Tak Sanggup
Menghitung Nikmat Allah
Nikmat Allah sungguh tak sanggup untuk dihitung. Jika
demikian, maka bentuk syukur kita pun masih terus mengalami kekurangan. Di awal
surat An Nahl, disebutkan berbagai nikmat. Di antara nikmat yang disebutkan
adalah hewan ternak, turunnya hujan, tumbuhnya berbagai tanaman (zaitun, kurma,
dan anggur), beralihnya malam dan siang, adanya laut untuk mencari karunia
Allah, adanya gunung-gunung yang dijadikan sebagai pasak agar bumi tidak
bergoncang dan adanya bintang sebagai petunjuk arah.
Kemudian setelah menyebutkan berbagai nikmat tersebut,
Allah Ta’ala berfirman,
وَإِنْ
تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا إِنَّ اللَّهَ لَغَفُورٌ رَحِيمٌ
“Dan jika
kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan
jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
(QS. An Nahl: 18).
Yang
dimaksud dengan ayat ini disebutkan dalam Tafsir Al Jalalain (hal. 278), “Jika
kalian tidak mampu menghitungnya, lebih-lebih untuk mensyukuri semuanya. Namun
kekurangan dan kedurhakaan kalian masih Allah maafkan (bagi yang mau bertaubat,
-pen), Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”
Ibnu Katsir
juga menjelaskan dalam kitab tafsirnya (4: 675), “Allah benar-benar memaafkan
kalian. Jika kalian dituntut unutk mensyukuri semua nikmat yang Allah beri,
tentu kalian tidak mampu mensyukurinya. Jika kalian diperintah untuk mensyukuri
seluruh nikmat tersebut, tentu kalian tidak mampu dan bahkan enggan untuk
bersyukur. Jika Allah mau menyiksa, tentu bisa dan itu bukan tanda Allah itu
zholim. Akan tetapi, Allah masih mengampuni dan mengasihi kalian. Allah
mengampuni kesalahan yang banyak lagi memaafkan bentuk syukur kalian yang
sedikit.”
Imam Ibnu
Jarir Ath Thobari berkata, “Sesungguhnya Allah memaafkan kekurangan kalian
dalam bersyukur. Jika kalian bertaubat, kembali taat dan ingin menggapai ridho
Allah, Dia sungguh menyayangi kalian dengan ia tidak akan menyiksa kalian
setelah kalian betul-betul bertaubat.” Demikian beliau sebutkan dalam Jami’ul
Bayan fii Ta’wil Ayyil Qur’an, 8: 119.
Muhammad Al
Amin Asy Syinqithi menjelaskan, “Dalam ayat ini dijelaskan bahwa manusia tidak
mampu menghitung nikmat Allah karena begitu banyaknya. Lalu setelahnya Allah
sebutkan bahwa Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Ini menunjukkan atas
kekurangan manusia dalam bersyukur terhadap nikmat-nikmat tersebut. Namun Allah
masih mengampuni siapa saja yang bertaubat pada-Nya. Allah akan mengampuni
setiap orang yang memiliki kekurangan dalam bersyukur terhadap nikmat. Hal ini
diisyaratkan pula dalam ayat,
وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ
اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا إِنَّ الْإِنْسَانَ لَظَلُومٌ كَفَّارٌ
“Dan jika
kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghinggakannya.
Sesungguhnya manusia itu, sangat zalim dan sangat mengingkari (nikmat Allah).”
(QS. Ibrahim: 34). Setiap nikmat memang dari Allah sebagaimana disebutkan dalam
ayat lainnya dari surat An Nahl,
وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ
فَمِنَ اللَّهِ
“Dan apa
saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya)” (QS. An Nahl :
53). (Lihat Adhwaul Bayan, 3: 231).
Dalam ayat
ini pula, Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi memberikan pelajaran kaedah
bahasa Arab bahwa isim mufrod jika disandarkan pada isim ma’rifah, maka
menunjukkan makna umum. Semisal dalam ayat ini kata “ni’mat Allah”. Nikmat itu
mufrod (tunggal), lafazh jalalah “Allah” adalah isim ma’rifah. Jadi yang
dimaksud adalah seluruh nikmat, bukan hanya satu nikmat saja.
Ya Allah,
kami bersyukur kepada-Mu sebanyak nikmat yang disyukuri oleh orang-orang yang
bersyukur dalam setiap lisan dan setiap waktu.
Semoga kita
jadi hamba Allah yang pandai bersyukur. Wallahu waliyyut taufiq was sadaad.
—
Muhammad Abduh
Tuasikal, MSc
0 komentar:
Posting Komentar