Memahami Syukur
Segala puji hanya bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Shalawat dan salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam, para sahabat dan seluruh kaum muslimin yang senantiasa berpegang
teguh pada sunnah beliau sampai hari kiamat.
Kaum muslimin yang kami muliakan, sesungguhnya segala
kebaikan dan kenikmatan yang ada pada kita adalah karunia dari Allah Subhanahu
wa Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا
بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللهِ (53)
“Dan apa
saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya)…” (QS. An-Nahl:
53)
Betapa
melimpahnya kenikmatan yang Allah Ta’ala berikan kepada kita, yang tidak
terhingga jumlahnya. Allah memberikan kita kehidupan, kesehatan, makanan,
minuman, pakaian dan begitu banyak nikmat yang lainnya. Jika kita berusaha
menghitung nikmat yang Allah karuniakan kepada kita, niscaya kita tidak akan
mampu menghitungnya. Allah Ta’ala berfirman:
وَإِنْ تَعُدُّوْا نِعْمَةَ
اللهِ لاَ تُحْصُوْهَا
(18)
“Dan jika
kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan
jumlahnya.” (QS. An-Nahl: 18).
Kebaikan
Yang Hakiki Hanya Ada Pada Seorang Mukmin
Kaum
muslimin yang kami muliakan, seorang muslim sejati tidak pernah terlepas dari
tiga keadaan yang merupakan tanda kebahagiaan baginya, yaitu bila dia mendapat
nikmat maka dia bersyukur, bila mendapat kesusahan maka dia bersabar, dan bila
berbuat dosa maka dia beristighfar (Qowa’idul Arba’, hal. 01),
Sungguh
menakjubkan keadaan seorang mukmin. Bagaimanapun keadaannya, dia tetap masih bisa
meraih pahala yang banyak. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
عَجَبًا ِلأَمْرِ الْمُؤْمِنِ
إنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ وَلَيْسَ ذَلِكَ ِلأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ،
إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ
ضَرَّاءُ صَبَرَ فَكَانَ خَيْراً لَهُ
“Sungguh
menakjubkan urusan seorang mukmin, semua urusannya adalah baik baginya. Hal ini
tidak didapatkan kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila mendapatkan
kesenangan, dia bersyukur, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya.
Sebaliknya apabila tertimpa kesusahan, dia pun bersabar, maka yang demikian itu
merupakan kebaikan baginya.” (Hadits shohih. Diriwayatkan oleh Muslim, no. 2999
dari Abu Yahya Shuhaib bin Sinan radhiyallahu ‘anhu).
Kelapangan
Hidup Merupakan Bagian Dari Ujian
Merupakan
sunnatullah bahwasanya Allah Ta’ala telah menentukan ujian dan cobaan bagi para
hamba-Nya. Mereka akan diuji dengan berbagai macam ujian, baik dengan sesuatu
yang disenangi oleh jiwa berupa kemudahan dalam hidup atau kelapangan rizki,
dan juga akan diuji dengan perkara yang tidak mereka sukai, berupa kemiskinan,
kesulitan, musibah atau yang lainnya.
Allah
Ta’ala berfirman:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ
الْمَوْتِ وَنَبْلُوْكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا
تُرْجَعُوْنَ
(35)
“Tiap-tiap
yang berjiwa pasti akan merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan
dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kami-lah
kamu dikembalikan.” (QS. Al-Anbiya: 35)
‘Abdullah
ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma mengatakan, “Maksudnya, Kami akan menguji
kalian dengan kesulitan dan kesenangan, kesehatan dan penyakit, kekayaan dan
kefakiran, halal dan haram, ketaatan dan maksiat, serta petunjuk dan kesesatan.
(Tafsiir ath-Thabari, IX/26, no. 24588).
Inilah
sunnatullah yang berlaku pada para hamba-Nya. Oleh karena itulah, kita melihat
manusia ini berbeda kondisi kehidupannya. Ada yang hidup dengan harta yang
melimpah, fasilitas dan kedudukan. Ada juga yang ditakdirkan hidup sederhana
lagi pas-pasan. Bahkan ada juga yang hidup fakir miskin dan tidak punya
apa-apa.
Segala
nikmat yang Allah berikan kepada kita adalah ujian bagi kita, apakah kita akan
menjadi hamba-Nya yang bersyukur ataukah menjadi orang yang kufur. Sungguh
benar apa yang diucapkan oleh Nabi Sulaiman ‘alaihis salam tatkala mendapatkan
nikmat, beliau mengatakan
هَذَا مِنْ فَضْلِ رَبِّيْ
لِيَبْلُوَنِيْ أَأَشْكُرُ أَمْ أَكْفُرُ وَمَنْ شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشْكُرُ
لِنَفْسِهِ وَمَنْ كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّيْ غَنِيٌّ كَرِيْمٌ (40)
“Ini
termasuk karunia dari Rabb-ku untuk mengujiku, apakah aku bersyukur ataukah
mengingkari (nikmat-Nya). Dan barangsiapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia
bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri. Dan barangsiapa yang ingkar, maka
sesungguhnya Rabb-ku Maha Kaya lagi Maha Mulia.” (QS. An-Naml: 40).
Syukur
Adalah Sifat Mulia Para Nabi
Sesungguhnya
para nabi dan rasul ‘alaihimush sholatu was salam adalah manusia pilihan Rabb
semesta alam, yang diutus ke dunia sebagai suri tauladan bagi umatnya. Mereka
adalah manusia terdepan dalam setiap amal kebajikan. Salah satu sifat yang
sangat menonjol pada mereka adalah senantiasa bersyukur terhadap nikmat yang
telah Allah limpahkan pada mereka. Allah Ta’ala banyak menceritakan keutamaan
mereka dalam al-Qur’an sebagai teladan bagi kita. Allah ‘Azza wa Jalla
menyanjung Nabi Nuh ‘alaihis salam dengan firman-Nya:
إِنَّهُ كَانَ عَبْدًا
شَكُوْرًا (3)
“Sesungguhnya
dia adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur.” (QS. Isra’: 3)
Al-Bukhari
dan Muslim menceritakan di dalam kitab Shahih-nya, bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bangun shalat malam hingga kedua kaki beliau bengkak. Lalu
istri beliau, yaitu ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bertanya, ”Mengapa Anda
melakukan ini, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosa Anda yang dulu maupun yang
akan datang?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
أَفَلاَ أَكُوْنُ عَبْدًا
شَكُوْرًا
”Tidak
pantaskah jika aku menjadi hamba yang bersyukur?” (Hadits shohih. Diriwayatkan
oleh al-Bukhari, no. 4837 dan Muslim, no. 2820)
Hakikat
Syukur
Syukur
adalah akhlaq yang mulia, yang muncul karena kecintaan dan keridho’an yang
besar terhadap Sang Pemberi Nikmat. Syukur tidak akan mungkin bisa terwujud
jika tidak diawali dengan keridho’an. Seseorang yang diberikan nikmat oleh
Allah walaupun sedikit, tidak mungkin akan bersyukur kalau tidak ada
keridho’an. Orang yang mendapatkan penghasilan yang sedikit, hasil panen yang
minim atau pendapatan yang pas-pasan, tidak akan bisa bersyukur jika tidak ada
keridho’an. Demikian pula orang yang diberi kelancaran rizki dan harta yang
melimpah, akan terus merasa kurang dan tidak akan bersyukur jika tidak diiringi
keridho’an.
Kaum
muslimin yang kami muliakan, syukur yang sebenarnya tidaklah cukup hanya dengan
mengucapkan “alhamdulillah”. Namun hendaknya seorang hamba bersyukur dengan
hati, lisan dan anggota badannya. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Qudamah
rahimahullah, “Syukur (yang sebenarnya) adalah dengan hati, lisan dan anggota
badan. (Minhajul Qosidin, hal. 305)
Adapun
tugasnya hati dalam bersyukur kepada Allah ‘Azza wa Jalla adalah
Pertama : Mengakui dan meyakini bahwa nikmat
tersebut semata-mata datangnya dari Allah Ta’ala dan bukan dari selain-Nya.
Allah Ta’ala berfirman: “Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari
Allah-lah (datangnya)…” (QS. An-Nahl: 53). Meskipun bisa jadi kita mendapatkan
nikmat itu melalui teman kita, aktivitas jual beli, bekerja atau yang lainnya,
semuanya itu adalah hanyalah perantara untuk mendapatkan nikmat. Kedua :
Mencintai Allah Ta’ala yang telah memberikan semua nikmat itu kepada kita. Ketiga
: Meniatkan untuk menggunakan nikmat itu di jalan yang Allah ridhai.
Adapun
tugasnya lisan adalah memuji dan menyanjung Dzat yang telah memberikan nikmat
tersebut pada kita. Sementara tugasnya anggota badan adalah menggunakan nikmat
tersebut untuk mentaati Dzat yang kita syukuri (yaitu Allah Ta’ala) dan menahan
diri agar jangan menggunakan kenikmatan itu untuk bermaksiat kepada-Nya.
Semoga
Allah Ta’ala memberikan pertolongan-Nya kepada kita untuk mensyukuri nikmat-Nya
dan menjadikan kita hamba-Nya yang pandai bersyukur.
Penulis: dr. Muhaimin Ashuri
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar, MA
0 komentar:
Posting Komentar