Shubuh
dia berdiri lagi untuk shalat sunnah dua rakaat. Nabi Shallallahu Alaihi wa
Sallam berjalan melewatinya dan bertanya:
مَا هَذِهِ الصَّلَاةُ
فَأَخْبَرَهُ فَسَكَتَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَضَى
وَلَمْ يَقُلْ شَيْئًا
“Shalat apa
ini?, maka dia menceritakannya. Lalu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
diam, dan berlalu tanpa mengatakan apa-apa.” (H.R. Ahmad No. 23761, Abdurazzaq
dalam Al Mushannaf No. 4016, Alauddin Al Muttaqi Al Hindi dalam Kanzul Ummal
No. 22032, Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkat: Berkata Al Iraqi: sanadnya
hasan. (Fiqhus Sunnah, 1/187). Syaikh Syuaib Al Arnauth mengatakan: hadits ini
mursal (terputus sanadnya pada generasi sahabat), namun semua perawinya
tsiqaat. Lihat Taliq Musnad Ahmad No. 23761)
Beliau
melanjutkan:
وظاهر الاحاديث أنها تقضى قبل
طلوع الشمس وبعد طلوعها، سواء كان فواتها لعذر أو لغير عذر وسواء فاتت وحدها أو مع
الصبح
“Secara
zhahir, hadits-hadits ini menunjukkan bahwa mengqadha shalat sunnah fajar bisa
dilakukan sebelum terbit matahari atau setelahnya. Sama saja, baik terlambatnya
karena adanya udzur atau selain udzur, dan sama pula baik yang luput itu shalat
sunnah fajar saja, atau juga shalat shubuhnya sekaligus. (Fiqhus Sunnah, 1/187)
Sekian. Wallahu Alam.
Syaikh Abul
Hasan Al Mubarkafuri Rahimahullah menjelaskan:
وقال ابن الملك: سكوته يدل
على قضاء سنة الصبح بعد فرضه لمن لم يصلها قبله. وبه قال الشافعي – انتهى. وكذا
قال الشيخ حسين بن محمود الزيداني في المفاتيح حاشية المصابيح، والشيخ علي بن صلاح
الدين في منهل الينابيع شرح المصابيح، والعلامة الزيني في شرح المصابيح
Berkata
Ibnu Al Malik: Diamnya Nabi ﷺ
menunjukkan bolehnya mengqadha shalat sunnah Shubuh setelah ditunaikan
kewajiban Shubuhnya, bagi siapa saja yang belum melakukannya sebelumnya. Ini
adalah pendapat Asy Syafii. Selesai. Demikian juga pendapat Syaikh Husein bin
Mahmud Az Zaidani dalam kitab Al Mafatih Hasyiah Al Mashabih, Syaikh Ali bin
Shalahuddin dalam kitab Manhal Al Yanabi Syarh Al Mashabih, dan juga Al Allamah
Az Zaini dalam Syarh Al Mashabih. (Mirah Al Mafatih, 3/465). Wallahu A’lam.
Mengqadha
shalat Ba’diyah Zhuhur
Imam Al
Bukhari Rahimahullah berkata:
وَقَالَ كُرَيْبٌ عَنْ أُمِّ
سَلَمَةَ صَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ الْعَصْرِ
رَكْعَتَيْنِ وَقَالَ شَغَلَنِي نَاسٌ مِنْ عَبْدِ الْقَيْسِ عَنْ الرَّكْعَتَيْنِ
بَعْدَ الظُّهْرِ
Kuraib
berkata, dari Ummu Salamah: “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat setelah
‘Ashar sebanyak dua rakaat. Beliau bersabda: “Orang-orang dari Abdul Qais telah
menyibukkanku dari shalat dua rakaat setelah Zhuhur.” (Shahih Bukhari,
diriwayatkan secara muallaq dalam Bab Maa Yushalla Badal Ashri wa Minal
Fawaa-it wa Nahwiha)
Sebagaimana
kita ketahui, bahwa setelah ‘Ashar adalah termasuk waktu dilarang shalat,
tetapi mengapa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam melakukan?
Imam
Badruddin Al Aini Rahmahullah berkata:
قال الكرماني وهذا دليل
الشافعي في جواز صلاة لها سبب بعد العصر بلا كراهة
Berkata Al
Karmani: “Ini adalah dalil bagi Asy Syafi’i tentang kebolehan shalat setelah
‘Ashar jika memiliki sebab, sama sekali tidak makruh.” (‘Umdatul Qari, 8/19)
Imam Al
‘Aini mengomentari:
قلت هذا لا يصلح أن يكون
دليلا لأن صلاته هذه كانت من خصائصه كما ذكرنا فلا يكون حجة لذاك
Aku
berkata: tidak benar menjadikan hadits ini sebagai dalil, karena shalatnya ini
merupakan bagian dari kekhususan bagi Beliau, sebagaimana yang telah kami
sebutkan, maka hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah atas hal itu. (Ibid)
Yang benar
adalah bolehnya melakukan shalat pada waktu-waktu terlarang jika ada sebab, dan
itu bukanlah kekhususan bagi Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam saja. (Insya
Allah ada pembahasan sendiri). Dan, ini adalah pendapat jumhur ulama,
sebagaimana keterangan berikut:
ذهب المالكية والشافعية
والحنابلة ، وأبو العالية والشعبي والحكم وحماد والأوزاعي وإسحاق وأبو ثور وابن
المنذر إلى أنه يجوز قضاء الفرائض الفائتة في جميع أوقات النهي وغيرها
Pendapat
kalangan Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, Abul ‘Aliyah, Asy Sya’bi, Al Hakam,
Hammad, Al Auzai, Ishaq, Abu tsaur, dan Ibnul Mundzir, bahwasanya boleh
mengqadha shalat wajib yang ditinggalkan pada waktu-waktu terlarang dan
selainnya. (Asy Syarh Ash Shaghir, 1/242. Raudhatuth Thalibin, 1/193. Al
Mughni, 2/107-108)
Demikianlah
tentang mengqadha shalat sunnah, yaitu shalat sunnah fajar dan shalat ba’diyah
Zhuhur. Apakah hal ini boleh dilakukan untuk semua shalat sunnah? Misalnya
seseorang yang tidak sempat melakukan tahajjud, akhirnya dia mengqadhanya
ketika dhuha dengan mengqiyaskannya pada kasus shalat sunnah fajar dan shalat
ba’diyah Zhuhur? Sebagian ulama ada yang membolehkan, tapi jawaban yang relatif
aman adalah seperti yang dikatakan oleh Imam Ibnu Katsir Rahimahullah:
وباب القربات يقتصر فيه على
النصوص، ولا يتصرف فيه بأنواع الأقيسة والآراء
Bab masalah
qurbah (mendekatkan diri kepada Allah) harus berdasarkan nash-nash, bukan karena
qiyas-qiyas atau pendapat-pendapat. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 7/465)
Jadi, lebih
aman dan selamat adalah mengqadha shalat sunnah hanya pada jenis shalat yang
memang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lakukan atau Beliau setujui, bukan
shalat sunnah lainnya. Keluar dari khilafiyah dengan mengikuti petunjuk nabi
adalah lebih utama. Tapi kita juga jangan mengingkari yang menyetujui
pembolehan qiyas, sehingga boleh mengqadha shalat tahajjud di waktu dhuha
misalnya.
Para ulama
kita menerangkan:
يرى الحنفية والمالكية على
المشهور ، والحنابلة في قول : أن السنن – عدا سنة الفجر – لا تقضى بعد الوقت
Menurut
kalangan Hanafiyah, dan yang masyhur dari kalangan Malikiyah, serta Hanabilah
(hambaliyah): bahwa shalat sunah –kecuali sunah subuh- tidaklah diqadha setelah
waktunya. (Al Hidayah wal ‘Inayah, 1/243. Asy Syarh Ash Shaghir, 1 /408-409, Al
Inshaf, 2/178)
Bersambung
…
✍ Ust. Farid
Nu’man Hasan Hafizhahullah
0 komentar:
Posting Komentar