Sedekah Tidaklah
Mengurangi Harta
Dari Asma’ binti Abi Bakr, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda padaku,
لاَ
تُوكِي فَيُوكى عَلَيْكِ
“Janganlah
engkau menyimpan harta (tanpa mensedekahkannya). Jika tidak, maka Allah akan
menahan rizki untukmu.”
Dalam
riwayat lain disebutkan,
أنفقي أَوِ انْفَحِي ، أَوْ
انْضَحِي ، وَلاَ تُحصي فَيُحْصِي اللهُ عَلَيْكِ ، وَلاَ تُوعي فَيُوعي اللهُ
عَلَيْكِ
“Infaqkanlah
hartamu. Janganlah engkau menghitung-hitungnya (menyimpan tanpa mau
mensedekahkan). Jika tidak, maka Allah akan menghilangkan barokah rizki
tersebut[1]. Janganlah menghalangi anugerah Allah untukmu. Jika tidak, maka
Allah akan menahan anugerah dan kemurahan untukmu.”[2]
Hadits ini
dibawakan oleh Yahya bin Syarf An Nawawi dalam Riyadhus Shalihin pada Bab
“Kemuliaan, berderma dan berinfaq”, hadits no. 559 (60/16).
Beberapa
faedah hadits:
Pertama: Hadits di atas memberikan motivasi
untuk berinfaq.[3] Bukhari sendiri membawakan hadits ini dalam Bab “Motivasi
untuk bersedekah (mengeluarkan zakat) dan memberi syafa’at dalam hal itu”. An
Nawawi membuat bab untuk hadits ini “Motivasi untuk berinfaq (mengeluarkan
zakat) dan larangan untuk menghitung-hitungnya (menyimpan tanpa mau
mensedekahkan).”
Kedua: Hadits ini menunjukkan tercelanya
sifat bakhil dan pelit.
Ketiga: Hadits di atas menunjukkan bahwa al
jaza’ min jinsil ‘amal, balasan sesuai dengan amalan perbuatan.[4]
Keempat: Ibnu Baththol menerangkan riwayat
pertama di atas dengan mengatakan, “Janganlah engkau menyimpan-nyimpan harta
tanpa mensedekahkannya (menzakatkannya). Janganlah engkau enggan bersedekah
(membayar zakat) karena takut hartamu berkurang. Jika seperti ini, Allah akan
menahan rizki untukmu sebagaimana Allah menahan rizki untuk para
peminta-minta.”[5]
Kelima: Menyimpan harta yang terlarang
adalah jika enggan mengeluarkan zakat dan sedekah dari harta tersebut. Itulah
yang tercela.[6]
Keenam: Hadits ini menunjukkan larangan
enggan bersedekah karena takut harta berkurang. Kekhawatiran semacam ini adalah
sebab hilangnya barokah dari harta tersebut. Karena Allah berjanji akan memberi
balasan bagi orang yang berinfaq tanpa batasan. Inilah yang diterangkan oleh
Ibnu Hajar Al Asqolani.[7]
Ketujuh: Bukhari dan Muslim sama-sama
membawakan hadits di atas ketika membahas zakat. Ini menunjukkan bahwa yang
mesti diprioritaskan adalah menunaikan sedekah yang wajib (yaitu zakat)
daripada sedekah yang sunnah.
Kedelapan: Ibnu Baththol mengatakan, “Hadits
ini menunjukkan sedekah (zakat) itu dapat mengembangkan harta. Maksudnya adalah
sedekah merupakan sebab semakin berkah dan bertambahnya harta. Barangsiapa yang
memiliki keluasan harta, namun enggan untuk bersedekah (mengeluarkan zakat),
maka Allah akan menahan rizki untuknya. Allah akan menghalangi keberkahan
hartanya. Allah pun akan menahan perkembangan hartanya.”[8]
Kesembilan:
Sedekah tidaklah mengurangi harta. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ
مَالٍ
“Sedekah
tidaklah mengurangi harta.”[9]
Makna
hadits di atas sebagaimana dijelaskan oleh Yahya bin Syarf An Nawawi rahimahullah
ada dua penafsiran:
Harta
tersebut akan diberkahi dan akan dihilangkan berbagai dampak bahaya padanya.
Kekurangan harta tersebut akan ditutup dengan keberkahannya. Ini bisa dirasakan
secara inderawi dan kebiasaan.
Walaupun
secara bentuk harta tersebut berkurang, namun kekurangan tadi akan ditutup
dengan pahala di sisi Allah dan akan terus ditambah dengan kelipatan yang amat
banyak.[10]
Syaikh
Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah menerangkan hadits di atas dengan
mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidaklah mengucapkan sesuatu
berdasarkan hawa nafsunya semata. Beliau bersabda, “Sedekah tidaklah mungkin
mengurangi harta”. Kalau dilihat dari sisi jumlah, harta tersebut mungkin saja
berkurang. Namun kalau kita lihat dari hakekat dan keberkahannya justru malah
bertambah. Boleh jadi kita bersedekah dengan 10 riyal, lalu Allah beri ganti
dengan 100 riyal. Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ
شَيْءٍ فَهُوَ يُخْلِفُهُ وَهُوَ خَيْرُ الرَّازِقِينَ
“Dan barang
apa saja yang kamu nafkahkan, maka Allah akan menggantinya dan Dia-lah Pemberi
rezki yang sebaik-baiknya.” (QS. Saba’: 39). Allah akan mengganti bagi kalian
sedekah tersebut segera di dunia. Allah pun akan memberikan balasan dan
ganjaran di akhirat. Allah Ta’ala berfirman,
مَثَلُ الَّذِينَ يُنْفِقُونَ
أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنْبَتَتْ سَبْعَ سَنَابِلَ
فِي كُلِّ سُنْبُلَةٍ مِئَةُ حَبَّةٍ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَنْ يَشَاءُ
وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
“Perumpamaan
(nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan
Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada
tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang
Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al
Baqarah: 261)”. -Demikian penjelasan sangat menarik dari Syaikh Ibnu ‘Utsaimin
rahimahullah[11]–.
Alhamdulillah,
beberapa faedah sangat berharga telah kita gali dari hadits di atas. Semoga hal
ini semakin mendorong kita untuk mengeluarkan zakat yang nilainya wajib dan
sedekah-sedekah lainnya. Perhatikanlah syarat nishob dan haul setiap harta kita
yang berhak untuk dizakati. Semoga Allah selalu memberkahi harta tersebut.
Namun
ingatlah, tetapkanlah niatkan sedekah dan zakat ikhlas karena Allah dan jangan
cuma mengharap keuntungan dunia semata. Kami mohon pembaca bisa baca artikel
menarik lainnya di sini: Amat disayangkan, banyak sedekah hanya untuk
memperlancar rizki.
Semoga
penjelasan ini dapat menjadi ilmu bermanfaat bagi kita sekalian. Segala puji
bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.
Penulis:
Muhammad Abduh Tuasikal, MSc
Artikel http://rumasyho.com
[1] Lihat tafsiran hadits ini sebagaimana yang
disampaikan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqolani dalam Fathul Bari Syarh
Shahih Al Bukhari, 3/300, Darul Ma’rifah, 1379.
[2] HR. Bukhari no. 1433 dan Muslim no. 1029, 88.
[3] Nuzhatul Muttaqin Syarh Riyadhis Sholihin, Dr.
Musthofa Sa’id Al Khin dkk, hal. 480, Muassasah Ar Risalah, cetakan keempat
belas, tahun 1407 H.
[4] Idem.
[5] Syarh Shahih Al Bukhari, Ibnu Baththol, 4/435-436,
Maktabah Ar Rusyd, cetakan kedua, tahun 1423 H.
[6] Faedah dari Fathul Bari, 3/300, juga dari perkataan
Ibnu Baththol di atas.
[7] Lihat Fathul Bari, 3/300.
[8] Syarh Al Bukhari, Ibnu Baththol, 3/436.
[9] HR. Muslim no. 2558, dari Abu Hurairah.
[10] Lihat Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 16/141, Dar
Ihya’ At Turots Al ‘Arobi, cetakan kedua, 1392.
[11] Lihat Syarh Riyadhis Sholihin, Syaikh Muhammad bin
Sholih Al ‘Utsaimin, 2/342, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan ketiga, 1424 H
0 komentar:
Posting Komentar