Akal Yang Sehat Tidak Akan Menyelisihi Nash Al Quran Dan
Sunnah
Kedudukan Akal Dalam Islam
Akal adalah nikmat besar yang Allah titipkan dalam
jasmani manusia. Nikmat yang bisa disebut hadiah ini menunjukkan akan kekuasaan
Allah yang sangat menakjubkan. (Al-’Aql wa Manzilatuhu fil Islam, hal. 5)
Oleh karenanya, dalam banyak ayat Allah memberi semangat
untuk berakal (yakni menggunakan akalnya), di antaranya:
وَسَخَّرَ لَكُمُ
اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُوْمُ مُسَخَّرَاتٌ
بِأَمْرِهِ إِنَّ فِيْ ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُوْنَ
“Dan Dia
menundukkan malam dan siang, matahari dan bulan untukmu. Dan bintang-bintang
itu ditundukkan (untukmu) dengan perintah-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar ada tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang
memahami(nya).” (An-Nahl: 12)
وَفِي اْلأَرْضِ قِطَعٌ مُتَجَاوِرَاتٌ
وَجَنَّاتٌ مِنْ أَعْنَابٍ وَزَرْعٌ وَنَخِيْلٌ صِنْوَانٌ وَغَيْرُ صِنْوَانٍ
يُسْقَى بِمَاءٍ وَاحِدٍ وَنُفَضِّلُ بَعْضَهَا عَلَى بَعْضٍ فِي اْلأُكُلِ إِنَّ
فِيْ ذَلِكَ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَعْقِلُوْنَ
“Dan di bumi
ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan, dan kebun-kebun anggur,
tanaman-tanaman dan pohon korma yang bercabang dan yang tidak bercabang,
disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebagian tanaman-tanaman itu
atas sebagian yang lain tentang rasanya. Sesungguhnya pada yang demikian itu
terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.” (Ar-Ra’d: 4)
Sebaliknya
Allah mencela orang yang tidak berakal seperti dalam ayat-Nya:
وَقَالُوْا لَوْ كُنَّا نَسْمَعُ أَوْ
نَعْقِلُ مَا كُنَّا فِيْ أَصْحَابِ السَّعِيْرِ
“Dan mereka
berkata: ‘Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu), niscaya
tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala’.” (Al-Mulk:
10)
Ibnu
Taimiyyah rahimahullah mengatakan: “(Maknanya yaitu) tidak berakal dan tidak
punya tamyiz (daya pemilah)… Bagaimanapun (hal itu) tidak terpuji dari sisi
itu, sehingga tidaklah terdapat dalam kitab Allah Subhanahu wa ta’ala serta
dalam Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam pujian dan sanjungan bagi
yang tidak berakal serta tidak punya tamyiz dan ilmu. Bahkan Allah Subhanahu wa
ta’ala telah memuji amal, akal dan pemahaman bukan hanya dalam satu tempat,
serta mencela keadaan yang sebaliknya di beberapa tempat…” (Al-Istiqamah,
2/157)
Kitapun dapat
melihat agama Islam dalam ajarannya memberikan beberapa bentuk kemuliaan
terhadap akal, seperti:
1. Allah
Subhanahu wa ta’ala menjadikan akal sebagai tempat bergantungnya hukum sehingga
orang yang tidak berakal tidak dibebani hukum. Nabi Shalllahu ‘alaihi wassalam
bersabda:
رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ
الْمَجْنُوْنِ الْمَغْلُوْبِ عَلىَ عَقْلِهِ حَتَّى يَبْرَأَ وَعَنِ النَّائِمِ
حَتَّى يَسْتَيْقَظَ وَعَنِ الصَّبِيِّ حَتَّى يَحْتَلِمُ
“Pena
diangkat dari tiga golongan: orang yang gila yang akalnya tertutup sampai
sembuh, orang yang tidur sehingga bangun, dan anak kecil sehingga baligh.” (HR.
Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, dan Ad-Daruquthni dari shahabat ‘Ali dan Ibnu ‘Umar,
Asy-Syaikh Al-Albani mengatakan: “Shahih” dalam Shahih Jami’, no. 3512)
2. Islam
menjadikan akal sebagai salah satu dari lima perkara yang harus dilindungi
yaitu: agama, akal, harta, jiwa dan kehormatan. (Al-Islam Dinun Kamil hal.
34-35)
3. Allah
Subhanahu wa ta’ala mengharamkan khamr untuk menjaga akal. Allah Subhanahu wa
ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا
إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَاْلأَنْصَابُ وَاْلأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِنْ
عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ
“Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk
perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”
(Al-Maidah: 90)
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٍ
“Setiap yang
memabukkan itu haram.” (Muttafaqun ‘alaihi dari Abu Musa Al-Asy‘ari)
Asy-Syinqithi
rahimahullah mengatakan: “Dalam rangka menjaga akal maka wajib ditegakkan had
bagi peminum khamr.” (Al-Islam Dinun Kamil, hal. 34-35)
4. Tegaknya
dakwah kepada keimanan berdasarkan kepuasan (kemantapan) akal. Artinya,
keimanan tidak berarti mematikan akal, bahkan Islam menyuruh akal untuk beramal
pada bidangnya sehingga mendukung kekuatan iman dan tidak ada ajaran manapun
yang memuliakan akal sebagaimana Islam memuliakannya, tidak menyepelekan dan
tidak pula berlebihan. Sedangkan yang dilakukan para pengkultus akal yang
mereka beritikad memuliakan akal, pada hakikatnya mereka justru menghinakan
akal serta menyiksanya karena mambebani akal dengan sesuatu yang tidak mampu.
As-Safarini
rahimahullah berkata: “Allah Subhanahu wa ta’ala menciptakan akal dan
memberinya kekuatan adalah untuk berpikir dan Allah Subhanahu wa ta’ala
menjadikan padanya batas yang ia harus berhenti padanya dari sisi berfikirnya
bukan dari sisi ia menerima karunia Ilahi. Jika akal menggunakan daya pikirnya
pada lingkup dan batasnya serta memaksimalkan pengkajiannya, ia akan tepat
(menentukan) dengan ijin Allah. Tetapi jika ia menggunakan akalnya di luar
lingkup dan batasnya yang Allah Subhanahu wa ta’ala telah tetapkan maka ia akan
membabi buta…” (Lawami’ul Anwar Al-Bahiyyah, hal. 1105)
Untuk itu
kita perlu mengetahui di mana sesungguhnya bidangnya akal. Intinya bahwa akal
tidak mampu menjangkau perkara-perkara ghaib di balik alam nyata yang kita
saksikan ini, seperti pengetahuan tentang Allah Subhanahu wa ta’ala dan
sifat-sifat-Nya, arwah, surga dan neraka yang semua itu hanya dapat diketahui
melalui wahyu.
Nabi
Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
تَفَكَّرُوْا فِيْ أَلاَءِ اللهِ وَلاَ
تَفَكَّرُوْا فِيْ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ
“Berpikirlah
pada makhluk-makhluk Allah dan jangan berpikir pada Dzat Allah.” (HR.
Ath-Thabrani, Al-Lalikai dan Al-Baihaqi dari Ibnu ‘Umar, lihat Ash-Shahihah no.
1788 dan Asy-Syaikh Al-Albani menghasankannya)
وَيَسْأَلُوْنَكَ عَنِ الرُّوْحِ قُلِ
الرُّوْحُ مِنْ أَمْرِ رَبِّي وَمَا أُوْتِيْتُمْ مِنَ الْعِلْمِ إِلاَّ قَلِيْلاً
“Dan mereka
bertanya kepadamu tentang roh. Katakanlah: ‘Roh itu termasuk urusan Tuhan-ku,
dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit’.” (Al-Isra: 85)
Oleh
karenanya, akal diperintahkan untuk pasrah dan mengamalkan perintah syariat
meskipun ia tidak mengetahui hikmah di balik perintah itu. Karena, tidak semua
hikmah dan sebab di balik hukum syariat bisa manusia ketahui. Yang terjadi,
justru terlalu banyak hal yang tidak manusia ketahui sehingga akal wajib tunduk
kepada syariat.
Diumpamakan
oleh para ulama bahwa kedudukan antara akal dengan syariat bagaikan kedudukan
seorang awam dengan seorang mujtahid. Ketika ada seseorang yang ingin meminta
fatwa dan tidak tahu mujtahid yang berfatwa (tidak tahu harus ke mana minta
fatwa), maka orang awam itu pun menunjukkannya kepada mujtahid. Setelah
mendapat fatwa, terjadi perbedaan pendapat antara mujtahid yang berfatwa dengan
orang awam yang tadi menunjuki orang tersebut. Tentunya bagi yang meminta fatwa
harus mengambil pendapat sang mujtahid yang berfatwa dan tidak mengambil
pendapat orang awam tersebut karena orang awam itu telah mengakui keilmuan sang
mujtahid dan bahwa dia (mujtahid) lebih tahu (lebih berilmu). (Lihat Syarh
Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 201)
Al-Imam
Az-Zuhri t mengatakan: “Risalah datang dari Allah, kewajiban Rasul menyampaikan
dan kewajiban kita menerima.” (Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 201)
Orang yang
menggunakan akal tidak pada tempatnya, berarti ia telah menyalahgunakan dan
melakukan kezaliman terhadap akalnya. Sesungguhnya madzhab filasafat dan ahli
kalam yang ingin memuliakan akal dan mengangkatnya –demikian perkataan mereka–
belum dan sama sekali tidak akan mencapai sepersepuluh dari sepersepuluh apa
yang telah dicapai Islam dalam memuliakan akal -ini jika kita tidak mengatakan
mereka telah berbuat jahat dengan sejahat-jahatnya terhadap akal. Di mana ia
memaksakan akal masuk ke tempat yang tidak mungkin mendapatkan jalan ke sana.
(Minhajul Istidlal, dinukil dari Al-’Aqlaniyyun hal. 21)
Akal yang
terpuji dan akal yang tercela
Menengok
penjelasan yang telah lalu, dapat disimpulkan bahwa penggunaan akal terkadang
terpuji, yaitu ketika pada tempatnya. Dan terkadang tercela yaitu ketika bukan
pada tempatnya. Adapun pendapat akal yang terpuji, secara ringkas adalah yang
sesuai dengan syariat dengan tetap mengutamakan dalil syariat. Sedang akal yang
tercela adalah sebagaimana disimpulkan Ibnul Qayyim yang menyebutkan bahwa
pendapat akal yang tercela itu ada beberapa macam:
1. Pendapat
akal yang menyelisihi nash Al Qur’an atau As Sunnah.
2. Berbicara
masalah agama dengan prasangka dan perkiraan yang dibarengi dengan sikap
menyepelekan mempelajari nash-nash, memahaminya serta mengambil hukum darinya.
3. Pendapat
akal yang berakibat menolak asma (nama-nama) Allah I, sifat-sifat dan
perbuatan-Nya dengan teori atau qiyas (analogi) yang batil yang dibuat oleh
para pengikut filsafat.
4. Pendapat
yang mengakibatkan tumbuhnya bid’ah dan matinya As Sunnah.
5. Berbicara
dalam hukum-hukum syariat sekedar dengan anggapan baik (dari dirinya) dan
prasangka. (Lihat I’lam Muwaqqi’in, 1/104-106, Al-Intishar, hal. 21, 24,
Al-’Aql wa Manzilatuhu)
Jadi,
manakala kita mengambil sebuah kesimpulan dengan akal kita, kemudian ternyata
hasilnya adalah salah satu dari lima yang tersebut di atas maka yakinlah bahwa
itu pendapat yang tercela dan salah. Ia harus ditinggalkan dan menundukkan akal
di hadapan kepada syariat.
Akal yang
sehat tidak akan menyelisihi syariat
Disebutkan
dalam kaidah ahlul kalam ringkasnya bahwa tatkala bertentangan antara akal dan
wahyu maka mesti dikedepankan akal. (Asasuttaqdis, hal. 172-173)
Dengan
prinsip ini, mereka menolak sekian banyak nash yang shahih dulu maupun
sekarang. Tentu kita tahu bahwa pendapat mereka adalah salah dan sangat
berbahaya. Untuk mengetahui bathilnya pendapat mereka dengan singkat dan mudah
cukup dengan kita merujuk kepada lima hal yang disebutkan Ibnul Qayyim di atas.
Lebih rinci
para ulama seperti Ibnu Taimiyyah menjelaskan: Sesuatu yang diketahui dengan
jelas oleh akal, sulit dibayangkan akan bartentangan dengan syariat sama
sekali. Bahkan dalil naqli yang shahih tidak akan bertentangan dengan akal yang
lurus, sama sekali. Saya telah memperhatikan hal itu pada kebanyakan hal yang
diperselisihkan oleh manusia. Saya dapati, sesuatu yang menyelisihi nash yang
shahih dan jelas adalah syubhat yang rusak dan diketahui kebatilannya dengan
akal. Bahkan diketahui dengan akal kebenaran kebalikan dari hal tersebut yang
sesuai dengan syariat. Kita tahu bahwa para Rasul tidak memberikan kabar dengan
sesuatu yang mustahil menurut akal tapi (terkadang) mengabarkan sesuatu yang
membuat akal terkesima. Para Rasul itu tidak mengabarkan sesuatu yang diketahui
oleh akal sebagai sesuatu yang tidak benar namun (terkadang) akal tidak mampu
untuk menjangkaunya.
Karena itu
wajib bagi orang-orang Mu’tazilah yang menjadikan akal mereka sebagai hakim
terhadap nash-nash wahyu, demikian pula bagi mereka yang berjalan di atas jalan
mereka serta meniti jejak mereka agar mengetahui bahwa tidak terdapat satu
haditspun di muka bumi yang bertentangan dengan akal kecuali hadits itu lemah
atau palsu. Wajib bagi mereka untuk menyelisishi kaidah kelompok Mu’tazilah,
kapan terjadi pertentangan antara akal dan syariat menurut mereka maka wajib
untuk mengedepankan syariat. Karena akal telah membenarkan syariat dalam segala
apa yang ia kabarkan sedang syariat tidak membenarkan segala apa yang
dikabarkan oleh akal. Demikian pula kebenaran syariat tidak tergantung dengan
semua yang dikabarkan oleh akal.” (Dar’u Ta’arrudhil ‘Aql wan Naql, 1/155, 138)
Ketika dalil
bertentangan dengan akal
Hal ini
berangkat dari ajaran Al Qur’an dan As Sunnah yang mengharuskan kita untuk
selalu kembali kepada dalil. Demikian pula anjuran para shahabat yang
berpengalaman dengan Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam dan mengalami kejadian
turunnya wahyu. Seperti dikatakan oleh ‘Umar bin Al-Khaththab: “Wahai manusia,
curigailah akal kalian terhadap agama ini.” (Riwayat Ath-Thabrani, lihat
Marwiyyat Ghazwah Al-Hudaibiyyah, hal. 177, 301)
Beliau
mengatakan demikian karena pernah membantah keputusan Nabi Shallallahu ‘alaihi
wassalamdengan pendapatnya, walaupun pada akhirnya tunduk. Beliau pada akhirnya
melihat ternyata maslahat dari keputusan Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam
begitu besar dan tidak terjangkau oleh pikirannya.
Oleh
karenanya, Ibnul Qayyim mengatakan: “Jika dalil naqli bertentangan dengan akal,
maka yang diambil adalah dalil naqli yang shahih dan akal itu dibuang dan
ditaruh di bawah kaki, tempatkan di mana Allah meletakkannya dan menempatkan
para pemiliknya.” (Mukhtashar As-Shawa’iq, hal. 82-83 dinukil dari Mauqif
Al-Madrasah Al-‘Aqliyyah, 1/61-63)
Abul
Muzhaffar As-Sam’ani ketika menerangkan Aqidah Ahlus Sunnah berkata: “Adapun
para pengikut kebenaran mereka menjadikan Kitab dan Sunnah sebagai panutan
mereka dan mencari agama dari keduanya. Apa yang terbetik dalam akal dan benak,
mereka hadapkan kepada Kitab dan Sunnah. Kalau mereka dapati sesuai dengan
keduanya, mereka terima dan bersyukur kepada Allah di mana Allah perlihatkan
hal itu dan memberi mereka taufik-Nya. Tapi jika tidak sesuai dengan keduanya,
maka mereka meninggalkannya dan mengambil Al Kitab dan As Sunnah kemudian
menuduh salah terhadap akal mereka. Karena sesungguhnya keduanya (Al Kitab dan
As Sunnah) tidak akan menunjukkan kecuali kepada yang hak sedang pendapat
manusia kadang benar kadang salah.” (Al-Intishar li Ahlil Hadits hal. 99)
Bila akal
didahulukan
Jika akal
didahulukan maka akan tergelincir pada sekian banyak bahaya:
1. Menyerupai
Iblis semoga Allah melaknatinya ketika diperintahkan untuk sujud kepada Nabi
Adam alaihi salam, kemudian ia membangkang dan menentang dengan akalnya.
قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلاَّ تَسْجُدَ إِذْ
أَمَرْتُكَ قَالَ أَنَا خَيْرٌ مِنْهُ خَلَقْتَنِي مِنْ نَارٍ وَخَلَقْتَهُ مِنْ طِينٍْ
“Allah
berfirman: ‘Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku
menyuruhmu?’ Iblis menjawab: ‘Saya lebih baik daripadanya: Engkau ciptakan saya
dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah’.” (Al-A’raf: 12)
2. Menyerupai
orang kafir yang menolak keputusan Allah dengan akal mereka, seperti
penentangan mereka terhadap kenabian Nabi Muhammad r. Mereka katakan:
وَقَالُوْا لَوْلاَ نُزِّلَ هَذَا
الْقُرْآنُ عَلَى رَجُلٍ مِنَ الْقَرْيَتَيْنِ عَظِيْمٍ
“Dan mereka
berkata: ‘Mengapa Al Qur’an ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari
salah satu dua negeri (Makkah dan Thaif) ini?’.” (Az-Zukhruf: 31)
3. Tidak
mengambil faidah dari Rasul sedikitpun karena mereka tidak merujuk kepadanya
pada perkara-perkara ketuhanan. Sehingga adanya Rasul menurut mereka seperti
tidak ada. Keadaan mereka bahkan lebih jelek karena mereka tidak mengambil
manfaat sedikitpun justru butuh untuk menolaknya.
4. Mengikuti
hawa nafsu dan keinginan jiwa. Allah berfirman:
فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيْبُوْا لَكَ فَاعْلَمْ
أَنَّمَا يَتَّبِعُوْنَ أَهْوَاءَهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنَ اتَّبَعَ هَوَاهُ
بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِيْنَ
“Maka jika
mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah bahwa sesungguhnya mereka
hanyalah mengikuti hawa nafsu mereka (belaka). Dan siapakah yang lebih sesat
daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari
Allah sedikitpun. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang
yang zalim.” (Al-Qashash: 50)
5.
Menyebabkan kerusakan di muka bumi, sebagaimana perkataan Ibnul Qayyim.
6. Berkata
dengan mengatasnamakan Allah dan Rasul-Nya tanpa ilmu.
فَإِنْ لَمْ يَسْتَجِيْبُوْا لَكَ
فَاعْلَمْ أَنَّمَا يَتَّبِعُوْنَ أَهْوَاءَهُمْ وَمَنْ أَضَلُّ مِمَّنَ اتَّبَعَ
هَوَاهُ بِغَيْرِ هُدًى مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ
الظَّالِمِيْنَ
“Dan di
antara manusia ada orang-orang yang membantah tentang Allah tanpa ilmu
pengetahuan, tanpa petunjuk dan tanpa kitab (wahyu) yang bercahaya.” (Al-Hajj:
8)
Ini termasuk
larangan terbesar.
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ
الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَاْلإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ
الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوْا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ
تَقُوْلُوْا عَلَى اللَّهِ مَا لاَ تَعْلَمُونَ
“Katakanlah:
‘Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang
tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar,
(mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan
hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang
tidak kamu ketahui’.” (Al-A’raf: 33)
7.
Menyebabkan perbedaan dan perpecahan pendapat.
8. Terjatuh
dalam keraguan dan bimbang. [Al-Mauqih, 1/81-92]
Pantaslah
kalau Al-Imam Adz-Dzahabi mengatakan tentang orang-orang yang tetap
mengedepankan akalnya: “Jika kamu melihat ahlul kalam ahli bid’ah mengatakan:
‘Tinggalkan kami dari Al Qur’an dan hadits ahad dan tampilkan akal,’ maka
ketahuilah bahwa ia adalah Abu Jahal.” (Siyar A’lamin Nubala, 4/472)
Dikutip dari http://www.asysyariah.com
Penulis: Al Ustadz Qomar Suaidi Lc, Judul: Kedudukan Akal Dalam Islam
0 komentar:
Posting Komentar