Kesalahan dalam
Bersedekah (2)
Ada dua kesalahan lagi ketika bersedekah yang disebutkan
kali ini.
4- Tidak merahasiakan sedekah
Allah Ta’ala berfirman,
إِنْ
تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ وَإِنْ تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا
الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَيُكَفِّرُ عَنْكُمْ مِنْ سَيِّئَاتِكُمْ
وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ
“Jika kamu
menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu
menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka
menyembunyikan itu lebih baik bagimu. Dan Allah akan menghapuskan dari kamu
sebagian kesalahan-kesalahanmu; dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.”
(QS. Al Baqarah: 271).
Syaikh As
Sa’di ketika menafsirkan ayat di atas berkata, “Jika sedekah tersebut
ditampakkan dengan tetap niatan untuk meraih wajah Allah, maka itu baik. Dan
seperti itu sudah mencapai maksud bersedekah. Namun jika dilakukan secara
sembunyi-sembunyi, maka itu lebih baik. Jadi ayat ini menunjukkan bahwa sedekah
yang dilakukan sembunyi-sembunyi lebih utama daripada dilakukan secara
terang-terangan. Namun jika tidak sampai bersedekah karena ia maksud
sembunyikan, maka tetap menyampaikan sedekah tadi secara terang-terangan itu
lebih baik. Jadi semuanya dilakukan dengan kembali melihat maslahat.”
Kata Ibnu
Katsir berkata bahwa tetap bersedekah dengan sembunyi-sembunyi itu lebih afdhol
karena berdasarkan hadits,
Dari Abu
Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللهُ
فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لاَ ظِلَّ إِلاَّ ظِلُّهُ: اْلإِمَامُ الْعَادِلُ، وَشَابٌّ
نَشَأَ بِعِبَادَةِ رَبِّهِ، وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ،
وَرَجُلاَنِ تَحَابَّا فِي اللهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ،
وَرَجُلٌ طَلَبَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ فَقَالَ: إِنِّيْ أَخَافُ
اللهَ، وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ أَخْفَى حَتَّى لاَ تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا تُنْفِقُ
يَمِيْنُهُ، وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللهَ خَالِيًا فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ
“Ada tujuh
golongan yang akan dinaungi oleh Allah dengan naungan ‘Arsy-Nya pada hari di
mana tidak ada naungan kecuali hanya naungan-Nya semata,
1- Imam
(pemimpin) yang adil.
2- Pemuda
yang tumbuh besar dalam beribadah kepada Rabbnya.
3-
Seseorang yang hatinya senantiasa terpaut pada masjid.
4- Dua
orang yang saling mencintai karena Allah, di mana keduanya berkumpul dan
berpisah karena Allah.
5- Dan
seorang laki-laki yang diajak (berzina) oleh seorang wanita yang berkedudukan
lagi cantik rupawan, lalu ia mengatakan, “Sungguh aku takut kepada Allah.”
6-
Seseorang yang bersedekah lalu merahasiakannya sehingga tangan kirinya tidak mengetahui
apa yang diinfaqkan oleh tangan kanannya.
7- Dan
orang yang berdzikir kepada Allah di waktu sunyi, lalu berlinanglah air
matanya.” (HR. Bukhari no. 660 dan Muslim no. 1031).
Hadits di
atas menunjukkan bahwa keutamaan sedekah yang dilakukan secara
sembunyi-sembunyi. Para ulama mengatakan bahwa inilah yang berlaku pada sedekah
sunnah, secara sembunyi-sembunyi itu lebih utama. Cara seperti itu lebih dekat
pada ikhlas dan jauh dari riya’. Adapun zakat wajib, dilakukan secara
terang-terangan itu lebih afdhol. Demikian pula shalat, shalat wajib dilakukan
terang-terangan, sedangkan shalat sunnah lebih afdhol sembunyi-sembunyi karena
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik shalat adalah shalat
seseorang di rumahnya kecuali shalat wajib.”
Para ulama
katakan bahwa penyebutan tangan dan kiri di sini hanyalah ibarat yang
menggambarkan sedekahnya benar-benar dilakukan secara diam-diam. Tangan kanan
dan kiri, kita tahu begitu dekat dan selalu bersama. Ini ibarat bahwa sedekah
tersebut dilakuan secara sembunyi-sembunyi. Demikian kata Imam Nawawi dalam
Syarh Shahih Muslim.
5- Tidak
bersedekah saat badan sehat dan merasa sayang terhadap harta
Dari Abu
Hurairah, ia berkata bahwa ada seseorang yang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, lalu ia berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ أَىُّ
الصَّدَقَةِ أَعْظَمُ أَجْرًا قَالَ « أَنْ تَصَدَّقَ وَأَنْتَ صَحِيحٌ شَحِيحٌ ،
تَخْشَى الْفَقْرَ وَتَأْمُلُ الْغِنَى ، وَلاَ تُمْهِلُ حَتَّى إِذَا بَلَغَتِ
الْحُلْقُومَ قُلْتَ لِفُلاَنٍ كَذَا ، وَلِفُلاَنٍ كَذَا ، وَقَدْ كَانَ
لِفُلاَنٍ »
“Wahai
Rasulullah, sedekah yang mana yang lebih besar pahalanya?” Beliau menjawab,
“Engkau bersedekah pada saat kamu masih sehat, saat kamu takut menjadi fakir,
dan saat kamu berangan-angan menjadi kaya. Dan janganlah engkau menunda-nunda
sedekah itu, hingga apabila nyawamu telah sampai di tenggorokan, kamu baru
berkata, “Untuk si fulan sekian dan untuk fulan sekian, dan harta itu sudah
menjadi hak si fulan.” (Muttafaqun ‘alaih. HR. Bukhari no. 1419 dan Muslim no.
1032).
Yang
dimaksud keadaan sehat di sini adalah dalam keadaan tidak tertimpa sakit.
Adapun pelit atau syahih yang dimaksud adalah pelit ditambah punya rasa tamak.
Imam Nawawi
rahimahullah mengatakan bahwa orang pelit itu ketika dalam keadaan sehat. Jika
ia berbaik hati bersedekah dalam keadaan sehat seperti itu, maka terbuktilah
akan benarnya niatnya dan besarnya pahala yang diperoleh. Hal ini berbeda
dengan orang yang bersedekah saat menjelang akhir hayat atau sudah tidak ada
harapan lagi untuk hidup, maka sedekah ketika itu masih terasa kurang berbeda
halnya ketika sehat. (Syarh Shahih Muslim, 7: 112)
Ibnul Munir
menyampaikan bahwa ayat yang dibawakan oleh Imam Bukhari sebelum hadits di atas
menunjukkan larangan menunda-nunda untuk berinfak dan supaya menjauhi panjang
angan-angan. Juga di dalamnya diajarkan supaya bersegera dalam sedekah, jangan
suka menunda-nunda. Dinukil dari Fathul Bari, 3: 285.
Ayat yang
dibawakan adalah firman Allah,
وَأَنْفِقُوا مِنْ مَا
رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ
“Dan belanjakanlah
sebagian dari apa yang telah Kami berikan kepadamu sebelum datang kematian.”
(QS. Al Munafiqun: 10).
Dan firman
Allah,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آَمَنُوا أَنْفِقُوا مِمَّا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَ يَوْمٌ لَا
بَيْعٌ فِيهِ
“Hai orang-orang
yang beriman, belanjakanlah (di jalan Allah) sebagian dari rezki yang telah
Kami berikan kepadamu sebelum datang hari yang pada hari itu tidak ada lagi
jual beli” (QS. Al Baqarah: 254).
Ibnu Hajar
rahimahullah berkata, “Hadits di atas mendorong supaya setiang orang berjuang
melawan hawa nafsunya untuk mengeluarkan harta padahal ada sifat pelit dan
tamak yang menghalangi. Ini yang menunjukkan bahwa sedekahnya benar-benar jujur
dan kuatnya semangat orang yang melakukannya.” (Fathul Bari, 3: 285).
–
bersambung Insya Allah-
—
Oleh
akhukum fillah: Muhammad Abduh Tuasikal, MSc
Artikel Rumaysho.Com
0 komentar:
Posting Komentar