4 Pintu Masuk
Maksiat Pada Manusia (Jangan Dekati Zina)
Pendahuluan
Di dalam kitabnya “Al Jawabul Kaafi Liman Sa’ala‘an Ad
Dawaa’ Asy Syafi ”, Imam Ibnu Qoyyim Al Jauziyah mengungkapkan tentang : Bahaya
Zina. Melihat bahwa bahaya yang ditimbulkan oleh zina merupakan bahaya yang
tergolong besar, disamping juga bertentangan dengan aturan universal yang
diberlakukan untuk menjaga kejelasan nasab (keturunan), menjaga kesucian dan
kehormatan diri, juga mewaspadai hal hal yang menimbulkan permusuhan serta perasaan
benci diantara manusia, disebabkan pengrusakan terhadap kehormatan istri,
putri, saudara perempuan dan ibu mereka, yang ini semua jelas akan merusak
tatanan kehidupan.
Melihat hal itu semua, pantaslah bahaya zina itu
–bobotnya – setingkat dibawah pembunuhan. Oleh karena itu, Allah Subhanahu wa
Ta’ala menggandeng keduanya di dalam Al Qur’an, juga Rasulullah Shallallahu
‘alayhi wa Sallam dalam keterangan hadits beliau.
Al Imam Ahmad berkata : “Aku tidak mengetahui sebuah dosa
– setelah dosa membunuh jiwa – yang lebih besar dari dosa zina.”
Dan Allah menegaskan pengharamannya dalam firmanNya:
“Dan orang orang yang tidak menyembah Tuhan lain beserta
Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali
dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina. Barang siapa yang melakukan
demikian itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya), (yakni) akan dilipat
gandakan adzab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu,
dalam kaedaan terhina kecuali orang orang yang bertaubat ” (QS. Al Furqon, 68
–70).
Dalam ayat tersebut, Allah Subhanahu wa Ta’ala
menggandengkan zina dengan syirik dan membunuh jiwa, dan vonis hukumannya
adalah kekal dalam azab yang berat yang dilipat gandakan, selama pelakunya
tidak menetralisir hal tersebut dengan cara bertaubat, beriman dan beramal
shaleh.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman: “Dan janganlah kamu
mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji
(fahisyah) dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Isra’, 32).
Di sini Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan tentang
kejinya zina, karena kata “fahisyah” maknanya adalah perbuatan keji atau kotor
yang sudah mencapai tingkat yang tinggi dan diakui kekejiannya oleh setiap
orang yang berakal, bahkan oleh sebagian banyak binatang. sebagaimana
disebutkan oleh Imam Bukhori dalam kitab shohehnya, dari Ami bin Maimun Al
Audi, ia berkata : “Aku pernah melihat – pada masa jahiliyah – seekor kera
jantan yang berzina dengan seekor kera betina, lalu datanglah kawanan kera
mengerumuni mereka berdua dan melempari keduanya sampai mati.”
Kemudian Allah Subhanahu wa Ta’ala juga memberitahukan
bahwa zina adalah seburuk buruk jalan, karena merupakan jalan kebinasaan,
kehancuran dan kehinaan di dunia, siksaan dan azab di akhirat.
Dan karena menikahi mantan istri istri ayah itu termasuk
perbuatan yang sangat jelak sekali, sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala secara
husus memberikan “cela” tambahan bagi orang yang melakukannya. Allah Subhanahu
wa Ta’ala berfirman (setelah secara tegas melarang kaum muslimin untuk menikahi
istri istri ayah mereka, pent.): “Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan
dibenci Allah dan seburuk buruk jalan (yang ditempuh).” (QS. An Nisa’, 22).
“Sesungguhnya beruntunglah orang orang yang beriman,
(yaitu) orang orang yang khusyu’ dalam shalatnya, dan orang orang yang menjauhkan
diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang orang yang
menunaikan zakat, dan orang orang yang menjaga kemaluannya kecuali terhadap
istri istri mereka, atau budak budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya
mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa yang mencari yang dibalik itu,
maka mereka itulah orang orang yang melampaui batas.” (QS. Al Mu’minun, 1–7).
Dalam ayat ayat ini ada tiga hal yang diungkapkan:
Pertama : bahwa orang yang tidak menjaga kemaluannya,
tidak termasuk orang yang beruntung.
Kedua : dia termasuk orang yang tercela.
Ketiga : dia termasuk orang yang melampaui batas.
Jadi, dia tidak akan mendapat keberuntungan, serta berhak
mendapat predikat “melampaui batas”, dan jatuh pada tindakan yang membuatnya
tercela. Padahal beratnya beban dalam menahan syahwat itu, lebih ringan
ketimbang menanggung sebagian akibat yang disebutkan tadi. Selain itu pula,
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyindir manusia yang selalu berkeluh kesah,
tidak sabar dan tidak mampu mengendalikan diri saat mendapatkan kebahagiaan,
demikian pula kesusahan. Bila mendapat kebahagiaan dia menjadi kikir, tak mau
memberi, dan bila mendapat kesusahan, dia banyak mengeluh. Begitulah sifat umum
manusia, kecuali orang-orang yang memang dikecualikan dari hamba-hambaNya, yang
diantaranya adalah mereka yang disebut di dalam firmanNya :
"Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya,
kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka
sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barang siapa yang mencari
dibalik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al
Ma’arij, 29– 31).
Oleh karenanya, Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan
Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam untuk memerintahkan orang-orang mu’min
agar menjaga pandangan dan kemaluan mereka, juga diberitahukan kepada mereka
bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala selalu menyaksikan amal perbuatan mereka.
“Dia mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa
yang disembunyikan oleh hati.” (QS.Ghafir, 19).
Dan karena ujung pangkal perbuatan zina yang keji ini
dari pandangan mata, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala lebih mendahulukan perintah
untuk memalingkan pandangan mata sebelum perintah untuk menjaga kemaluan,
karena banyak musibah besar yang asal muasalnya adalah dari pandangan ; seperti
kobaran api yang besar asalnya adalah percikan api yang kecil. Mulanya hanya
pandangan, kemudian hayalan, kemudian langkah nyata, kemudian terjadilah
musibah yang merupakan kejahatan besar (zina).
Oleh karena itu, ada yang mengatakan bahwa barang siapa
yang bisa menjaga empat hal, maka berarti dia telah menyelamatkan agamanya:
Al Lahazhat (pandangan pertama),
Al Khatharat (pikiran yang terlintas di benak),
Al Lafazhat (ungkapan yang diucapkan),
Al Khuthuwat (langkah nyata untuk sebuah perbuatan).
Dan seyogyanya, seorang hamba Allah itu bersedia untuk
menjaga dirinya dari empat hal diatas dengan ketat, sebab dari situlah musuh
akan datang menyerangnya, merasuk kedalam dirinya dan merusak segalanya.
EMPAT PINTU MASUK MAKSIAT PADA MANUSIA
Sebagian besar maksiat itu terjadi pada seseorang,
melalui empat pintu yang telah disebutkan di atas. Sekarang, marilah kita ikuti
pembahasan tentang empat pintu tersebut di bawah ini :
1. Al Lahazhat (Pandangan Pertama)
Yang satu ini bisa dikatakan sebagai ‘provokator’
syahwat, atau ‘utusan’ syahwat. Oleh karenanya, menjaga pandangan merupakan
pokok dalam usaha menjaga kemaluan. Maka barang siapa yang melepaskan
pandangannya tanpa kendali, niscaya dia akan menjerumuskan dirinya sendiri pada
jurang kebinasaan. Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda:
“Janganlah kamu ikuti pendangan (pertama) itu dengan pandangan (berikutnya).
Pandangan (pertama) itu boleh buat kamu, tapi tidak dengan pandangan
selanjutnya.” (HR. At Turmudzi, hadits hasan ghorib).
Dan di dalam musnad Imam Ahmad, diriwayatkan dari
Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam, beliau bersabda: “Pandangan itu
adalah panah beracun dari panah-panah iblis. Maka barang siapa yang memalingkan
pandangannya dari kecantikan seorang wanita, ihlas karena Allah semata, maka
Allah akan memberikan di hatinya kelezatan sampai padahari kiamat.” (HR.
Ahmad).
Beliau juga bersabda : “Palingkanlah pandangan kalian,
dan jagalah kemaluan kalian.” (HR. At Thobrani dalam Almu’jam al kabir).
Dalam hadits lain beliau bersabda : “Janganlah kalian
duduk duduk di (tepi) jalan”, mereka berkata : “ya Rasulallah, tempat-tempat
duduk kami pasti di tepi jalan”, beliau bersabda : “Jika kalian memang harus
melakukannya, maka hendaklah memberikan hak jalan itu”, mereka bertanya : “Apa
hak jalan itu ?”, beliau menjawab: “Memalingkan pandangan (dari hal hal yang
dilarang Allah, pent.), menyingkirkan gangguan, dan menjawab salam.” (HR.
Muslim).
Pandangan adalah asal muasal seluruh musibah yang menimpa
manusia. Sebab, pandangan itu akan melahirkan lintasan dalam benak, kemudian
lintasan itu akan melahirkan pikiran, dan pikiran itulah yang melahirkan
syahwat, dan dari syahwat itu timbullah keinginan, kemudian keinginan itu
menjadi kuat, dan berubah menjadi niat yang bulat. Akhirnya apa yang tadinya
melintas dalam pikiran menjadi kenyataan, dan itu pasti akan terjadi selama
tidak ada yang menghalanginya. Oleh karena itu, dikatakan oleh sebagian ahli
hikmah bahwa “bersabar dalam menahan pandangan mata (bebannya) adalah lebih ringan
dibanding harus menanggung beban penderitaan yang ditimbulkannya.”
Seorang penyair mengatakan :
كل
الحوادث مبداها من النظر *** ومعظم النار من مستصغر الشرر
كم نظرة بلغت من قلب صاحبها
*** كمبلغ السهم بين القوس والوبر
والعبد ما دام ذا طرف يقلبه
***في أعين الغير موقوف على الخطر
يسر مقلته ما ضر مهجته *** لا
مرحبا بسرور عاد بالضرر
- Setiap
kejadian musibah itu bermula dari pandangan, seperti kobaran api berasal dari
percikan api yang kecil.
- Betapa
banyak pandangan yang berhasil menembus kedalam hati pemiliknya, seperti
tembusnya anak panah yang dilepaskan dari busur dan talinya.
- Seorang
hamba, selama dia masih mempunyai kelopak mata yang digunakan untuk memandang
orang lain, maka dia berada pada posisi yang membahayakan.
- (Dia
memandang hal-hal yang) menyenangkan matanya tapi membahayakan jiwanya, maka
janganlah kamu sambut kesenangan yang akan membawa malapetaka.
Diantara
bahaya pandangan
Pandangan
yang dilepaskan begitu saja itu akan menimbulkan perasaan gundah, tidak tenang
dan hati yang terasa dipanas-panasi. Seseorang bisa saja melihat sesuatu, yang
sebenarnya dia tidak mampu untuk melihatnya secara keseluruhan, karena dia
tidak sabar untuk melihatnya. Tentu merupakan siksaan yang berat pada batin
anda, bila ternyata anda melihat sesuatu yang anda sendiri tidak bisa sabar
untuk tidak melihatnya,walaupun sebagian dari sesuatu tersebut, namun anda juga
tidak mampu untuk melihatnya.
Seorang
penyair berkata :
وكنت متى أرسلت طرفك رائدا
لقلبك يوما أتعبتك المناظر
رأيت الذي لا كله أنت قادر
عليه ولا عن بعضه أنت صابر
- Bila –
suatu hari – engkau lepaskan pandangan matamu mencari (mangsa) untuk hatimu,
niscaya apa-apa yang dipandangnya akan melelahkan (menyiksa) diri kamu sendiri.
- Engkau
melihat sesuatu yang engkau tidak mampu untuk melihatnya secara keseluruhan dan
engkau juga tidak bisa bersabar untuk tidak melihat (walau hanya) sebagian dari
sesuatu itu.
Lebih
jelasnya, bait syair di atas maksudnya : engkau akan melihat sesuatu yang
engkau tidak sabar untuk tidak melihatnya walaupun sedikit, namun saat itu juga
engkau tidak mampu untuk melihatnya sama sekali walaupun hanya sedikit. Betapa
banyak orang yang melepaskan pandangannya tanpa kendali, akhirnya dia binasa
dengan pandangan pandangan itu sendiri. Seperti yang diungkapkan oleh seorang
penyair
يا ناظرا ما أقلعت لحظاته حتى
تشحط بينهن قتيلا
Wahai orang
yang memandang, tidaklah dia sampai tuntas menyelesaikan pandangannya, sehingga
dia sendiri akan menjauh dan jatuh binasa karena pandangan-pandangannya
sendiri.
Ada untaian
bait lain yang mengatakan
:مل السلامة فاغتدت
لحظاته وقفا على طلل يظن جميلا
ما زال يتبع إثرة لحظاته حتى
تشحط بينهن قتيلا
- (Mungkin)
dia sudah bosan selamat, sehingga dia biarkan pandangannya menyaksikan apa yang
menurutnya indah.
-
Begitulah; dia terus melanjutkan satu pandangan dengan pandangan yang lain,
sehingga akhirnya dia menjauh dan jatuh binasa karena pandangan pandangannya
sendiri.
Suatu hal
yang lebih mengherankan, yaitu bahwa pandangan yang dilakukan oleh seseorang
itu merupakan anak panah yang tidak pernah mengena pada sasaran yang dipandang,
sementara anak panah itu benar-benar mengenadi hati orang yang memandang.
Ada untaian
bait syair yang mengatakan
:يا راميا سهام اللحظ
مجتهدا أنت القتيل بما ترمي فلا تصبوباعث الطرف يرتاد الشفاء له احبس رسولك لا
يأتيك بالعطب
- wahai
orang yang dengan sungguh sungguh melempar anak panah pandangannya, engkaulah
sebenarnya yang menjadi korban dari apa yang kamu lempar itu dan engkau tidak
berhasil membidik orang yang engkau pandang.
- Dan orang
yang melepas pandangannya dia akan kehilangan kesehatannya. (oleh karena itu)
tahanlah pandanganmu, agar tidak mendatangkan musibah kepadamu.
Suatu hal
yang lebih mengherankan lagi, yaitu bahwa satu pandangan (padahal yang
dilarang) itu dapat melukai hati dan (dengan pandangan yang baru) berarti dia
menoreh luka baru di atas luka lama ; namun ternyata derita yang ditimbulkan
oleh luka-luka itu tak mencegahnya untuk kembali terus menerus melukainya.
ما زلت تتبع نظرة في نظرة في إثر كل مليحة ومليح
وتظن ذاك دواء جرحك وهو في ال
تحقيق تجريح على تجريح
فذبحت طرفك باللحاظ وبالبكاء
فالقلب منك ذبيح أي ذبيح
- Kau
senantiasa mengikutkan satu pandangan dengan pandangan lainnya untuk
menyaksikan (wanita) cantik dan (pria) tampan.
- Dan kau
mengira bahwa itu dapat mengobati luka (syahwat) mu, padahal dengan itu berarti
kau menoreh luka di atas luka.
- Kau
korbankan matamu dengan pandangan dan tangisan, sementara hatimu juga (menjerit
seperti) disembelih habis habisan.
Oleh karena
itu dikatakan : “Sesungguhnya menahan pandangan hatimu itu lebih mudah daripada
menahan langgengnya penyesalan.”
2. Al
Khothorot (Pikiran yang Melintas Dibenak)
Adapun “Al
Khothorot” (pikiran yang terlintas dibenak) maka urusannya lebih sulit. Di
sinilah tempat dimulainya aktifitas, yang baik ataupun yang buruk. Dari sinilah
lahirnya keinginan (untuk melakukan sesuatu) yang akhirnya berubah manjadi
tekad yang bulat. Maka barang siapa yang mampu mengendalikan pikiran-pikiran
yang melintas di benaknya, niscaya dia akan mampu mengendalikan diri dan
menundukkan hawa nafsunya. Dan orang yang tidak bisa mengendalikan
pikiran-pikirannya, maka hawa nafsunyalah yang berbalik menguasainya. Dan
barang siapa yang menganggap remeh pikiran pikiran yang melintas di benaknya,
maka tanpa dia inginkan ia akan terseret pada kebinasaan. Pikiran-pikiran itu
akan terus melintas di benak dan di dalam hati seseorang, sehingga akhirnya dia
akan manjadi angan-angan tanpa makna (palsu).
“Laksana
fatamorgana di tanah yang datar, yang disangka air oleh orang orang yang
dahaga, tetapi bila ia mendatanginya maka ia tidak mendapatkannya walau
sedikitpun, dan didapatinya (ketetapan) Allah di sisiNya, lalu Allah memberikan
kepadanya perhitungan amalnya dengan cukup, dan Allah adalah sangat cepat
perhitunganNya.” (QS. An Nur, 39).
Orang yang
paling jelek cita-citanya dan paling hina adalah orang yang merasa puas dengan
angan-angan kosongnya. Dia pegang angan-angan itu untuk dirinya dan dia pun
merasa bangga dengan senang dengannya. Padahal demi Allah, angan angan itu
adalah modal orang-orang yang pailit, dan barang dagangan para pengangguran
serta merupakan makanan pokok bagi jiwa yang kosong, yang bisa merasa puas
dengan gambaran-gambaran dalam hayalan, dan angan-angan palsu.
Seperti
dikatakan oleh seorang penyair :
-
Angan-angan untuk mendapatkan su’da, dapat menghilangkan dahaga. Dengan
angan-angan itu Su’da telah berhasil memberikan pada kita air dingin di kala
haus.
-
Angan-angan yang sekiranya dapat menjadi kenyataan, tentu menjadi kebahagiaan,
dan kalaupun tidak, maka sesungguhnya kita hidup senang beberapa waktu dengan
angan-angan itu.
Angan-angan
adalah sesuatu yang sangat berbahaya bagi manusia. Dia lahir dari sikap
ketidakmampuan sekaligus kamalasan, dan melahirkan sikap lalai yang selanjutnya
penderitaan dan penyesalan. Orang yang hanya mendapatkan realita yang diinginkannya
–sebagai pelampiasannya-, maka dia merubah gambaran realita yang dia inginkan
kedalam hatinya ; dia akan mendekap dan memeluknya erat-erat. Selanjutnya dia
akan merasa puas dengan gambaran-gambaran palsu yang dihayalkan oleh
pikirannya.
Padahal itu
semua, sedikitpun tidak akan membawa manfaat, sama seperti orang yang sedang
lapar dan haus, membayangkan gambaran makanan dan minuman, namun dia tidak
dapat memakan dan meminumnya.
Perasaan
tenang dan puas dengan kondisi semacam ini dan berusaha untuk memperolehnya,
jelas menunjukkan betapa jelek dan hinanya jiwa seseorang, sebab kemuliaan jiwa
seseorang, kebersihan, kesucian dan ketinggiannya tidak lain adalah dengan cara
membuang jauh-jauh setiap pikiran-pikiran yang jauh dari realita, dan dia tidak
rela bila hal hal tersebut sampai melintas dibenaknya, serta dia juga tidak
sudi hal itu terjadi pada dirinya.
Kemudian
“khothorot” atau ide, pikiran yang melintas di benak itu mempunyai banyak
macam, namun pada pokoknya ada empat :
Pikiran
yang orientasinya untuk mencari keuntungan dunia / materi.
Pikiran
yang orientasinya untuk mencegah kerugian dunia/ materi.
Pikiran
yang orientasinya untuk mencarike maslahatan akhirat.
Pikiran
yang orientasinya untuk mencegah kerugian akhirat.
Idealnya,
seorang hamba hendaklah menjadikan pikiran-pikiran, ide- ide dan keinginannya
hanya berkisar pada empat macam di atas. Bila kesemua bagian itu ada padanya,
maka selagi mungkin dipadukan, hendaklah dia tidak mengabaikannya untuk yang
lain. Kalau ternyata pikiran- pikiran yang datang itu banyak dan bertumpang
tindih, maka hendaklah dia mendahulukan yang lebih penting, yang dihawatirkan
akan kehilangan kesempatan untuk itu, kemudian mengahirkan yang tidak terlalu
penting dan tidak dihawatirkan kehilangan kesempatan untuk itu.
Yang
tersisa sekarang adalah dua bagian lagi, yaitu:
Pertama:
yang penting dan tidak dikhawatirkan kehilangan kesempatan untuk melakukannya.
Kedua :
yang tidak penting, namun dihawatirkan kehilangan kesempatan untuk
melakukannya.
Dua bagian
terahir ini sama-sama mempunyai alasan untuk didahulukan. Di sinilah lahir
sikap ragu-ragu dan bingung untuk memilih. Bila dia dahulukan yang penting, dia
khawatir akan kehilangan kesempatan yang lain. Dan bila dia mendahulukan yang
lain, dia akan kehilangan sesuatu yang penting. Begitulah kadang-kadang
seseorang dihadapkan pada dua pilihan yang tidak mungkin dikumpulkan menjadi
satu, yang mana salah satunya tidak dapat dicapai kecuali dengan mengorbankan
yang lain.
Di sinilah
akal, nalar dan pengetahuan itu berperan. Di sini akan diketahui siapa orang
yang tinggi, siapa orang yang sukses, dan siapa orang yang merugi. Kebanyakan
orang yang mengagungkan akal dan pengetahuannya, akan anda lihat dia
mengorbankan sesuatu yang penting dan tidak khawatir kehilangan kesempatan
untuk itu, demi melakukan sesuatu yang tidak penting yang tidak dikhawatirkan
kehilangan kesempatan untuk melakukannya. Dan anda tidak akan mendapatkan
seorangpun yang selamat (dan terlepas) dari hal seperti itu. Hanya saja ada
yang jarang dan ada pula yang sering menghadapinya.
Dan
sebenarnya yang dapat dijadikan sebagai penentu pilihan dalam masalah ini
adalah sebuah kaidah besar dan mendasar yang merupakan poros berputarnya
aturan-aturan syari’at, dan juga pada kaidah inilah dikembalikan segala urusan.
Kaidah itu adalah mendahulukan kemaslahatan yang lebih besar dan lebih tinggi
dalam dua pilihan yang ada –walaupun harus mengorbankan kemaslahatan yang lebih
kecil– kemudian kaidah itu pula yang menyatakan bahwa kita memilih kemudlaratan
yang lebih ringan untuk mencegah terjadinya mudlarat yang lebih besar.
Jadi,
sebuah kemaslahatan akan dikorbankan dengan tujuan mendapatkan kemaslahatan
yang lebih besar, begitu pula sebuah kemadlaratan akan dilakukan dengan tujuan
mencegah terjadinya kemudlaratan yang lebih besar.
Pikiran-pikiran
serta ide-ide orang yang berakal itu tidak akan keluar dari apa yang kita
jelaskan diatas. Dan karena itu datang berbagai syariat atau aturan.
Kemaslahatan dunia dan akhirat selalu didasarkan pada hal-hal tersebut. Dan
pikiran-pikiran serta ide-ide yang paling tinggi, paling mulia dan paling
bermanfaat ialah orientasinya untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kebahagiaan
di alam akhirat nanti.
Kemudian
pikiran yang orientasinya adalah untuk Allah ini bermacam macam :
Pertama :
memikirkan ayat-ayat Allah yang telah diturunkan dan berusaha untuk memahami
maksud Allah dari ayat-ayat tersebut; dan memang untuk itulah Allah
menurunkannya; tidak hanya sekedar untuk dibaca saja, namun membaca itu hanya
media saja. Sebagian ulama salaf mengatakan: “Allah menurunkan Al Qur’an untuk
diamalkan, maka jadikanlah bacaan Al Qur’an itu sebagai amalan."
Kedua :
memikirkan dan memperhatikan ayat-ayat atau tanda-tanda kebesaran-Nya yang
dapat dilihat langsung; dan menjadikannya sebagai bukti akan nama-nama Allah, sifat-sifat,
hikmah, kebaikan dan kemurahanNya. Dan Allah sendiri telah mendorong
hamba-hambaNya untuk merenungkan tanda-tanda kebesaranNya, memikirkan dan
memahaminya; Allah menegur dan mencela orang yang melalaikannya.
Ketiga :
memikirkan ni’mat, kebaikan dan berbagai karunia yang Dia limpahkan kepada
seluruh makhlukNya, dan merenungkan keluasan rahmat, ampunan dan kasih
sayangNya.
Tiga hal di
atas akan dapat mendorong lahirnya –dari hati seorang hamba – ma’rifatullah
(pengetahuan tentang Allah), kecintaan serta perasaan cemas dan harap
kepadaNya. Dan bila tiga hal tadi dilakukan dengan kontinyu, disertai dengan
dzikir kepada Allah, maka hati seorang hamba akan tercelup secara sempurna
dengan ma’rifah dan kecintaan kepadaNya.
Keempat :
memikirkan aib, cela dan kelemahan yang ada pada jiwa dan amal perbuatan. Hal
ini akan memberikan manfa’at yang sangat besar, karena berperang dalam
mengalahkan hawa nafsu yang selalu memerintahkan kejelekan. Bila nafsu yang
jahat itu dapat dikalahkan maka nafsu muthmainnah (jiwa yang tenang)lah yang
akan hidup, bangkit dan menjadi penentu segala keputusan. Lalu hatipun menjadi
hidup dan kebijakan yang ada pada kerajaannyapun didengar, dia perintah para
karyawan dan bala tentaranya untuk melakukan hal yang membawa kemaslahatanya.
Kelima :
memikirkan kewajiban terhadap waktu sekaligus bagaimana cara menggunakannya,
serta menumpahkan seluruh perhatian terhadap pemanfaatan waktu. Seorang yang
arif, akan selalu memanfaatkan waktunya, karena dia yakin, bila waktunya
disia-siakan begitu saja, berarti dia telah menyia-nyiakan seluruh kemaslahatan
(yang seharusnya dia dapatkan. Pent ) sebab, seluruh kemaslahatan itu, tidak
lain bisa timbul dan didapatkan melainkan dari adanya waktu. Dan bila
disia-siakan (dan waktu itu sudah lewat. Pent) maka dia tidak akan bisa
mengembalikannya lagi untuk selamanya.
Al Imam Asy
Syafi’i berkata : “Aku pernah berteman dengan orang-orang sufi dan aku tidak
mendapatkan manfaat apa-apa dari mereka kecuali dua kalimat saja:
Pertama :
“Waktu itu bagaikan pedang, bila engkau tidak memotongnya, dialah yang akan
menebasmu.”
Kedua :
“Dan nafsumu, bila engkau tidak menyibukkannya dengan kebenaran, maka dialah
yang akan menyibukkanmu dengan kebathilan.”
Waktu yang
dimiliki manusia, itulah umur dia yang sebenarnya. Waktu itulah yang menjadi
modal untuk kehidupannya yang abadi dalam kenikmatan abadi (sorga), sekaligus
juga modal untuk kehidupan yang sengsara dalam azab yang pedih (neraka). Waktu
berlalu lebih cepat dari perjalanan gumpalan awan. Maka, barang siapa yang berhasil
menjadikan waktunya untuk Allah dan bersama Allah, itulah kehidupan dan umurnya
yang hakiki. Dan waktu yang tidak dipersembahkan untuk Allah tidaklah dihitung
sebagai bagian dari kehidupannya, walaupun dia hidup tapi kehidupannya laksana
kehidupan binatang ternak. Bila seseorang menghabiskan waktunya penuh dengan
kelalaian, syahwat dan angan-angan kosong atau yang paling banyak hanya
digunakan untuk tidur dan pengangguran, maka bagi orang semacam ini ‘mati’ itu
lebih baik dari pada dia hidup.
Bila
seorang hamba –yang sedang melakukan shalat– tidak akan mendapatkan nilai dari
shalatnya selain pada bagian yang dia fahami dari shalatnya, maka umurnya yang
sesungguhnya adalah waktu yang dia habiskan untuk Allah dan bersama Allah.
Pikiran-pikiran
atau ide-ide yang tidak termasuk salah satu bagian yang disebut di atas tadi,
dapat kita katagorikan sebagai was-was syaithoniyah (bisikan syetan),
angan-angan kosong atau halusinasi bohong, persis seperti pikiran-pikiran orang
yang kurang waras akalnya, baik karena mabuk atau fly dan lain sebagainya.
Dimana ketika segala hakikat kenyataan itu tampak, kondisi mereka saat itu
mengatakan :
إن كان منزلتي في الحشر عندكم ما قد لقيت فقد ضيعت أيامي
أمنية ظفرت نفسي بها زمنا
واليوم أحسبها أضغاث أحلام
- Bila
kedudukanku, saat dikumpulkan bersama kalian, seperti apa yang telah aku temui
sendiri (sekarang ini), maka sungguh aku telah menyia-nyiakan hari hariku.
-
Angan-angan itu telah menguasai jiwaku dalam jangka waktu yang lama, dan hari
ini, aku menganggapnya hanya sebagai bunga rampai.
Ketahuilah,
sebenarnya pikiran pikiran yang melintas itu tidaklah membahayakan, namun yang
bahaya bila pikiran-pikiran itu sengaja didatangkan dan terjadi interaksi
dengannya. Pikiran yang melintas itu laksana orang yang disuatu jalan, bila
anda tidak memanggilnya dan anda biarkan dia, maka dia akan berlalum
eninggalkan anda. Namun bila anda memanggilnya, anda akan terpesona dengan
percakapan, dusta dan tipuannya.
Tindakan
ini akan terasa begitu ringan bagi jiwa yang kosong penuh kebatilan, dan begitu
berat dirasa oleh hati dan jiwa yang suci dan tenang.
Allah
Subhanahu wa Ta’ala telah memasang dua macam nafsu pada diri menusia; nafsu
ammarah dan nafsu muthmainnah, yang kedua duanya saling bertolak belakang.
Segala sesuatu yang terasa ringan oleh yang satu, maka akan terasa berat oleh
yang lain.
Apa yang
terasa nikmat oleh yang satu, maka akan terasa menyiksa oleh yang lain. Tak ada
sesutau yang lebih berat bagi nafsu ammarah melebihi perbuatan yang dilakukan
karena Allah dan mendahulukan keridhaaNya dari pada hawa nafsunya, padahal
tidak ada amal yang lebih bermanfaat baginya dari amal tersebut. Begitu pula,
tidak ada sesuatu yang lebih berat bagi nafsu muthmainnah dari perbuatan yang
bukan untuk Allah dan mengikuti kemauan hawa nafsu. Padahal tidak ada amal yang
lebih berbahaya baginya dari amal tersebut.
Dalam hal
ini, malaikat itu berada disamping kanan hati manusia, sementara syetan
disamping kirinya. Dan pertarungan antara keduanya tidak akan pernah berhenti
sampai ajal ditentukan (oleh Allah) di dunia ini. Seluruh bentuk kebatilan akan
berpihak kepada syetan dan nafsu ammarah, sementara semua macam kebenaran itu
akan berpihak pada malaikat dan nafsu muthmainnah. Dalam peperangan itu kalah
dan menang datang silih berganti. Dan kemenangan itu ada bersama kesabaran.
Maka barang
siapa yang benar-benar bersabar, berusaha keras dan bertakwa kepada Allah,
niscaya baginya balasan yang baik, di dunia dan diakhirat nanti. Dan Allah pun
telah menetapkan sebuah ketetapan yang tidak dapat dirubah selamanya, bahwa
balasan baik itu adalah untuk ketakwaan, dan pahala itu adalah untuk mereka
yang bertakwa.
Hati itu
laksana papan yang kosong, dan pikiran-pikiran itu bagaikan tulisan yang diukir
di atasnya. Maka, bagaimana bisa dikatakan pantas bagi sesorang yang berakal
bila papannya hanya berisi dusta, tipu daya, angan-angan dan fatamorgana yang
tidak ada realitanya?, hikmah, ilmu dan petunjuk macam apa yang diharapkan dari
tulisan-tulisan itu ?, apabila ingin melukiskan hikmah, ilmu dan petunjuk di
papan hatinya, maka tak ubahnya seperti penulisan ilmu yang bermanfaat di
sebuah tempat yang sudah penuh dengan tulisan lain yang tidak ada manfaatnya.
Bila hati
tidak kosong dari pikiran-pikiran kotor, maka pikiran-pikiran positif yang
bermanfaat tidak akan dapat menetap di dalamnya, karena dia memang tidak dapat menempati kecuali tempat yang
kosong, seperti yang diungkapkan oleh seorang penyair :
أتاني هواها قبل أن أعرف
الهوى فصادف قلبا فارغا فتمكنا
“Aku telah
didatangi oleh hawa nafsu sebelum aku kenal dengan hawa nafsu itu sendiri, maka
ia temukan hati yang kosong, oleh karena itu ia dapat menguasaiku.”
Hal seperti
ini banyak terjadi terhadap orang-orang tasawuf, mereka membangun kepribadian
mereka dengan cara menjaga pikiran-pikiran yang melintas di dalam benak, mereka
tidak memberikan kesempatan pada pikiran- pikiran tersebut untuk masuk ke dalam
hati, sehingga hati itu dalam keadaan kosong dan dapat melakukan kasyaf
(menyingkap rahasia) dan menerima hakikat-hakikat yang bermakna tinggi
didalamnya.
Mereka itu
menjaga diri mereka dari satu hal, tetapi mereka lalai dan kehilangan banyak
hal yang lain, sebab mereka kosongkan hati mereka dari lintasan-lintasan
pikiran sehingga menjadi kosong, tidak ada apa-apa di dalamnya, tiba-tiba
syetan mendapatkannya dalam keadaan kosong, kemudian syetan menanamkan di
dalamnya kebatilan dan menggambarkannya sebagai sesuatu yang paling tinggi dan
paling mulia, syetan meletakkan hal itu sebagai ganti dari jenis
pikiran-pikiran yang merupakan bahan dasar dari ilmu pengetahuan dan petunjuk.
Apabila
hati itu sudah kosong dari berbagai macam pikiran, maka syetan akan datang
dengan menemukan tempat yang kosong untuknya. Syetan akan berusaha untuk
mengisinya dengan hal-hal sesuai dengan kondisi pemilik hati tersebut. Bila
tidak berhasil mengisinya dengan keingininan melepaskan diri dari
keinginan-keinginan –yang sebenarnya– tidak ada kebaikan dan kesuksesan bagi
seorang hamba kecuali bila keinginan keinginan tersebut berhasil menguasai
hatinya, yaitu mengosongkannya dari keinginan untuk mengikuti perintah-perintah
tersebut secara rinci untuk kemudian melaksanakannya dimasyarakat, lalu berusaha
menyampaikannya pada orang-orang dengan harapan mereka juga mau
melaksanakannya. Dalam hal ini, syetan akan berusaha menyesatkan orang yang
mempunyai keinginan demikian dengan mengajak untuk meninggalkan keinginan baik
tersebut dan melepaskannya, tidak usah memikirkan dunia dan masyarakat di
dalamnya.
Syetan akan
membisikkan kepada mereka bahwa kesempurnaan itu dapat mereka capai dengan cara
melepaskan diri dan mengosongkan hati dari hal itu semua. Sungguh amat jauh
ungkapan tersebut dari kebenenaran, karena kesempurnaan itu hanya dapat
diperoleh bila hati itu penuh terisi dengan keinginan dan pikiran yang baik,
serta usaha untuk merealisasikannya.
Maka,
manusia yang paling sempurna adalah mereka yang paling banyak memiliki pikiran
dan keinginan untuk tunduk kepada perintah Allah, mencari keridloanNya.
Sebagaimana manusia yang paling hina adalah mereka yang paling banyak memiliki
keinginan dan pikiran untuk memenuhi hawa nafsunya dimana saja dia berada.
Wallahulmusta’an (dan Allah lah tempat mohon pertolongan).
Lihatlah Umar bin Khothob Radhiyallahu ‘anhu,
pikirannya penuh dengan keinginan dalam mencari keridloan Allah, barangkali dia
dalam keadaan shalat, namun saat itu dia juga sedang mempersiapkan tentaranya
(untuk jihad), dengan demikian dia telah berhasil mengumpulkan antara jihad dan
shalat, sehingga beberapa ibadah masuk berkumpul dalam satu ibadah. Ini adalah
salah satu hal yang mulia dan agung, tidak akan tahu tentang hal ini kecuali
mereka yang mempunyai keinginan yang benar-benar kuat, dan pandai mencari, luas
ilmunya serta tinggi cita-citanya, dimana dia masuk dalam satu ibadah namun dia
juga mendapatkan ibadah-ibadah yang lain, itulah karunia Allah yang diberikan
pada siapa yang dikehendakinya.
3. Al
Lafazhat (Ungkapan Kata-kata)
Adapun tentang
Al Lafazhat (ungkapan kata-kata), maka cara menjaganya adalah dengan mencegah
keluarnya kata-kata atau ucapan dari lidahnya, yang tidak bermanfaat dan tidak
bernilai. Misalnya dengan tidak berbicara kecuali dalam hal yang diharapkan
bisa memberikan keuntungan dan tambahan menyangkut masalah keagamaannya. Bila
ingin berbicara, hendaklah seseorang melihat dulu, apakah ada manfaat dan
keuntungannya atau tidak ? bila tidak ada keuntungannya, dia tahan lidahnya
untuk berbicara, dan bila dimungkinkan ada keuntungannya, dia melihat lagi,
apakah ada kata-kata yang lebih menguntungkan lagi dari kata- kata tersebut?
bila memang ada, maka dia tidak akan menyia-nyiakannya.
Yahya bin
Mu’adz berkata :
Hati itu
bagaikan panci yang sedang menggodok apa yang ada didalamnya, dan lidah itu
bagaikan gayungnya, maka perhatikanlah seseorang saat dia berbicara, sebab
lidah orang itu sedang menciduk untukmu apa yang ada di dalam hatinya, manis
atau asam, tawar atau asin, dan sebagainya.
Ia
menjelaskan kepada anda bagaimana “rasa” hatinya, yaitu apa yang dia katakan
dari lidahnya, artinya, sebagaimana anda bisa mengetahui rasa apa yang ada
dalam panci itu dengan cara mencicipi dengan lidah, maka begitu pula anda bisa
mengetahui apa yang ada dalam hati seseorang dari lidahnya ,anda dapat
merasakan apa yang ada dalam hatinya dan lidahnya, sebagaimana anda juga
mencicipi apa yang ada di dalam panci itu dengan lidah anda.
Dalam
hadits Anas Radhiyallahu ‘anhu yang marfu’, Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam
bersabda :
“Tidak akan
istiqomah iman seorang hamba sehingga hatinya beristiqomah (lebih dahulu), dan
hati dia tidak akan istiqomah sehingga lidahnya beristiqomah (lebih dahulu).”
Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alayhi wa Sallam pernah ditanya tentang hal yang paling
banyak memasukkan manusia ke dalam neraka, beliau menjawab “Mulut dan kemaluan”.
( HR. Turmudzi, dan ia berkata : hadits ini hasan shoheh ).
Sahabat
Mu’adz bin Jabal Radhiyallahu ‘anhu pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu
‘alayhiwa Sallam tentang amal apa yang dapat memasukkannya ke dalam sorga dan
menjauhkannya dari api neraka ?, lalu Nabi memberitahukan tentang pokok, tiang
dan puncak yang paling tinggi dari amal tersebut, setelah itu beliau bersabda:
“Bagaimana kalau aku beritahu pada kalian inti dari semua itu?’, dia berkata :
ya, ya Rasulallah, lalu Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam memegang lidah
beliau sendiri kemudian bersabda : “jagalah olehmu yang satu ini”, maka Mu’adz
berkata : adakah kita disiksa disebabkan apa yang kita ucapkan?, beliau
menjawab : “Ibumu kehilangan engkau ya Mu’adz, tidakkah yang dapat menyungkurkan
banyak manusia di atas wajah mereka (ke Neraka) kecuali hasil (ucapan)
lidah-lidah mereka?” (HR. Turmudzi, dan ia berkata : hadits hasan shoheh).
Dan yang
paling mengherankan yaitu bahwa banyak orang yang merasa mudah dalam menjaga
dirinya dari makanan yang haram, perbuatan aniaya, zina, mencuri, minum-minuman
keras serta melihat pada apa yang diharamkan dan lain sebagainya, namun merasa
kesulitan dalam mengawasi gerak lidahnya, sampai sampai orang yang dikenal
punya pemahaman agama, dikenal dengan kezuhudan dan kekhusyu’an ibadahnya, juga
masih berbicara dengan kalimat-kalimat yang dapat mengundang kemurkaan Allah
Subhanahuwa Ta’ala, tanpa dia sadari bahwa satu kata saja dari apa yang dia
ucapkan dapat menjauhkannya (dari Allah dengan jarak) lebih jauh dari jarak
antara timur dan barat. Dan betapa banyak anda lihat orang yang mampu mencegah
dirinya dari perbuatan kotor dan aniaya, namun lidahnya tetap saja membicarakan
aib orang-orang, baik yang sudah mati ataupun yang masih hidup, dan dia tidak
sadar akan apa yang dia katakan.
Kalau anda
ingin mengetahui hal itu, lihatlah apa yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam
kitab shohehnya, dari Jundub bin Abdillah Radhiyallahu‘anhu, bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda: “Ada seorang laki laki yang mengatakan
: ‘Demi Allah, Allah tidak akan mengampuni si Fulan itu’, maka Allah berfirman
: “Siapa orang yang bersumpah bahwa aku tidak akan mengampuni si Fulan ?,
sungguh Aku telah mengampuninya dan menggugurkan amalmu.”
Lihatlah,
hamba yang satu ini, dia telah beribadah kepada Allah dalam waktu yang cukup
lama, namun satu kalimat yang diucapkannya telah menyebabkan semua amalnya
terhapus. Dan di dalam hadits Abu Hurairah Radhiyallahu‘anhu juga dikisahkan
cerita seperti ini, kemudian Abu Hurairah berkomentar: ‘Dia telah mengucapkan
satu kalimat yang dapat menghancurkan dunia dan akhiratnya’.
Dalam
shahih Bukhori dan Muslim, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Muhammad
Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya seorang hamba itu terkadang
mengucapkan satu kalimat yang termasuk dicintai oleh Allah, dia tidak terlalu
perhatian dengan itu, namun ternyata Allah berkenan meninggikannya beberapa
derajat. Dan sesungguhnya seorang hamba itu terkadang mengucapkan satu kalimat
yang termasuk dibenci Allah, dia tidak terlalu perhatian dengan itu, namun
ternyata dengan kalimat itu dia masuk ke dalam neraka Jahannam.”
Dalam
riwayat Muslim: “sesungguhnya seorang hamba itu mengucapkan satu kalimat yang
tidak jelas apa yang dikandungnya, namun dia dapat menjatuhkannya ke dalam
neraka (yang jaraknya) lebih jauh dari jarak antara timur dan barat.”
Dan dalam
riwayat Al Turmudzi, dari hadits Bilal bin Al Harits Al Muzani Radhiyallahu
‘anhu dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alayhi wa Sallam, beliau bersabda: “Sesungguhnya
seorang dari kalian terkadang mengucapkan satu kalimat yang dicintai oleh
Allah, dia tidak menyangka (pahalanya) sampai seperti apa yang dia dapatkan,
namun ternyata dengan kalimat itu Allah memberikan kepadanya keridloanNya
sampai hari dia berjumpa denganNya kelak. Dan sesungguhnya seorang dari kalian
terkadang mengucapkan satu kalimat dari yang dimurkai oleh Allah, dia tidak
menyangka (dosanya) sampai seperti apa yang dia dapatkan, namun ternyata Allah
memberikan kepadanya kemurkaanNya sampai dia berjumpa denganNya kelak.”
‘Alqomah
mengatakan: “Betapa banyak ucapan yang tidak jadi aku katakan disebabkan oleh
hadits Bilal bin Al Harits ini.”
Dalam kitab
Jami’ At Turmudzi, dari hadits Anas Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: ada
seorang sahabat yang meniggal, lalu ada seorang laki-laki berkata: ‘berilah
kabar gembira dengan sorga’, maka Nabi bersabda: “Dari mana kamu tahu?,
barangkali dia pernah mengucapkan (kalimat) yang tidak ada guna baginya atau
dia pelit untuk (memberikan) sesuatu yang tidak akan membuatnya kekurangan.”
(Al Turmudzi berkata : “hadits ini hasan”).
Dalam
lafadz hadits yang lain disebutkan: “Ada seorang anak yang meninggal syahid
diperang Uhud, lalu ditemukan diperutnya sebuah batu yang diikat untuk menahan
lapar, kemudian ibunya mengusap debu yang ada di wajahnya, sambil mengatakan:
“berbahagialah engkau hai anakku, engkau akan mendapatkan sorga”, maka Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda: “ Dari mana kamu tahu ?,
barangkali dia pernah mengucapkan kata-kata yang tidak berguna baginya, dan
menahan apa yang tidak memberikan mudlarat baginya.”
Dalam
shaheh Bukhori dan Muslim, dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa
Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda: “Barang siapa yang beriman
kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia mengatakan yang baik-baik atau
diam saja.”
Dan dalam
lafadz hadits yang diriwayatkan oleh Muslim disebutkan: “Barang siapa yang
beriman kepada Allah dan hari akhir, bila ia menyaksikan suatu perkara maka
hendaklah ia mengatakan yang baik-baik atau diam saja.”
At Tirmidzi
menyebutkan dengan sanad yang shaheh dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alayhi wa
Sallam, bahwa beliau bersabda: “Termasuk (salah satu tanda) kebaikan Islam
seseorang yaitu (bila) dia meninggalkan apa-apa yang tidak berguna baginya.”
Dari Sufyan
bin Abdillah Ats Tsaqafi, dia berkata: “Aku berkata : ‘Ya Rasulallah,
katakanlah kepadaku dalam Islam ini suatu kalimat yang aku tidak akan
menanyakannya pada seorangpun setelah engkau’, Nabi menjawab: “Katakanlah: aku
beriman kepada Allah, kemudian beristiqomahlah engkau”, aku bertanya: ‘Ya
Rasulallah, apa yang paling engkau khawatirkan terhadapku ?’, kemudian Nabi
memegang lidah beliau sendiri lalu mengatakan: “ini” (maksudnya lidah, pent).
(HR. Turmudzi, dan ia bekata : hadits ini shaheh).
Dan Ummu
Habibah isteri Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam, dari Nabi Shallallahu
‘alayhi wa Sallam beliau bersabda: “Semua ucapan anak Adam (manusia) itu akan
merugikan dia, tidak akan menguntungkan dia, kecuali ucapan untuk amar ma’ruf (memerintahkan
yang baik), atau nahi mungkar (mencegah perbuatan mungkar), atau dzikir kepada
Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (At Tirmidzi berkomentar : hadits ini derajatnya
hasan).
Dalam
hadits yang lain disebutkan: “Bila seorang hamba berada di pagi hari, maka
semua anggota tubuh memberikan peringatan kepada lidah dan berkata: takutlah
engkau kepada Allah, sesungguhnya kami ini tergantung kepadamu, bila kamu
istiqomah kami akan istiqomah, dan bila kamu melenceng kami pun ikut
melenceng.”
Sebagian
ulama salaf ada yang menyalahkan dirinya sendiri, hanya sekedar mengucapkan:
“hari ini panas dan hari ini dingin”, dan sebagian ulama juga ada yang tidur
kemudian bermimpi dan dia ditanya tentang keadaannya, lalu dia menjawab: “aku
tertahan oleh satu ucapan yang telah aku katakan, aku pernah mengatakan: “oh,
betapa butuhnya orang orang ini kepada hujan”, tiba-tiba ada yang berkata
kepadaku “dari mana kamu tahu itu?, Akulah yang lebih tahu tentang kemaslahatan
hambaKu.”
Seorang
sahabat ada yang berkata pada pembantunya: tolong ambilkan kain untuk kita
gunakan bermain main, lalu dia berkata: ‘Astaghfirullah, aku tidak pernah
mengucapkan kata-kata kecuali aku pasti bisa mengendalikan dan mengekangnya,
kecuali kata-kata yang tadi aku katakan, ia keluar dari lidahku tanpa kendali
dan tanpa kekang.”
Anggota
tubuh manusia yang paling mudah digerakkan adalah lidah, tapi dia juga yang
paling berbahaya pada manusia itu sendiri …
Ada
perbedaan pendapat antara ulama salaf dan khalaf dalam masalah: apakah semua
yang diucapkan oleh manusia itu semua akan dicatat, ataukah ucapan yang baik
dan yang jelek saja?, di sini ada dua pendapat, namun yang lebih kuat adalah
yang pertama. Sebagian ulama salaf mengatakan: “Semua perkataan anak Adam itu
akan merugikan dirinya dan tidak akan menguntungkannya, kecuali ucapan yang
diambil dari kalam Allah dan ucapan yang digunakan untuk membelaNya."
Abu Bakar
As Shiddiq Radhiyallahu ‘anhu pernah memegang lidahnya dan berkata: “Inilah
yang memasukkan aku ke dalam berbagai masalah”, ucapan itu adalah tawanan anda,
bila ia sudah keluar dari mulut anda berarti andalah yang menjadi tawanannya.
Allah selalu memonitor lidah setiap kali berbicara.
“Tidak
suatu ucapanpun yang diucapkan kecuali ada di dekatnya malaikat pengawas yang
selalu hadir.”
Bahaya Lidah
Pada lidah
itu terdapat dua penyakit besar. Bila seseorang bisa selamat dari salah satu
penyakit itu maka dia tidak bisa lepas dari penyakit yang satunya lagi, yaitu
penyakit berbicara dan penyakit diam. Dalam satu kondisi bisa jadi salah satu
dari keduanya akan mengakibatkan dosa yang lebih besar dari yang lain.
Orang yang
diam terhadap kebenaran adalah syetan yang bisu, dia bermaksiat kepada Allah,
serta bersikap riya’ dan munafik bila dia tidak khawatir hal itu akan menimpa
dirinya. Begitu pula orang yang berbicara tentang kebatilan adalah syetan yang
berbicara, dia bermaksiat kepada Allah.
Kebanyakan
orang sering keliru ketika berbicara dan ketika mengambil sikap diam. Mereka
itu selalu berada di antara dua posisi ini. Adapun orang-orang yang ada di tengah-tengah
–yaitu mereka yang berada pada jalan yang lurus– sikapnya adalah menahan lidah
mereka dari ucapan yang batil dan membiarkannya berbicara dalam hal-hal yang
dapat membawa manfaat pada mereka di akhirat. Sehingga anda tidak akan melihat
mereka mengucapkan kata-kata yang akan membahayakan mereka di akhirat nanti.
Sesungguhnya
ada seorang hamba yang akan datang pada hari kiamat dengan pahala kebaikan
sebesar gunung, namun dia dapati lidahnya sendiri telah menghilangkan pahala
tersebut. Dan ada pula yang datang dengan dosa-dosa sebesar gunung, namun dia
dapati lidahnya telah menghilangkan itu semua dengan banyaknya dzikir kepada
Allah, dan hal-hal yang berhubungan denganNya.
4. Al
Khuthuwat (Langkah Nyata Untuk Sebuah Perbuatan)
Adapun
tentang Al Khuthuwat maka hal ini bisa dicegah dengan komitmen seorang hamba
untuk tidak menggerakkan kakinya kecuali untuk perbuatan yang bisa diharapkan
mendatangkan pahala dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bila ternyata langkah
kakinya itu tidak akan menambah pahala, maka mengurungkan langkah tersebut
tentu lebih baik baginya. Dan sebenarnya bisa saja seseorang memperoleh pahala
dari setiap perbuatan mubah (yang boleh dikerjakan dan boleh juga ditinggalkan,
pent.) yang dilakukannya dengan cara berniat untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dengan demikian maka seluruh langkahnya akan bernilai ibadah.
Tergelincirnya
seorang hamba dari perbuatan salah itu ada dua macam : tergelincirnya kaki dan
tergelincirnya lidah. Oleh karena itu kedua macam ini disebutkan sejajar oleh
Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firmanNya
“Dan
hamba-hamba Ar Rahman, yaitu mereka yang berjalan di atas bumi dengan rendah
hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata
(yang mengandung) keselamatan.” (QS. Al Furqon, 63).
Di sisi
lain, Allah menjelaskan bahwa sifat mereka itu adalah istiqomah dalam ucapan
dan langkah-langkah mereka, sebagaimana Allah juga mensejajarkan antara
pandangan dan lintasan pikiran, dalam firmanNya: “Allah mengetahui khianat mata
dan apa yang disembunyikan oleh hati.” (QS. Ghofir, 19).
Semua hal
yang kami sebutkan di atas adalah sebagai pendahuluan bagi penjelasan akan
diharamkannya zina, dan kewajiban menjaga kemaluan. Rasulullah Shallallahu
‘alayhi wa Sallam bersabda: “Yang paling banyak memasukkan orang ke dalam
neraka ialah lidah dan kemaluan.” (HR. Ahmad dan At Turmudzi, dan dianggap
shaheh oleh Al-Albani dalam silsilah hadits shaheh).
Dalam
shaheh Bukhori dan Muslim diriwayatkan, bahwa Nabi Muhammad Shallallahu ‘alayhi
wa Sallam bersabda: “Tidak dihalalkan darah seorang muslim kecuali sebab tiga
hal: orang yang sudah kawin yang melakukan zina, membunuh jiwa dengan sebab
membunuh jiwa, dan orang yang meninggalkan agamanya serta meninggalkan jamaah.”
Dalam
hadits ini ada pensejajaran antara zina dengan kufur dan membunuh jiwa, persis
seperti yang terdapat dalam ayat pada surat Al Furqon, juga seperti yang ada
dalam hadits Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu.
Penyebutan
Sejajar Antara Zina, Kufur dan Membunuh Jiwa
Dalam
hadits di atas Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam menyebut hal yang paling
banyak terjadi secara berurutan. Perbuatan zina itu lebih sering terjadi
dibanding dengan pembunuhan, dan pembunuhan lebih sering terjadi dibanding
dengan riddah (keluar dari agama Islam). Dan kerusakan yang ditimbulkan oleh
zina sungguh bertolak belakang dengan kemaslahatan dalam kehidupan.
Sebab, bila
seorang wanita telah melakuka zina berarti ia telah membuat aib keluarga, suami
dan kerabatnya serta mencoreng wajah mereka dihadapan orang banyak. Bila dia
sampai hamil kemudian membunuh anaknya, berarti dia telah menggabungkan
perbuatan zina dengan pembunuhan, dan jika setelah hamil ia tetap dengan
suaminya, berarti dia telah memasukkan pada keluarga si suami dan keluarga si wanita
sendiri orang lain yang bukan bagian dari keluarga. Dan masih banyak lagi
kerusakan-kerusakan lain yang ditimbulkan oleh zina. Jika yang berzina itu
adalah seorang pria, maka hal ini –selain hal yang di atas- juga akan
menyebabkan simpang siurnya hubungan nasab, kemudian merusak kehormatan wanita
yang terjaga dan menjadikannya hancur.
Jadi, di
belakang perbuatan keji ini (zina) terdapat kerusakan dunia dan agama
sekaligus. Sungguh betapa banyak pelanggaran terhadap larangan-larangan
(pelecehan terhadap kehormatan), penyia-nyiaan hak orang dan penganiayan yang
ada di balik perbuatan zina.
Diantara
dampak yang ditimbulkan oleh zina adalah bahwa zina dapat mendatangkan
kefakiran, memperpendek umur dan membuat wajah pelakunya suram serta
mendatangkan kebencian orang.
Termasuk di
antara dampaknya pula, bahwa zina itu dapat menghancurkan hati, membuatnya
sakit kalau tidak sampai mematikannya, juga mendatangkan perasaan gundah
gelisah dan takut, serta menjauhkan pelakunya dari malaikat dan mendekatkannya
kepada setan. Tak ada bahaya –setelah bahaya perbuatan membunuh yang lebih
besar dari bahaya zina-. Oleh karenanya, untuk menghukum pelaku zina ini Allah
mensyariatkan hukuman bunuh (rajam) dengan cara yang mengerikan. Bila ada
seseorang yang mendengar kabar bahwa isterinya dibunuh orang, tentu kabarnya
lebih ringan dibanding dia mendengar bahwa isterinya berzina.
Sa’ad bin
Ubadah Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Sekiranya aku melihat seorang pria berzina
dengan isteriku, tentu aku akan memenggal lehernya dengan pedang tanpa pikir
panjang lagi.” Maka sampai perkataan ini kepada Rasulullah Shallallahu ‘alayhi
wa Sallam, lalu beliau bersabda: “Apakah kalian heran pada kecemburuan Sa’ad?
Demi Allah, sungguh aku ini lebih cemburu dari dia, dan Alah lebih cemburu dari
aku, dan oleh karena betapa agungnya kecemburuan Allah, maka Dia haramkan
segala perbuatan keji, baik yang lahir maupun yang batin.” (Muttafaq alaih).
Dalam
shahih Al-bukhari dan shahih Muslim, juga diriwayatkan dari Nabi Shallallahu
‘alayhi wa Sallam. “Sesungguhnya Allah itu cemburu, dan sesungguhnya seorang
mu’min itu juga cemburu. Dan kecemburuan Allah itu akan timbul bila seorang
hamba malakukan apa yang diharamkan kepadanya.”. (HR. Bukhori dan muslim).
Dalam hadis
Al-Bukhari dan musllim, juga diriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘alayhi wa
Sallam: “Tak ada seorangpun yang lebih pencemburu dari Allah, oleh karena itu
Allah mengharamkan perbuatan-perbuatan keji, yang lahir maupun yang batin. Tak
ada satupun yang lebih senang mengajukan alasan dari Allah, oleh karena itu Dia
mengutus para Rasul untuk memberikan kabar gembira dan peringatan. Tak ada
satupun yang lebih senang dipuji melebihi Allah, oleh karena itu Dia memuji
diriNya sendiri.” (HR. Bukhori dan Muslim).
Juga dalam
kitab Ash-shahihain, diriwayatkan khutbah Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam di
saat shalat gerhana matahari, beliau bersabda: “Hai ummat Muhammad, demi Allah,
tak ada satupun yang lebih pencemburu dari Allah ketika ada sorang hambaNya
yang laki-laki atau perempuan berbuat zina. Hai ummat Muhammad, demi Allah,
sekiranya kalian mengetahui seperti apa yang aku ketahui, tentu kalian aka
sedikit tertawa dan banyak menangis.” Kemudian beliau mengangkat kedua
tangannya seraya berkata: “Ya Allah, adakah aku sudah sampaikan?” (HR.Bukhori
dan Muslim).
Disebutkannya
perbuatan dosa besar ini secara khusus setelah shalat gerhana matahari
mengandung isyarat rahasia yang menakjubkan; dan semaraknya fenomena zina ini
merupakan rusaknya alam ini, dan itu semua adalah salah satu tanda kiamat;
seperti yang disebutkan dalam As-Shahihain, dari Anas bin Malik bahwa dia
berkata: aku akan menceritakan pada kalian sebuah hadits yang tidak akan ada
orang yang akan menceritakannya pada kalian setelah aku. Aku mendengar
Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda: “Di antara tanda-tanda
kiamat bila ilmu (syar’i) menjadi sedikit (kurang), dan kebodohan menjadi
tampak serta zina juga menyebar (di mana-mana), pria jumlahnya sedikit dan kaum
wannita jumlahnya banyak sehingga untuk lima puluh wanita perbandingannya satu
orang pria.” (HR. Bukhori dan Muslim).
Salah satu
sunnatullah yang diberlakukan pada makhluknya, yaitu ketika zina mulai tampak
dimana-mana, Allah akan murka dan kemurkaannya sangat keras, maka secara pasti
kemurkaan itu akan berdampak pada bumi ini dalam bentuk azab dan musibah yang
diturunkan.
Abdullah
bin Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu berkata: “Tidaklah merajalela riba dan zina di
sebuah daerah, melainkan Allah memaklumkan untuk dihancurkan.”
Seorang
pendeta bani Israil pernah melihat anaknya sedang merayu seorang perempuan,
lalu dia berkata: “Sebentar, wahai anakku!” kemudian sang ayah itu pingsan di
atas tempat tidurnya lalu meninggal, sementara isterinya jatuh dan dikatakan
kepadanya: “Beginilah cara engkau marah untukku? Sungguh, orang sejenis kamu itu
tidak mengandung kebaikan selamanya.”
Pengkhususan
Hukuman Zina Dengan Tiga Hal
Allah
Subhanahu wa Ta’ala mengkhususkan hukuman bagi perbuatan zina dibandingkan
dengan hukuman-hukuman lainnya dengan tiga hal:
Pertama,
hukuman zina adalah dibunuh (dirajam) dengan cara yang mengerikan. Dalam
hukuman zina yang ringan saja, Allah menggabungkan antara hukuman terhadap
fisik dengan cambuk dan hukuman terhadap hati/mentalnya dengan cara diasingkan
dari negerinya selama satu tahun.
Kedua,
Allah melarang hamba-hambanya untuk merasa kasihan kepada para pelaku zina
sehingga mencegah mereka untuk memberlakukan hukuman kepada para hukum kepada
para pezina itu. Sebab, Allah mansyari’atkan hukuman tersebut didasarkan pada
kasih sayang dan rahmatnya pada mereka. Allah itu sangat sayang kepada kalian,
namun kasih sayang tersebut tidaklah mencegah Allah untuk memerintahkan
berlakunya hukuman ini. Oleh karenanya janganlah kasih sayang yang ada di hati
kalian itu mencegah kalian untuk melaksanakan perintah Allah.
Hal ini –walaupun
sebenarnya juga berlaku pada seluruh macam hukuman (hudud) yang disyari’atkan-
namun disebutkan dalam hukuman zina suatu kekhususan, karena memang sangat
penting untuk disebutkan di sini, sebab kebanyakan orang tidak mempunyai rasa
marah dan sikap kasar terhadap pezina seperti sikap mereka pada pencuri, atau
orang yang menuduh berbuat zina atau pemabuk. Hati mereka cenderung lebih
kasihan pada pezina ketimbang para pelaku dosa lainnya. Dan realita membuktikan
hal itu. Oleh karena itu Allah melarang mereka, jangan sampai rasa kasihan
mereka itu membuat tidak diberlakukannya hukuman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Mengapa
rasa kasihan pada mereka itu timbul? Penyebabnya yaitu karena perbuatan zina
ini bisa terjadi pada orang golongan atas, menengah dan bawah. Kemudian, dalam
jiwa manusia itu terdapat dorongan yang kuat untuk melakukannya (melampiaskan
libido, pent) dan orang yang melakukannya juga berjumlah banyak. Dan yang
paling banyak menjadi penyebabnya ialah cinta; sementra hati manusia itu secara
tabi’at punya perasaan kasih pada orang yang sedang jatuh cinta, bahkan banyak
diantara mereka yang siap memberikan bantuan pada mereka, walaupun sebenarnya
bentuk percintaan itu termasuk yang diharamkan.
Dan hal seperti ini sudah tidak dipungkiri lagi. Dan hal itu memang
sudah diakui oleh banyak orang. Selain itu juga, perbuatan dosa ini (zina)
kebanyakan terjadi dengan adanya suka sama suka dari kedua belah pihak, bukan
dengan pemaksaan, penganiayaan dan lainnya yang membuat jiwa orang-orang itu
geram.
Dalam hal
ini, syahwat banyak berpengaruh, sehinga timbullah perasaan kasihan yang
memungkinkan menghambat ditegakkannya hukuman Allah Subhanahu wa Ta’ala ini
semua timbul dari iman yang lemah. Kesempurnaan iman itu dicapai dengan adanya
kekuatan yang dengan itu perintah Allah dapat ditegakkan, juga adanya rahmat
(kasih sayang) terhadap orang yang dijatu hihukuman tersebut, sehingga dia bisa
sejalan dengan Allah dalam perintah dan rahmatnya.
Ketiga,
Allah memerintahkan agar hukuman terhadap pelaku zina (baik itu cambuk atau
purajam, pent) handaknya dilakukan di hadapan khalayak orang-orang mu’min,
bukan di tempat yang sepi sehingga tidak ada orang yang dapat menyaksikannya.
Hal ini dilakukan agar hal tersebut lebih efektif untuk tujuan “zajr”(membuat
jera pelaku dan membuat takut oranglain melakukannya).
Hukuman
bagi pezina yang “muhshan” (sudah berkeluarga) diambil dari hukuman Allah
terhadap kaum Nabi Luth yang dilempar dengan batu. Yang demikaian itu karena
perbuatan zina dan liwath (homoseks yang dilakukan kaum Nabi Luth) adalah
sama-sama perbuatan fahisyah (keji dan kotor). Keduanya dapat menimbulkan
kerusakan yang bertentangan dengan hikmah Allah di dalam penciptaan
perintahnya. Kerusakan dan bahaya yang ditimbulkan oleh prektek liwath (homo
sex) itu sungguh sulit untuk dihitung. Orang yang menjadi korban perbuatan
tersebut lebih pantas dan lebih baik dibunuh saja; sebab dia itu mengalami
kerusakan yang tidak bisa diharapkan untuk baik kembali selamanya. Semua
kebaikannya sudah hilang. Bumi sudah menyerap habis rasa malu dari mukanya,
sehingga dia tidak akan malu lagi kepada Allah, juga kepada makhlukNya. Hati
dan jiwa orang tersebut sudah dipengaruhi oleh sperma pelaku liwath seperti
berpengaruhnya racun dalam tubuh seseorang.
Ada
perbedaan pendapat diantara sebagian orang; apakah orang yang menjadi pelaku
liwath itu bisa masuk surga atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat. Aku
mendengar Syaikhul islam, Ibnu Taimiyah pernah mengungkapkan dua pendapat ini.
Mereka yang mengatakan tidak akan masuk sorga memberikan hujjah dengan beberapa
hal: Diantaranya, bahwa Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam bersabda: “Tidak
masuk surga anak seorang pezina”. (HR.Bukhori dalam At tarikh ash shoghir 124,
dan dihukumi hasan).
Bila nasib
dan kondisi anak hasil zina sudah demikian, padahal dia tidak mempunyai dosa
apa-apa, hanya saja dia dicurigai sebagai tempat berbagai kejelekan dan
kotoran, serta dia pantas untuk tidak mendatangkan kabaikan apapun selamanya,
disebabkan karena dia tercipta dari nuthfah (sperma) yang kotor; bila tubuh
yang tumbuh menjadi besar dengan barang yang haram saja sangat pantas untuk
masuk neraka, maka bagaimana lagi dengan tubuh yang memang tercipta dari sperna
yang haram?
Mereka
mengatakan: orang yang menjadi pelaku liwath itu lebih jelek dari anak hasil
zina, lebih hina dan lebih kotor pula. Dia itu memang pantas untuk tidak
mendapat taufik kebaikan. Dia juga pantas dihalangi utnuk mendapatkan taufik
tersebut. Dan setiap kali dia melakukan amal yang baik, maka Allah akan
menggandengkannya dengan amalan lain yang dapat merusaknya, sebagai hukuman
baginya. Dan memang jarang kita dapati bahwa orang yang sudah seperti itu
dimasa kecilnya, kecuali dia akan lebih parah dimasa tuanya. Dia tidak berhasil
mendapatkan ilmu yang bermanfaat, amal yang shalih dan taubat yang nasuha.
Namun
setelah diteliti, yang lebih pas untuk dikatakan dalam masalah ini, yaitu bahwa
bila orang tersebut bertaubat dan kembali kepada Allah, kemudian mendapatkan
karunia taubat yang nasuha serta amal yang shalih, lalu kondisinya di masa tua
lebih baik dari kondisi dimasa kecilnya, lalu merubah perbuatan-parbuatan
jeleknya dengan berbagai macam kebaikan serta mencuci aibnya dengan beragam
ketaatan dan pendekatan diri kepada Allah, juga menjaga pandangan matanya,
menjaga kemaluannya dari yang haram dan benar-banar jujur kepada Allah dalam
mu’amalah-nya, maka orang yang semacam ini akan mendapat ampunan dan dia akan
termasuk ahli surga. Bila taubat itu –kitaketahui- dapat menghapus segala macam
dosa, sampai dosa syirik kepada Allah, membantai paraNabi dan para waliNya,
atau sihir, kufur dan lain semacamnya, maka kita tidak boleh membatasi
penghapusan terhadap dosa yang satu ini, padahal, dengan keadilan dan karunia
Yang Maha Kuasa, hikmah Allah menetapkan bahwa: “Orang yang bertaubat dari dosanya
sama seperti orang yang tidak berdosa” (HR. Ibnu Majah).
Dan Allah
sendiri telah memberikan jaminan bahwa barag siapa yang bertaubat dari
perbuatan syirik, pembunuhan jiwa dan zina, Allah akan mengganti
perbuatan-perbuatan jeleknya dengan kebaikan-kebaikan, dan ini adalah ketentuan
hukum yang umum mencakup setiap orang yang bertaubat dari berbagai macam dosa.
Allah berfirman “Katakanlah : Wahai hamba-hambaKu yang aniaya terhadap diri
mereka, janganlah kalian putus asa akan rahmat Allah, sesungguhnya Allah akan
mengampuni seluruh dosa, sesungguhnya Dia Maha Pemgampun dn Maha Pengasih.”
(Az-Zumar: 53)
Dan tidak
akan keluar dari keumuman ayat ini satu macam dosa pun. Namun hal ini hanya
khusus bagi mereka yang bertaubat. Bila ternyata orang yang menjadi pelaku
liwath itu di masa tuanya lebih jelek dari masa kecilnya, tidak mendapatkan
karunia taubat nasuha dan amal shalih, tidak segera mengganti ketaatan yang dia
tinggalkan dan tidak pula mau menghidupkan apa yang sudah ia matikan, juga
tidak mengubah perbuatan-perbuatan jeleknya dengan kebaikan, maka orang semacam
ini sulit untuk mendapatkan husnul khatimah yang dapat memasukkannya ke dalam
surga di saat akan meninggal kelak. Hal itu sebagai hukuman atas perbuatan yang
jelek dengan kejelekan lainnya, sehingga bertumpuklah hukuman perbuatan jelek
yang akan diterimanya, sebagaimana Allah juga memberikan ganjaran bagi sebuah
perbuatan baik dengan perbuatan baik lainnya.
Para Pelaku
Maksiat Dikhawatirkan Akan Mati Dalam Su’ul Khatimah
Bila anda
perhatikan kondisi kebanyakan orang saat sakaratul maut menjemput, anda akan
melihat bahwa mereka terhalangi untuk mendapatkan husnul khatimah, sebagai
hukuman akibat perbuatan perbuatan jelek mereka.
Al-hafizh
Abu Muhammad Abdul Haq bin Abdurrahman Asy-syibli berkata [Dalam kitab
Al-‘Aqibah fi Dzikril Maut Wal Akhirat, hal178: 181]:
“Ketahuilah
bahwa su’ul khatimah itu (semoga Allah menjauhkan kita darinya) mempunyai
beberapa penyebab. Ada jalan-jalan dan pintu-pintu yang menghantarkan
kepadanya. Penyebab, pintu dan jalan yang paling besar adalah larut dalam
urusan keduniaan, tidak perhatian dalam urusan akhirat dan berani maksiat
kepada Allah. Bisa saja ada seseorang yang sudah terbiasa melakukan kesalahan
atau maksiat tertentu, sehingga menguasai hatinya, akalnya tertawan oleh
kebiasaan tersebut, pelita hatinya padam dan terbentuklah hijab yang
menutupinya. Akibatnya, teguran tidak lagi akan berguna, nasihat tidak lagi
akan bermanfaat dan bisa saja kematian datang menjemput saat dia dalam keadaan
demikian. Lalu datanglah panggilan kebaikan dari subuah tempat yang jauh, namun
dia tidak dapat memahami maksudnya. Dia tidak tahu apa yang diinginkan oleh
panggilan itu, sekalipun orang yang meneriakkan panggilan itu terus mengulangi
dan mengulanginya lagi”.
Diriwayatkan,
bahwa ada seorang dari anak buah An Nashir (salah seorang pemimpin di masa
Mamlukiyyah) yang sedang didatangi oleh sakaratul maut, kemudian anaknya
berkata: “ucapkanlah, laa Ilahaa Illallah !” orang itu berucap: An Nashir
adalah tuanku.” Diulangilah permintaan itu kepadanya, namun jawaban orang itu
tetap sama. Tiba-tiba orang itu tidak sadarkan diri dan setelah dia siuman dia
berucap lagi : “ An Nashir adalah tuanku”. Begitulah terus menerus setiap kali
dikatakan kepadanya ucapan: “ laaIlaaha Illallah” dia malah berucap : “An
Nashir adalah tuanku”. Kemudian ia berkata kepada anaknya : “Hai fulan,
sesungguhnya An Nashir itu dapat mengenalmu hanya dengan pedang dan
keberanianmu membunuh (berperang)”. Kemudian dia meninggal dunia.
Abdul Haq
berkata : “Pernah dikatakan juga kepada orang lain (yang saya mengenalnya)
ucapkanlah : laa Ilaaha Illallah dia malah berucap: “Tolong rumah yang di sana
itu diperbaiki, dan kebun yang di sana itu dikerjakan…”
Abdul Haq
juga berkata : “di antara riwayat dari Abu thahir As Silafiy yang mana dia
telah mengizinkan aku untuk meriwayatkannya, yaitu sebuah kisah dimana ada
seorang pria yang sedang sakaratul maut, kemudian dikatakan kepadanya :
ucapkanlan ‘laa Ilaaha Illallah’ namun dia malah mengatakan kata-kata dengan
bahasa Persia yang artinya ‘sepuluh dengan sebelas (maksudnya, boleh berutang
sepuluh tapi bayarnya sebelas, pent)
Dan pernah
dikatakan pula pada orang lain: ucapkanlah laa Ilaaha Illallah dia
malahmengatakan “Mana jalan ke pemandian manjab? (nama pemandian).
Kata Abdul Haq
: jawaban yang diucapkannya itu ada ceritanya. Suatu ketika ada seorang pria
yang sedang berdiri di depan rumahnya. Rumah tersebut pintunya menyerupai pintu
sebuah tempat pemandian, tiba-tiba di situ lewat wanita cantik dan bertanya,
‘mana jalan ke pemandian manjab? dia menjawab (sambil menunjuk kepintu
rumahnya), ini dia pemandian manjab itu! Maka, wanita itu pun masuk ke dalam
rumahnya sampai kebelakang. Setelah dia sadar terjebak di rumah sang pria dan
tahu bahwa dia sedang ditipu, dia pura-pura menampakkan rasa gembira dan suka
cintanya karena pertemuannya dengan pria itu. Kemudian wanita itu berkata,
‘Sebaiknya (sebelum kita berkumpul) engkau harus mempersiapkan untuk kita
apa-apa yang dapat membuat keindahan kehidupan kita sekaligus menyenangkan hati
kita’. Dengan segera pria itu menjawab, ’sekarang juga aku akan membawakan
untukmu semua apa yang kami inginkan dan kamu senangi’. Lalu dia pergi ke luar
dan meninggalkan si wanita dalam rumah, namun tidak menguncinya. Kemudian ia
mengambil apa yang dia bisa bawa lalu kembali ke rumahnya. Tapi sayang si
wanita itu telah keluar dan pergi. Sedikitpun wanita itu tidak mengambil
apa-apa dari rumahnya. Pria itu akhirnya mabuk kepayang dan selalu ingat pada
wanita itu tadi. Dia berjalan di lorong-lorong dan gang-gang sambil mengatakan:
Wahai tuhan mana wanita yang mengatakan suatu hari dalam kondisi capek: mana
jalan kepemandian munjab?
Suatu saat,
waktu dia mengucapkan bait syair tadi, ada seorang wanita berkomentar dari
jendela pintu rumahnya: Mengapa di saat sudah mendapatkannya tidak dengan
segera engkau menutup rumah itu atau mengunci pintunya? Mendengar itu ia tambah
mabuk kepayang. Begitulah terus kondisinya sehingga bait syair itu menjadi
kata-kata terakhirnya saat meninggal dunia.”
Suatu
malam, sufyan Ats- tsauri menangis sampai pagi. Di pagi itu ada yang bertanya
kepadanya: “adakah semua yang kau lakukan ini karena takut akan dosa ?” lalu
sufyan mengambil segenggam tanah seraya berkata: “Dosa itu lebih ringan dari
batu ini, aku menangis karena takut akan su’ul khatimah.”
Sungguh,
ini adalah pemahaman yang baik, bila seseorang itu khawatir akan dosa-dosanya
akan mebuatnya terhina di kala meninggal dunia nanti, sehingga dia terhalang
untuk memperoleh husnul khatimah.
Al Imam
Ahmad pernah menyebutkan bahwa Abu Darda’ di saat sakaratul maut datang, dia
pingsan tak sadarkan diri, kemudian dia siuman dan membaca “Dan (begitulah)
kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah
beriman kepadanya pada permulaannya, dan kami biarkan mereka bergelimang dalam
kesesatannya yang sangat” (QS. Al An’am : 110)
Dan oleh
karena itu, para ulama salaf khawatir kalau dosa-dosa itu dapat menghalangi
mereka untuk memperoleh husnul khatimah.
Abdul Haq
juga berkata : “Ketahuilah bahwa su’ul khatimah itu (semoga kita dilindungi
oleh Allah darinya) tidak akan terjadi pada orang yang dasarnya sudah rusak
atau senantiasa melakukan dosa besar dan mengerjakan kemaksiatan. Barangkali
itu menjadi kebiasaannya, sehingga kematian datang menjemputnya sebelum sempat
bertaubat, akhirnya dia meninggal sebelum memperbaiki dirinya, urat nadinya
dicabut sebelum dia kembali kepada Allah, sehinga saat itu setan berhasil
merenggut dan menyambarnya disaat yang genting tersebut. Na’udzu billah!”
Diriwayatkan
bahwa di mesir dulu ada seseorang yang selalu pergi ke masjid untuk adzan dan
melakukan shalat. Wajahnya berwibawa dan penuh cahaya ibadah. Suatu hari dia
naik kemenara seperti biasanya untuk adzan, di bawah menara itu ada rumah
seorang nashrani, dia melongok ke dalam rumah tersebut, dan melihat anak
perempuan pemilik rumah itu, akhirnya ia tergoda dengannya, lalu dia tinggalkan
adzan saat itu, dan turun untuk menemuinya, dan masuk kedalam rumahnya.
Anak
perempuan itu bertanya: “Ada apa, apa yang kamu inginkan?”
Dia
menjawab: Aku menginginkan kamu.
Dia
bertanya lagi: “Mengapa demikian?”
Dia
menjawab: “ Sungguh engkau telah menawan jiwaku dan menguasai seluruh relung
hatiku.”
Perempuan
itu berkata: “Aku tidak akan pernah memenuhi keinginanmu selamanya.”
Pria tadi
menjawab: “Aku akan mengawinimu lebih dahulu.”
Perempuan
itu berkata: “Engkau seorang muslim, aku nashrani, ayahku tidak akan
mengawinkan aku denganmu.
Lelaki itu
berkata: “aku akan masuk agama Nashrani!”
Maka
wanitaitu berkata: “jika kamu lakukan itu, maka aku mau!”
Akhirnya
lelaki itu resmi masuk Nashrani agar dapat kawin dengannya. Diapun tinggal
bersama mereka. Dan pada hari itu, dia naik loteng yang ada di rumah tersebut,
kemudian jatuh dan langsung mati.
Kasihan,
dia tidak berhasil mendapatkan perempuan tersebut dan dia kehilangan agamanya.
Diriwayatkan
pula, ada seorang laki-laki yang senang kepada seseorang. Kesenangan dan
kecintaannya sangat kuat, sehingga mampu menguasahi hatinya. Bahkan, dia sampai
jatuh sakit dan harus tidur istirahat karenanya. Sementara orang yang dicintai
itu tidak mau menemuinya. Dia benar-benar tidak suka dan menjauh darinya.
Sementara itu orang-orang berusaha mempertemukan keduanya, sehingga ia berjanji
untuk menemuinya. Orang-orang datang membawa kabar tersebut, diapun gembira dan
sangat bersuka cita. Kesempitan di dadanya terasa hilang. Jadilah ia menunggu
waktu yang ditentukan untuknya. Di saat itu, tiba-tiba datang orang yang akan
mempertemukan keduanya, lalu menyampaikan: “dia sudah berangkat bersamaku
sampai di tengah perjalanan, namun dia kembali lagi. Aku terus mendorong dan
merayunya, tapi dia berkata : “Orang itu ingat dan menyebut-nyebut aku dan dia
pun bergembira dengan kedatanganku. Namun aku tidak akan masuk ketempat yang
meragukan. Aku tidak akan mempersembahkan diriku untuk tempat-tempat yang
mencurigakan. Aku terus membujuknya, namun dia tidak mau dan terus pergi.
Mendengarhal
itu, orang yang sakit tadi langsung menjatuhkan diri dan kembali sakit dengan
kondisi yang lebih parah lagi dari sebelumnya, tanda-tanda kematian sudah
tampak di wajahnya, saat itu dia mengatakan dalam untaian syair:
يا سلمى يا راحة العليل ويا شفا المذنف النحيل
Wahai
salma, wahai penenang hati yang sakit. Wahai obat bagi tubuh yang kurus.
Keridhaanmu
lebih diharapkan oleh hatiku, katimbang rahmat Allah yang maha pencipta dan maha
mulia.
Maka abdul
Haq asy- asyibly berkata kepadanya: “wahai fulan, takutlah engkau kepada Allah
!! dia menjawab: semuanya sudah terjadi, akhirnya aku meninggalkannya. Dan
tidak sempat aku melewati pintu rumahnya, hingga aku medengar nyaring suara kematiannya.
Kita berlindung kepada Allah dari su’ul khatimah.
*****
Penerjemah Tim Darul Haq-Jakarta
Copyright Yayasan Al-Sofwa
Disebarkan oleh Maktabah Ummu Salma
al-Atsariyah.
Artikel disalin dari eBook Jangan
Dekati Zina
Oleh Al-Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyah
rahimahullah
Oleh Al
Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyah
Semoga bermanfaat bagi penyusun, dan
yang membacanya..
Disusun ulang oleh:
Faisalchoir.Blogspot.Com
0 komentar:
Posting Komentar