Rabu, 05 Oktober 2022

Mengqadha Shalat Apa dan Bagaimana? Bagian Dua

Mengqadha Shalat  Apa dan Bagaimana? Bagian Dua

 

Bagaimanakah melakukannya?

Mengqadha shalat dilakukan menurut tertibnya. Jika seseorang tertidur atau lupa shalat Ashar, lalu dia baru ingat atau sadar ketika terbenam matahari, maka dia lakukan sesuai tertibnya yakni Ashar dulu baru Maghrib.

Dalilnya, dari Jabir bin Abdullah Radhiallahu Anhu katanya:

 

أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ جَاءَ يَوْمَ الْخَنْدَقِ بَعْدَ مَا غَرَبَتْ الشَّمْسُ فَجَعَلَ يَسُبُّ كُفَّارَ قُرَيْشٍ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا كِدْتُ أُصَلِّي الْعَصْرَ حَتَّى كَادَتْ الشَّمْسُ تَغْرُبُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَاللَّهِ مَا صَلَّيْتُهَا فَقُمْنَا إِلَى بُطْحَانَ فَتَوَضَّأَ لِلصَّلَاةِ وَتَوَضَّأْنَا لَهَا فَصَلَّى الْعَصْرَ بَعْدَ مَا غَرَبَتْ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى بَعْدَهَا الْمَغْرِبَ

 

“Bahwa Umar bin Al Khaththab datang pada hari peperangan Khandaq setelah matahari terbenam hingga ia mengumpat orang-orang kafir Quraisy, lalu ia berkata, Wahai Rasulullah, aku belum melaksanakan shaat ‘Ashar hingga matahari hampir terbenam! Maka Nabi shallallahu Alaihi wa Sallam pun bersabda: Demi Allah, aku juga belum melaksanakannya. Kemudian kami berdiri menuju Bath-han, beliau berwudlu dan kami pun ikut berwudlu, kemudian beliau melaksanakan shalat ‘Ashar setelah matahari terbenam, dan setelah itu dilanjutkan dengan shalat Maghrib. (H.R. Bukhari No. 596)

Namun, tidak perlu tertib sesuai urutan jika (Lihat Al Mausuah, 34/33-35):

1. Waktu shalatnya sudah sangat sempit, misal tertinggal shalat Zhuhur, baru ingat ketika waktu ‘Ashar sudah mau habis (menjelang Maghrib), maka hendaknya melakukan ‘Ashar dulu.

2.  Shalatnya bersama kaum muslimin yang shalat sesuai waktunya, misal dia tertidur sehingga melewati waktu Zhuhur lalu bangun pas di waktu manusia shalat ‘Ashar berjamaah, maka hendaknya dia ikuti mereka, barulah dia shalat Zhuhur. Wallahu Alam.

3. Dia tidak mengerti (jahil) caranya, atau lupa, atau banyak yang harus diqadha.

Mengqadha Shalat Sunnah

Qadha pun bisa terjadi pada shalat sunnah. Hal ini pernah terjadi pada masa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, bahkan Beliau sendiri pernah melakukannya.

Qadha Shalat Sunnah Fajar

Shalat sunnah fajar boleh diqadha, yakni dilakukan setelah Shubuh baik matahari telah terbit atau belum. Hal ini berdasarkan hadits berikut (sebenarnya masih ada beberapa hadits lainnya, namun saya sebut dua saja):

Hadits Pertama:

 

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ لَمْ يُصَلِّ رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ فَلْيُصَلِّهِمَا بَعْدَ مَا تَطْلُعُ الشَّمْسُ

 

Dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Barangsiapa yang belum shalat dua rakaat fajar, maka shalatlah keduanya (sunnah fajar dan Shubuh) sampai tebitnya matahari.” (H.R. At Tirmidzi No. 423)

Imam At Tirmidzi Rahimahullah berkata:

 

وقد روي عن ابن عمر أنه فعله والعمل على هذا عند بعض أهل العلم وبه يقول سفيان الثوري وابن المبارك والشافعي وأحمد وإسحق

 

Telah diriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa dia melakukannya. Sebagian ulama telah mengamalkan hadits ini dan inilah pendapat Sufyan At Tsauri, Ibnul Mubarak, Asy Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq. (Sunan At Tirmidzi, penjelasan hadits No. 423)

Imam Asy Syaukani menulis dalam Nailul Authar sebagai berikut:

 

وَقَدْ ثَبَتَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَضَاهُمَا مَعَ الْفَرِيضَةِ لَمَّا نَامَ عَنْ الْفَجْرِ فِي السَّفَرِ

 

“Telah tsabit (kuat) bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah mengqadha keduanya (shalat sunah fajar) bersama shalat wajib (subuh) ketika ketiduran saat fajar dalam sebuah perjalanan.”

Tentang hadits Imam At Tirmidzi di atas, Imam As Syaukani berkata:

 

وَلَيْسَ فِي الْحَدِيثِ مَا يَدُلُّ عَلَى الْمَنْعِ مِنْ فِعْلِهِمَا بَعْد صَلَاةِ الصُّبْحِ

 

“Pada hadits ini tidaklah menunjukkan larangan untuk melaksanakan dua rakaat tersebut setelah shalat subuh.” (Nailul Authar, 3/25)

Hadits Kedua:

Hadits yang paling jelas tentang qadha shalat sunnah fajar adalah riwayat tentang Qais bin Umar bahwa beliau shalat Shubuh di masjid bersama Rasulullah, sedangkan dia sendiri belum mengerjakan shalat sunnah fajar. Setelah selesai shalat Shubuh dia berdiri lagi untuk shalat sunnah dua rakaat. Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam berjalan melewatinya dan bertanya:

 

مَا هَذِهِ الصَّلَاةُ فَأَخْبَرَهُ فَسَكَتَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَضَى وَلَمْ يَقُلْ شَيْئًا

 

“Shalat apa ini?, maka dia menceritakannya. Lalu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam diam, dan berlalu tanpa mengatakan apa-apa.” (H.R. Ahmad No. 23761, Abdurazzaq dalam Al Mushannaf No. 4016, Alauddin Al Muttaqi Al Hindi dalam Kanzul Ummal No. 22032, Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkat: Berkata Al Iraqi: sanadnya hasan. (Fiqhus Sunnah, 1/187). Syaikh Syuaib Al Arnauth mengatakan: hadits ini mursal (terputus sanadnya pada generasi sahabat), namun semua perawinya tsiqaat. Lihat Taliq Musnad Ahmad No. 23761)

Beliau melanjutkan:

 

وظاهر الاحاديث أنها تقضى قبل طلوع الشمس وبعد طلوعها، سواء كان فواتها لعذر أو لغير عذر وسواء فاتت وحدها أو مع الصبح

 

“Secara zhahir, hadits-hadits ini menunjukkan bahwa mengqadha shalat sunnah fajar bisa dilakukan sebelum terbit matahari atau setelahnya. Sama saja, baik terlambatnya karena adanya udzur atau selain udzur, dan sama pula baik yang luput itu shalat sunnah fajar saja, atau juga shalat shubuhnya sekaligus. (Fiqhus Sunnah, 1/187) Sekian. Wallahu Alam.

Syaikh Abul Hasan Al Mubarkafuri Rahimahullah menjelaskan:

 

وقال ابن الملك: سكوته يدل على قضاء سنة الصبح بعد فرضه لمن لم يصلها قبله. وبه قال الشافعي – انتهى. وكذا قال الشيخ حسين بن محمود الزيداني في المفاتيح حاشية المصابيح، والشيخ علي بن صلاح الدين في منهل الينابيع شرح المصابيح، والعلامة الزيني في شرح المصابيح

 

Berkata Ibnu Al Malik: Diamnya Nabi menunjukkan bolehnya mengqadha shalat sunnah Shubuh setelah ditunaikan kewajiban Shubuhnya, bagi siapa saja yang belum melakukannya sebelumnya. Ini adalah pendapat Asy Syafii. Selesai. Demikian juga pendapat Syaikh Husein bin Mahmud Az Zaidani dalam kitab Al Mafatih Hasyiah Al Mashabih, Syaikh Ali bin Shalahuddin dalam kitab Manhal Al Yanabi Syarh Al Mashabih, dan juga Al Allamah Az Zaini dalam Syarh Al Mashabih. (Mirah Al Mafatih, 3/465). Wallahu A’lam.

Mengqadha shalat Ba’diyah Zhuhur

Imam Al Bukhari Rahimahullah berkata:

 

وَقَالَ كُرَيْبٌ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ صَلَّى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَعْدَ الْعَصْرِ رَكْعَتَيْنِ وَقَالَ شَغَلَنِي نَاسٌ مِنْ عَبْدِ الْقَيْسِ عَنْ الرَّكْعَتَيْنِ بَعْدَ الظُّهْرِ

 

Kuraib berkata, dari Ummu Salamah: “Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat setelah ‘Ashar sebanyak dua rakaat. Beliau bersabda: “Orang-orang dari Abdul Qais telah menyibukkanku dari shalat dua rakaat setelah Zhuhur.” (Shahih Bukhari, diriwayatkan secara muallaq dalam Bab Maa Yushalla Badal Ashri wa Minal Fawaa-it wa Nahwiha)

Sebagaimana kita ketahui, bahwa setelah ‘Ashar adalah termasuk waktu dilarang shalat, tetapi mengapa Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam melakukan?

Imam Badruddin Al Aini Rahmahullah berkata:

 

قال الكرماني وهذا دليل الشافعي في جواز صلاة لها سبب بعد العصر بلا كراهة

 

Berkata Al Karmani: “Ini adalah dalil bagi Asy Syafi’i tentang kebolehan shalat setelah ‘Ashar jika memiliki sebab, sama sekali tidak makruh.” (‘Umdatul Qari, 8/19)

Imam Al ‘Aini mengomentari:

 

قلت هذا لا يصلح أن يكون دليلا لأن صلاته هذه كانت من خصائصه كما ذكرنا فلا يكون حجة لذاك

 

Aku berkata: tidak benar menjadikan hadits ini sebagai dalil, karena shalatnya ini merupakan bagian dari kekhususan bagi Beliau, sebagaimana yang telah kami sebutkan, maka hadits ini tidak bisa dijadikan hujjah atas hal itu. (Ibid)

Yang benar adalah bolehnya melakukan shalat pada waktu-waktu terlarang jika ada sebab, dan itu bukanlah kekhususan bagi Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam saja. (Insya Allah ada pembahasan sendiri). Dan, ini adalah pendapat jumhur ulama, sebagaimana keterangan berikut:

 

ذهب المالكية والشافعية والحنابلة ، وأبو العالية والشعبي والحكم وحماد والأوزاعي وإسحاق وأبو ثور وابن المنذر إلى أنه يجوز قضاء الفرائض الفائتة في جميع أوقات النهي وغيرها

 

Pendapat kalangan Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah, Abul ‘Aliyah, Asy Sya’bi, Al Hakam, Hammad, Al Auzai, Ishaq, Abu tsaur, dan Ibnul Mundzir, bahwasanya boleh mengqadha shalat wajib yang ditinggalkan pada waktu-waktu terlarang dan selainnya. (Asy Syarh Ash Shaghir, 1/242. Raudhatuth Thalibin, 1/193. Al Mughni, 2/107-108)

Demikianlah tentang mengqadha shalat sunnah, yaitu shalat sunnah fajar dan shalat ba’diyah Zhuhur. Apakah hal ini boleh dilakukan untuk semua shalat sunnah? Misalnya seseorang yang tidak sempat melakukan tahajjud, akhirnya dia mengqadhanya ketika dhuha dengan mengqiyaskannya pada kasus shalat sunnah fajar dan shalat ba’diyah Zhuhur? Sebagian ulama ada yang membolehkan, tapi jawaban yang relatif aman adalah seperti yang dikatakan oleh Imam Ibnu Katsir Rahimahullah:

 

وباب القربات يقتصر فيه على النصوص، ولا يتصرف فيه بأنواع الأقيسة والآراء

 

Bab masalah qurbah (mendekatkan diri kepada Allah) harus berdasarkan nash-nash, bukan karena qiyas-qiyas atau pendapat-pendapat. (Tafsir Al Quran Al ‘Azhim, 7/465)

Jadi, lebih aman dan selamat adalah mengqadha shalat sunnah hanya pada jenis shalat yang memang Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lakukan atau Beliau setujui, bukan shalat sunnah lainnya. Keluar dari khilafiyah dengan mengikuti petunjuk nabi adalah lebih utama. Tapi kita juga jangan mengingkari yang menyetujui pembolehan qiyas, sehingga boleh mengqadha shalat tahajjud di waktu dhuha misalnya.

Para ulama kita menerangkan:

 

يرى الحنفية والمالكية على المشهور ، والحنابلة في قول : أن السنن – عدا سنة الفجر – لا تقضى بعد الوقت

 

Menurut kalangan Hanafiyah, dan yang masyhur dari kalangan Malikiyah, serta Hanabilah (hambaliyah): bahwa shalat sunah –kecuali sunah subuh- tidaklah diqadha setelah waktunya. (Al Hidayah wal ‘Inayah, 1/243. Asy Syarh Ash Shaghir, 1 /408-409, Al Inshaf, 2/178)

Bersambung …

Ust. Farid Nu’man Hasan Hafizhahullah

https://umma.id

 

0 komentar:

Posting Komentar