Kesalahan dalam
Bersedekah (1)
Ada beberapa kesalahan ketika bersedekah yang bisa
menjadikan amalan kita sia-sia. Apa saja kesalahan tersebut?
1- Bersedekah tidak ikhlas, atas riya’ dan sum’ah
Di antara yang membuat sedekah tidak diterima adalah sedekah
yang dilakukan tidak ikhlas. Ada yang bersedekah namun ingin disebut sebagai
orang yang dermawan atau ingin cari pujian tinggi. Padahal amalan yang diterima
adalah amalan yang ikhlas karena Allah. Karena sedekah adalah ibadah yang
mulia. Jika tidak dimurnikan ibadah tersebut hanya untuk Allah, maka ibadah
tersebut jadi sia-sia.
Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا
أُمِرُوا إِلا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ
“Padahal
mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan
kepada-Nya (artinya: ikhlas) dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya
mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama
yang lurus” (QS. Al Bayyinah: 5).
Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang bahaya riya’ (gila pujian)
bahwasanya amalan pelaku riya’ tidaklah dipedulikan oleh Allah. Dalam hadits
qudsi disebutkan,
قَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ
وَتَعَالَى أَنَا أَغْنَى الشُّرَكَاءِ عَنِ الشِّرْكِ مَنْ عَمِلَ عَمَلاً
أَشْرَكَ فِيهِ مَعِى غَيْرِى تَرَكْتُهُ وَشِرْكَهُ
“Allah
Tabaroka wa Ta’ala berfirman: Aku sama sekali tidak butuh pada sekutu dalam
perbuatan syirik. Barangsiapa yang menyekutukan-Ku dengan selain-Ku, maka Aku
akan meninggalkannya (artinya: tidak menerima amalannya, pen) dan perbuatan
syiriknya” (HR. Muslim no. 2985).
Imam Nawawi
rahimahullah menuturkan, “Amalan seseorang yang berbuat riya’ (tidak ikhlas),
itu adalah amalan batil yang tidak berpahala apa-apa, bahkan ia akan
mendapatkan dosa” (Syarh Shahih Muslim, 18: 115).
Ibnul
Qayyim dalam Al Fawaid mengatakan, “Tidak mungkin dalam hati seseorang menyatu
antara ikhlas dan mengharap pujian serta tamak pada sanjungan manusia kecuali
bagaikan air dan api.”
Seperti kita
ketahui bahwa air dan api tidak mungkin saling bersatu, bahkan keduanya pasti
akan saling membinasakan. Demikianlah ikhlas dan pujian, sama sekali tidak akan
menyatu. Mengharapkan pujian dari manusia dalam amalan pertanda tidak ikhlas.
Ada yang
menanyakan pada Yahya bin Mu’adz, “Kapan seorang hamba disebut berbuat ikhlas?”
“Jika keadaanya mirip dengan anak yang menyusui. Cobalah lihat anak tersebut
dia tidak lagi peduli jika ada yang memuji atau mencelanya”, jawab Yahya.
Muhammad
bin Syadzan berkata, “Hati-hatilah ketamakan ingin mencari kedudukan mulia di
sisi Allah, namun di sisi lain masih mencari pujian dari manusia”. Maksud
beliau adalah ikhlas tidaklah bisa digabungkan dengan selalu mengharap pujian
manusia dalam beramal.
Ada yang
berkata pada Dzun Nuun Al Mishri rahimahullah, “Kapan seorang hamba bisa
mengetahui dirinya itu ikhlas?” “Jika ia telah mencurahkan segala usahanya
untuk melakukan ketaatan dan ia tidak gila pujian manusia”, jawab Dzun Nuun.[1]
2-
Bersedekah hanya untuk mendapatkan ganti di dunia
Allah
Ta’ala berfirman,
مَنْ كَانَ يُرِيدُ
الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا
وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ (15) أُولَئِكَ الَّذِينَ
لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآَخِرَةِ إِلَّا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ
مَا كَانُوا يَعْمَلُونَ (16
“Barangsiapa
yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan kepada
mereka balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna dan mereka di dunia
itu tidak akan dirugikan. Itulah orang-orang yang tidak memperoleh di akhirat,
kecuali neraka dan lenyaplah di akhirat itu apa yang telah mereka usahakan di
dunia dan sia-sialah apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Hud: 15-16)
Dalam ayat
lain disebutkan,
مَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ
الآخِرَةِ نزدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ وَمَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الدُّنْيَا
نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ نَصِيبٍ
“Barang
siapa yang menghendaki keuntungan di akhirat akan Kami tambah keuntungan itu
baginya dan barang siapa yang menghendaki keuntungan di dunia Kami berikan
kepadanya sebagian dari keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu
bahagianpun di akhirat.” (QS. Asy Syuraa: 20)
Ats Tsauri
berkata, dari Mughiroh, dari Abul ‘Aliyah, dari Ubay bin Ka’ab –radhiyallahu
‘anhu-, beliau mengatakan,
بَشِّرْ هَذِهَ الأُمَّةُ
بِالسِّنَاءِ وَالرِّفْعَةِ وَالدِّيْنِ وَالتَّمْكِيْنِ فِي الأَرْضِ فَمَنْ
عَمِلَ مِنْهُمْ عَمَلَ الآخِرَةِ لِلدُّنْيا لَمْ يَكُنْ لَهُ فِي الآخِرَةِ مِنْ
نَصِيْبٍ
“Berilah
kabar gembira pada umat ini dengan kemuliaan, kedudukan, agama dan kekuatan di
muka bumi. Barangsiapa dari umat ini yang melakukan amalan akhirat untuk meraih
dunia, maka di akhirat dia tidak mendapatkan satu bagian pun.” (HR. Ahmad 5:
134. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan)
Qotadah
mengatakan, “Barangsiapa yang dunia adalah tujuannya, dunia yang selalu dia
cari-cari dengan amalan sholehnya, maka Allah akan memberikan kebaikan
kepadanya di dunia. Namun ketika di akhirat, dia tidak akan memperoleh kebaikan
apa-apa sebagai balasan untuknya. Adapun seorang mukmin yang ikhlash dalam
beribadah (yang hanya ingin mengharapkan wajah Allah), dia akan mendapatkan
balasan di dunia juga dia akan mendapatkan balasan di akhirat.” (Lihat Tafsir
Al Qur’an Al ‘Azhim, tafsir surat Hud ayat 15-16)
Niat seseorang
ketika beramal ada beberapa macam:
a- Jika
niatnya adalah murni untuk mendapatkan dunia ketika dia beramal dan sama sekali
tidak punya keinginan mengharap wajah Allah dan kehidupan akhirat, maka orang
semacam ini di akhirat tidak akan mendapatkan satu bagian nikmat pun. Perlu
diketahui pula bahwa amalan semacam ini tidaklah muncul dari seorang mukmin.
Orang mukmin walaupun lemah imannya, dia pasti selalu mengharapkan wajah Allah
dan negeri akhirat.
b- Jika
niat seseorang adalah untuk mengharap wajah Allah dan untuk mendapatkan dunia
sekaligus, entah niatnya untuk kedua-duanya sama atau mendekati, maka semacam
ini akan mengurangi tauhid dan keikhlasannya. Amalannya dinilai memiliki
kekurangan karena keikhlasannya tidak sempurna.
c- Adapun
jika seseorang telah beramal dengan ikhlash, hanya ingin mengharap wajah Allah
semata, akan tetapi di balik itu dia mendapatkan upah atau hasil yang dia ambil
untuk membantunya dalam beramal (semacam mujahid yang berjihad lalu mendapatkan
harta rampasan perang, para pengajar dan pekerja yang menyokong agama yang
mendapatkan upah dari negara setiap bulannya), maka tidak mengapa mengambil
upah tersebut. Hal ini juga tidak mengurangi keimanan dan ketauhidannya, karena
semula dia tidak beramal untuk mendapatkan dunia. Sejak awal dia sudah berniat
untuk beramal sholeh dan menyokong agama ini, sedangkan upah yang dia dapatkan
adalah di balik itu semua yang nantinya akan menolong dia dalam beramal dan
beragama. (Lihat Al Qoulus Sadiid karya Syaikh As Sa’di, hal. 132-133)
Adapun amalan
yang seseorang lakukan untuk mendapatkan balasan dunia ada dua macam:
a- Amalan
yang tidak disebutkan di dalamnya balasan dunia. Namun seseorang melakukan
amalan tersebut untuk mengharapkan balasan dunia, maka semacam ini tidak
diperbolehkan bahkan termasuk kesyirikan.
Misalnya:
Seseorang melaksanakan shalat Tahajud. Dia berniat dalam hatinya bahwa pasti
dengan melakukan shalat malam ini, anaknya yang akan lahir nanti adalah
laki-laki. Ini tidak dibolehkan karena tidak ada satu dalil pun yang menyebutkan
bahwa dengan melakukan shalat Tahajud akan mendapatkan anak laki-laki.
b- Amalan
yang disebutkan di dalamnya balasan dunia. Contohnya adalah silaturrahim dan
berbakti kepada kedua orang tua. Semisal silaturrahim, Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ
لَهُ فِى رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
“Barangsiapa
senang untuk dilapangkan rizki dan dipanjangkan umurnya, maka jalinlah tali
silaturrahim (hubungan antar kerabat).” (HR. Bukhari no. 5986 dan Muslim no.
2557)
Jika
seseorang melakukan amalan semacam ini, namun hanya ingin mengharapkan balasan
dunia saja dan tidak mengharapkan balasan akhirat, maka orang yang melakukannya
telah terjatuh dalam kesyirikan. Namun, jika dia melakukannya tetap mengharapkan
balasan akhirat dan dunia sekaligus, juga dia melakukannya dengan ikhlas, maka
ini tidak mengapa dan balasan dunia adalah sebagai tambahan nikmat untuknya
karena syari’at telah menunjukkan adanya balasan dunia dalam amalan ini.
3-
Mengungkit-ungkit sedekah dan menyakiti penerimanya
Allah
Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آَمَنُوا لَا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالْأَذَى
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu
dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima)” (QS. Al
Baqarah: 264).
Ibnu Katsir
menjelaskan, “Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa sedekah menjadi sia-sia
hanya karena si pemberi mengungkit-ungkit sedekah yang telah ia beri dan ia
menyakiti yang menerima. Seseorang tidak mendapatkan pahala sedekah akibat
melakukan dua kesalahan tersebut.”
Dalam
hadits disebutkan pula,
عَنْ أَبِى ذَرٍّ عَنِ
النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « ثَلاَثَةٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ
يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلاَ يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ
عَذَابٌ أَلِيمٌ » قَالَ فَقَرَأَهَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-
ثَلاَثَ مِرَارٍ. قَالَ أَبُو ذَرٍّ خَابُوا وَخَسِرُوا مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ
اللَّهِ قَالَ « الْمُسْبِلُ وَالْمَنَّانُ وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ
الْكَاذِبِ ».
“Dari Abu
Dzar, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Ada tiga orang
yang pada hari kiamat tidak akan diajak bicara, tidak dilihat dan tidak
disucikan serta baginya siksa yang pedih.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam mengulanginya sampai tiga kali. Abu Dzar berkata, “Mereka sengsara dan
merugi. Lantas siapakah mereka wahai Rasulullah?” Beliau bersabda, “Lelaki yang
berpakaian isbal (menjulurkan celana di bawah mata kaki), orang yang
mengungkit-ungkit kebaikannya setelah memberi, serta orang yang melariskan
dagangannya dengan sumpah yang palsu.” (HR. Muslim no. 106).
-bersambung
insya Allah, moga Allah mudahkan-
—
Oleh akhukum fillah: Muhammad Abduh
Tuasikal, MSc
Artikel Rumaysho.Com
0 komentar:
Posting Komentar