Amalan amalan Setelah Ramadhan (seri 1)
Ibadah Di Bulan Syawal Puasa Setelah Ramadhan Sunnah
Bulan Syawal Sunnah Di Bulan Syawal Sunnah Setelah Ramadhan
Kita hanya bisa memanjatkan puji syukur kepada Allah atas
nikmat yang tak terhingga ini. Allah Yang Maha Memberi Nikmat telah memberikan
kesempatan untuk merasakan sejuknya beribadah puasa. Sungguh suatu kebanggaan,
kita bisa melaksanakan ibadah yang mulia ini. Janji yang pasti diperoleh oleh
orang yang berpuasa jika dia menjalankan puasa dengan dasar iman kepada Allah
dan mengharapkan ganjarannya telah disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dalam hadits berikut,
مَنْ
صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barangsiapa
yang berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah
maka dosanya di masa lalu pasti diampuni.” (HR. Bukhari no. 38 dan Muslim no.
760)
Sungguh
sangat menyayangkan sekali orang yang meninggalkan amalan yang mulia ini.
Begitu sering kami melihat orang yang mengaku muslim namun di siang hari bulan
Ramadhan dia makan terang-terangan atau dia mengganggu saudaranya dengan asap
rokok. Sungguh sangat merugi sekali orang yang meninggalkan ibadah ini, padahal
amalan ini adalah bagian dari rukun Islam yang dapat menegakkan bangunan Islam
dan para ulama sepakat tentang wajibnya melaksanakan rukun Islam yang satu ini.
Setelah
kita melalui bulan Ramadhan, tentu saja kita masih perlu untuk beramal sebagai
bekal kita nanti sebelum dijemput oleh malaikat maut. Pada tulisan kali ini,
kami akan sedikit mengulas mengenai beberapa amalan yang sebaiknya dilakukan
seorang muslim setelah menunaikan puasa Ramadhan. Semoga kita mendapatkan ilmu
yang bermanfaat.
Tetap
Menjaga Shalat Lima Waktu dan Shalat Jama’ah
Bulan
Ramadhan sungguh sangat berbeda dengan bulan-bulan lainnya. Orang yang dulu
malas ke masjid atau sering bolong mengerjakan shalat lima waktu, di bulan
Ramadhan begitu terlihat bersemangat melaksanakan amalan shalat ini. Itulah di
antara tanda dibukanya pintu surga dan ditutupnya pintu neraka ketika itu.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ
فُتِّحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةِ وَغُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارِ وَصُفِّدَتِ
الشَّيَاطِينُ
“Apabila
Ramadhan tiba, pintu surga dibuka, pintu neraka ditutup, dan setan pun
dibelenggu.” (HR. Muslim no. 1079)
Namun,
amalan shalat ini hendaklah tidak ditinggalkan begitu saja. Kalau memang di
bulan Ramadhan, kita rutin menjaga shalat lima waktu maka hendaklah amalan
tersebut tetap dijaga di luar Ramadhan, begitu pula dengan shalat jama’ah di
masjid khusus untuk kaum pria.
Lihatlah
salah satu keutamaan orang yang menjaga shalat lima waktu berikut. Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
قَالَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ
افْتَرَضْتُ عَلَى أُمَّتِكَ خَمْسَ صَلَوَاتٍ وَعَهِدْتُ عِنْدِى عَهْدًا أَنَّهُ
مَنْ حَافَظَ عَلَيْهِنَّ لِوَقْتِهِنَّ أَدْخَلْتُهُ الْجَنَّةَ وَمَنْ لَمْ
يُحَافِظْ عَلَيْهِنَّ فَلاَ عَهْدَ لَهُ عِنْدِى
“Allah
‘azza wa jalla berfirman, ‘Aku wajibkan bagi umatmu shalat lima waktu. Aku
berjanji pada diriku bahwa barangsiapa yang menjaganya pada waktunya, Aku akan
memasukkannya ke dalam surga. Adapun orang yang tidak menjaganya, maka aku
tidak memiliki janji padanya’.” (HR. Sunan Ibnu Majah no. 1403. Syaikh Al
Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan Ibnu Majah mengatakan bahwa hadits ini
hasan)
Shalat
jama’ah di masjid juga memiliki keutamaan yang sangat mulia dibanding shalat
sendirian. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صَلاَةُ الْجَمَاعَة أفْضَلُ
مِنْ صَلاَةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً
“Shalat
jama’ah lebih utama dari shalat sendirian sebanyak 27 derajat.” (HR. Bukhari
no. 645 dan Muslim no. 650)
Namun yang
sangat kami sayangkan, amalan shalat ini sering dilalaikan oleh sebagian kaum
muslimin. Bahkan mulai pada hari raya ‘ied (1 Syawal) saja, sebagian orang
sudah mulai meninggalkan shalat karena sibuk silaturahmi atau berekreasi.
Begitu juga seringkali kita lihat sebagian saudara kita karena kebiasaan bangun
kesiangan, dia meninggalkan shalat shubuh begitu saja. Padahal shalat shubuh
inilah yang paling berat dikerjakan oleh orang munafik sebagaimana sabda Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَيْسَ صَلاَةٌ أَثْقَلَ
عَلَى الْمُنَافِقِينَ مِنَ الْفَجْرِ وَالْعِشَاءِ ، وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا
فِيهِمَا لأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا
“Tidak ada
shalat yang paling berat dilakukan oleh orang munafik kecuali shalat Shubuh dan
shalat Isya’. Seandainya mereka mengetahui keutamaan keduanya, niscaya mereka
akan mendatanginya walaupun sambil merangkak.” (HR. Bukhari no. 657 dan Muslim
no. 651)
Saudaraku,
ingatlah ada ancaman keras dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi orang
yang meninggalkan shalat. Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu -bekas budak Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam-, beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
بَيْنَ العَبْدِ وَبَيْنَ
الكُفْرِ وَالإِيْمَانِ الصَّلَاةُ فَإِذَا تَرَكَهَا فَقَدْ أَشْرَكَ
“Pemisah
antara seorang hamba dengan kekufuran dan keimanan adalah shalat. Apabila dia
meninggalkannya, maka dia telah melakukan kesyirikan.” (HR. Ath Thobariy dengan
sanad shohih. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini shohih. Lihat Shohih At
Targib wa At Tarhib no. 566)
Buraidah
bin Al Hushoib Al Aslamiy berkata, “Aku mendengar Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
الْعَهْدُ الَّذِى بَيْنَنَا
وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
“Perjanjian
antara kami dan mereka (orang kafir) adalah shalat. Barangsiapa meninggalkannya
maka dia telah kafir.” (HR. Ahmad, Tirmidzi, An Nasa’i, Ibnu Majah. Dikatakan
shohih oleh Syaikh Al Albani. Lihat Misykatul Mashobih no. 574)
Begitu pula
shalat jama’ah di masjid, seharusnya setiap muslim –khususnya kaum pria-
menjaga amalan ini. Shalat jama’ah mungkin kelihatan ramai di bulan Ramadhan
saja. Namun, ketika bulan Ramadhan berakhir, masjid sudah kelihatan sepi
seperti sedia kala. Memang dalam masalah apakah shalat jama’ah itu wajib atau
sunnah mu’akkad terjadi perselisihan di antara para ulama. Namun berdasarkan
dalil yang kuat, shalat jama’ah hukumnya adalah wajib (fardhu ‘ain). Di antara dalil
yang menunjukkan hal ini adalah hadits dari Abu Hurairah di mana beliau
radhiyallahu ‘anhu berkata,
أَتَى النَّبِىَّ -صلى الله
عليه وسلم- رَجُلٌ أَعْمَى فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ لَيْسَ لِى
قَائِدٌ يَقُودُنِى إِلَى الْمَسْجِدِ. فَسَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- أَنْ يُرَخِّصَ لَهُ فَيُصَلِّىَ فِى بَيْتِهِ فَرَخَّصَ لَهُ فَلَمَّا
وَلَّى دَعَاهُ فَقَالَ « هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلاَةِ ». فَقَالَ
نَعَمْ. قَالَ « فَأَجِبْ ».
“Seorang
laki-laki buta mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu dia berkata,
‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tidak memiliki orang yang menuntunku ke
masjid’. Kemudian pria ini meminta pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam agar diberi keringanan untuk shalat di rumah. Pada mulanya Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi dia keringanan. Namun, tatkala dia mau
berpaling, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memanggil pria tersebut dan
berkata, ‘Apakah engkau mendengar adzan ketika shalat?’ Pria buta tersebut
menjawab, ‘Iya.’ Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Penuhilah
panggilan tersebut’.” (HR. Muslim no. 653)
Lihatlah
pria buta ini memiliki udzur (alasan) untuk tidak jama’ah di masjid, namun Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memberikannya keringanan, dia tetap
diwajibkan untuk shalat jama’ah di masjid. Padahal dia adalah pria yang buta,
tidak ada penuntun yang menemaninya, rumahnya juga jauh. Di Madinah juga banyak
hewan buas dan banyak pepohonan yang menghalangi jalan menuju masjid. Namun,
lihatlah walaupun dengan berbagai udzur ini karena pria buta ini mendengar
adzan, dia tetap wajib jama’ah di masjid.
Bagaimanakah
kondisi kita yang lebih sehat dan berkemampuan? Tentu lebih wajib lagi untuk
berjama’ah di masjid. Itulah dalil kuat yang menunjukkan wajibnya shalat
jama’ah di masjid. Jika seseorang meninggalkan shalat jama’ah dan shalat
sendirian, dia berarti telah berdosa karena meninggalkan shalat jama’ah, namun
shalat sendirian yang dia lakukan tetap sah. Sedangkan bagi wanita berdasarkan
kesepakatan kaum muslimin tidak wajib bagi mereka jama’ah di masjid bahkan
lebih utama bagi wanita untuk mengerjakan shalat lima waktu di rumahnya.
Memperbanyak
Puasa Sunnah
Selain kita
melakukan puasa wajib di bulan Ramadhan,
hendaklah kita menyempurnakannya pula dengan melakukan amalan puasa
sunnah. Di antara keutamaannya adalah disebutkan dalam sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam berikut,
أَلاَ أَدُلُّكَ عَلَى
أَبْوَابِ الْخَيْرِ الصَّوْمُ جُنَّةٌ
“Maukah
kutunjukkan padamu pintu-pintu kebaikan?; Puasa adalah perisai, …” (HR.
Tirmidzi no. 2616. Syaikh Al Albani mengatakan dalam Shohih wa Dho’if Sunan Abu
Daud bahwa hadits ini shohih)
Puasa dalam
hadits ini merupakan perisai bagi seorang muslim baik di dunia maupun di
akhirat. Di dunia, puasa adalah perisai dari perbuatan-perbuatan maksiat,
sedangkan di akhirat nanti adalah perisai dari api neraka. Keutaman lain dari
puasa sunah terdapat dalam hadits Qudsi berikut.
وَمَا يَزَالُ عَبْدِى
يَتَقَرَّبُ إِلَىَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ
كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِى يَسْمَعُ بِهِ ، وَبَصَرَهُ الَّذِى يُبْصِرُ بِهِ ،
وَيَدَهُ الَّتِى يَبْطُشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِى يَمْشِى بِهَا ، وَإِنْ
سَأَلَنِى لأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنِ اسْتَعَاذَنِى لأُعِيذَنَّهُ
“Dan
senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan sunnah
sehingga Aku mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, maka Aku akan memberi
petunjuk pada pendengaran yang ia gunakan untuk mendengar, memberi petunjuk
pada penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, memberi petunjuk pada
tangannya yang ia gunakan untuk memegang, memberi petunjuk pada kakinya yang ia
gunakan untuk berjalan. Jika ia memohon sesuatu kepada-Ku, pasti Aku
mengabulkannya dan jika ia memohon perlindungan, pasti Aku akan melindunginya.”
(HR. Bukhari no. 2506)
Itulah di
antara keutamaan seseorang melakukan amalan sunnah. Dia akan mendapatkan
kecintaan Allah, lalu Allah akan memberi petunjuk pada pendengaran,
penglihatan, tangan dan kakinya. Allah juga akan memberikan orang seperti ini
keutamaan dengan mustajabnya do’a. (Faedah dari Fathul Qowil Matin, Syaikh
Abdul Muhsin bin Hamd Al Abad,
Banyak
puasa sunnah yang dapat dilakukan oleh seorang muslim setelah Ramadhan. Di
bulan Syawal, kita dapat menunaikan puasa enam hari Syawal. Juga setiap bulan
Hijriyah kita dapat berpuasa tiga hari dan lebih utama jika dilakukan pada
ayyamul bid yaitu pada tanggal 13, 14, dan 15. Kita juga dapat melakukan puasa
Senin-Kamis, puasa Arofah (pada tanggal 9 Dzulhijah), puasa Asyura (pada
tanggal 10 Muharram), dan banyak berpuasa di bulan Sya’ban sebagaimana yang
dicontohkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan jika ada yang punya
kemampuan boleh juga melakukan puasa Daud yaitu sehari berpuasa dan sehari tidak.
Semoga Allah memudahkan kita melakukan amalan puasa sunnah ini.
Berpuasa
Enam Hari di Bulan Syawal
Hendaklah
di bulan Syawal ini, setiap muslim berusaha untuk menunaikan amalan yang satu
ini yaitu berpuasa enam hari di bulan Syawal. Puasa ini mempunyai keutamaan
yang sangat istimewa. Hal ini dapat dilihat dari sabda Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam dari Abu Ayyub Al Anshoriy, beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ
أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ
“Barangsiapa
yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia
berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164)
Pada hadits
ini terdapat dalil tegas tentang dianjurkannya puasa enam hari di bulan Syawal
dan pendapat inilah yang dipilih oleh madzhab Syafi’i, Ahmad dan Abu Daud serta
yang sependapat dengan mereka. (Lihat Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, 8/56)
Bagaimana
cara melakukan puasa ini? An Nawawi dalam Syarh Muslim, 8/56 mengatakan, “Para
ulama madzhab Syafi’i mengatakan bahwa paling afdhol (utama) melakukan puasa
syawal secara berturut-turut (sehari) setelah shalat ‘Idul Fithri. Namun jika
tidak berurutan atau diakhirkan hingga akhir Syawal maka seseorang tetap
mendapatkan keutamaan puasa syawal setelah sebelumnya melakukan puasa
Ramadhan.”
Apa faedah
melakukan puasa enam hari di bulan Syawal?
Ibnu Rojab
rahimahullah menyebutkan beberapa faedah di antaranya:
Berpuasa
enam hari di bulan Syawal setelah Ramadhan akan menyempurnakan ganjaran
berpuasa setahun penuh.
Puasa
Syawal dan puasa Sya’ban seperti halnya shalat rawatib qobliyah dan ba’diyah.
Amalan sunnah seperti ini akan menyempurnakan kekurangan dan cacat yang ada
dalam amalan wajib. Setiap orang pasti memiliki kekurangan dalam amalan wajib.
Amalan sunnah inilah yang nanti akan menyempurnakannya.
Membiasakan
berpuasa setelah puasa Ramadhan adalah tanda diterimanya amalan puasa Ramadhan.
Karena Allah Ta’ala jika menerima amalan hamba, maka Dia akan memberi taufik
pada amalan sholih selanjutnya. Sebagaimana sebagian salaf mengatakan, “Balasan
dari amalan kebaikan adalah amalan kebaikan selanjutnya. Barangsiapa
melaksanakan kebaikan lalu dia melanjutkan dengan kebaikan selanjutnya, maka
itu adalah tanda diterimanya amalan yang pertama. Begitu pula orang yang melaksanakan
kebaikan lalu dilanjutkan dengan melakukan kejelekan, maka ini adalah tanda
tertolaknya atau tidak diterimanya amalan kebaikan yang telah dilakukan.”
Karena
Allah telah memberi taufik dan menolong kita untuk melaksanakan puasa Ramadhan
serta berjanji mengampuni dosa kita yang telah lalu, maka hendaklah kita mensyukuri hal ini dengan
melaksanakan puasa setelah Ramadhan. Sebagaimana para salaf dahulu, setelah
malam harinya melaksanakan shalat malam, di siang harinya mereka berpuasa
sebagai rasa syukur pada Allah atas taufik yang diberikan. (Disarikan dari
Latho’if Al Ma’arif, 244, Asy Syamilah)
Sungguh
sangat beruntung sekali jika kita dapat melaksanakan puasa enam hari di bulan
Syawal. Ini sungguh keutamaan yang luar biasa, saudaraku. Marilah kita
melaksanakan puasa tersebut demi mengharapkan rahmat dan ampunan Allah.
Penjelasan
penting yang harus diperhatikan: Lebih baik bagi seseorang yang masih memiliki
qodho’ (tanggungan) puasa Ramadhan untuk menunaikannya daripada melakukan puasa
Syawal. Karena tentu saja perkara yang wajib haruslah lebih diutamakan daripada
perkara yang sunnah. Alasan lainnya adalah karena dalam hadits di atas, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan, “Barangsiapa berpuasa ramadhan”. Jadi
apabila puasa ramadhannya belum sempurna karena masih ada tanggungan puasa,
maka tanggungan tersebut harus ditunaikan terlebih dahulu agar mendapatkan
pahala semisal puasa setahun penuh.
Apabila
seseorang menunaikan puasa syawal terlebih dahulu dan masih ada tanggungan
puasa, maka puasanya dianggap puasa sunnah muthlaq (puasa sunnah biasa) dan
tidak mendapatkan ganjaran puasa syawal karena kita kembali ke perkataan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tadi, “Barangsiapa berpuasa ramadhan.” (Lihat
Syarhul Mumthi’, 3/89, 100)
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Print Friendly Version of this pagePrint Get a PDF
version of this webpagePDF
0 komentar:
Posting Komentar