Anjuran Puasa Muharram
Bulan mulia, bulan Muharram sebentar lagi akan
menghampiri kita. Bulan tersebut disebut di sebagian kalangan dengan bulan Suro
dan identik dengan hal-hal seram dan sial sehingga hajatan-hajatan tidak boleh
dilaksanakan pada bulan tersebut. Padahal islam tidak menganggap demikian. Di
bulan tersebut adalah kesempatan untuk beramal sholih, terutama puasa, lebih
utama lagi jika mendapati hari Asyura (10 Muharram).
Anjuran Puasa Muharram
Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam mendorong kita
melakukan puasa pada bulan Muharram sebagaimana sabdanya,
أَفْضَلُ
الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلاَةِ
بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلاَةُ اللَّيْلِ
“Puasa yang
paling utama setelah (puasa) Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah – Muharram.
Sementara shalat yang paling utama setelah shalat wajib adalah shalat malam.”
(HR. Muslim no. 1163, dari Abu Hurairah).
Imam Nawawi
–rahimahullah– menjelaskan, “Hadits ini merupakan penegasan bahwa sebaik-baik
bulan untuk berpuasa adalah pada bulan Muharram.” (Syarh Shahih Muslim, 8: 55)
Lalu
mengapa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam diketahui banyak berpuasa di bulan
Sya’ban bukan malah bulan Muharram? Ada dua jawaban yang dikemukakan oleh Imam
Nawawi.
1- Mungkin
saja Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam baru mengetahui keutamaan banyak
berpuasa di bulan Muharram di akhir hayat hidup beliau.
2- Boleh
jadi pula beliau memiliki udzur ketika berada di bulan Muharram (seperti
bersafar atau sakit) sehingga tidak sempat menunaikan banyak puasa pada bulan
Muharram. (Lihat Syarh Shahih Muslim, 8: 55)
Ibnu Rajab
Al Hambali mengatakan, “Puasa yang paling utama di antara bulan-bulan haram
(Dzulqo’dah, Dzulhijah, Muharram, Rajab -pen) adalah puasa di bulan Muharram
(syahrullah).” (Lathoif Al Ma’arif, hal. 67)
Sesuai
penjelasan Ibnu Rajab, puasa sunnah (tathowwu’) ada dua macam:
1- Puasa
sunnah muthlaq. Sebaik-baik puasa sunnah muthlaq adalah puasa di bulan
Muharram.
2- Puasa
sunnah sebelum dan sesudah yang mengiringi puasa wajib di bulan Ramadhan.
Contoh puasa ini adalah puasa enam hari di bulan Syawal. (Lihat Lathoif Al
Ma’arif, hal. 66)
Jadi,
penjelasan di atas dapat dipahami bahwa puasa sunnah mutlaq yang paling afdhol
adalah puasa Muharram. Sedangkan puasa muqoyyad (yang ada kaitan dengan waktu
tertentu atau berkaitan dengan puasa Ramadhan), maka yang lebih afhol adalah
puasa enam hari di bulan Syawal. Puasa Syawal dari sisi ini lebih afhdol dari
puasa Muharram. Puasa Syawal tersebut berkaitan dengan puasa Ramadhan. Oleh
karenanya puasa tersebut seperti shalat sunnah rawatib yang mengiringi shalat
wajib. Puasa Arafah juga bisa lebih baik dari puasa Muharram dari sisi puasa
Arafah sebagai sunnah yang rutin. (Penjelasan Syaikh Kholid bin Su’ud Al
Bulaihad di sini)
Di antara
sahabat yang gemar melakukan puasa pada bulan-bulan haram (termasuk bulan haram
adalah Muharram) yaitu ‘Umar, Aisyah dan Abu Tholhah. Bahkan Ibnu ‘Umar dan Al
Hasan Al Bashri gemar melakukan puasa pada setiap bulan haram (Lihat Latho-if
Al Ma’arif, hal. 71). Bulan haram adalah bulan Dzulqo’dah, Dzulhijah, Muharram
dan Rajab.
Banyak
Berpuasa, Tidak Mesti Sebulan Penuh
Penjelasan
di atas menunjukkan bahwa kaum muslimin dianjurkan memperbanyak puasa pada
bulan Muharram. Jika tidak mampu, berpuasalah sesuai kemampuannya. Namun yang
lebih tepat adalah tidak berpuasa Muharram sebulan penuh. ‘Aisyah radhiyallahu
‘anhu berkata,
وَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ قَطُّ إِلاَّ رَمَضَانَ
وَمَا رَأَيْتُهُ فِى شَهْرٍ أَكْثَرَ مِنْهُ صِيَامًا فِى شَعْبَانَ
“Aku tidak
pernah melihat Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- berpuasa sebulan
penuh selain di bulan Ramadhan. Aku tidak pernah melihat beliau banyak puasa
dalam sebulan selain pada bulan Sya’ban.” (HR. Muslim no. 1156). (Lihat
penjelasan Syaikh Kholid bin Su’ud Al Bulaihad di sini)
Yang Lebih
Afdhol, Puasa Asyura
Dari sekian
hari di bulan Muharram, yang lebih afhol adalah puasa hari ‘Asyura, yaitu pada
10 Muharram. Abu Qotadah Al Anshoriy berkata,
وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ
عَرَفَةَ فَقَالَ « يُكَفِّرُ السَّنَةَ الْمَاضِيَةَ وَالْبَاقِيَةَ ». قَالَ
وَسُئِلَ عَنْ صَوْمِ يَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ « يُكَفِّرُ السَّنَةَ
الْمَاضِيَةَ
“Nabi
shallallahu ’alaihi wa sallam ditanya mengenai keutamaan puasa Arafah? Beliau
menjawab, ”Puasa Arafah akan menghapus dosa setahun yang lalu dan setahun yang
akan datang.” Beliau juga ditanya mengenai keistimewaan puasa ’Asyura? Beliau
menjawab, ”Puasa ’Asyura akan menghapus dosa setahun yang lalu.”(HR. Muslim no.
1162).
Selisihi
Yahudi dengan Menambah Puasa Tasu’a (9 Muharram)
Namun dalam
rangka menyelisihi Yahudi, kita diperintahkan berpuasa pada hari sebelumnya,
yaitu berpuasa pada hari kesembilan (tasu’a). Ibnu Abbas radhiyallahu ’anhuma
berkata bahwa ketika Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melakukan puasa hari
’Asyura dan memerintahkan kaum muslimin untuk melakukannya, pada saat itu ada
yang berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ
يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى.
“Wahai
Rasulullah, hari ini adalah hari yang diagungkan oleh Yahudi dan Nashrani.”
Lantas beliau mengatakan,
فَإِذَا كَانَ الْعَامُ
الْمُقْبِلُ – إِنْ شَاءَ اللَّهُ – صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ
“Apabila
tiba tahun depan –insya Allah (jika Allah menghendaki)- kita akan berpuasa pula
pada hari kesembilan.” Ibnu Abbas mengatakan,
فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ
الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-.
“Belum
sampai tahun depan, Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam sudah keburu meninggal
dunia.” (HR. Muslim no. 1134)
Imam Asy
Syafi’i dan ulama Syafi’iyyah, Imam Ahmad, Ishaq dan selainnya mengatakan bahwa
dianjurkan (disunnahkan) berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh sekaligus;
karena Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam berpuasa pada hari kesepuluh dan
berniat (berkeinginan) berpuasa juga pada hari kesembilan. (Lihat Syarh Muslim,
8: 12-13)
Ibnu Rajab
mengatakan, ”Di antara ulama yang menganjurkan berpuasa pada tanggal 9 dan 10
Muharram sekaligus adalah Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad, dan Ishaq. Adapun Imam
Abu Hanifah menganggap makruh jika seseorang hanya berpuasa pada hari kesepuluh
saja.” (Lihat Latho-if Al Ma’arif, hal. 99)
Apa Hikmah
Menambah Puasa pada Hari Kesembilan?
Sebagian
ulama mengatakan bahwa sebab Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bepuasa pada
hari kesepuluh sekaligus kesembilan agar tidak tasyabbuh (menyerupai) orang
Yahudi yang hanya berpuasa pada hari kesepuluh saja. Dalam hadits Ibnu Abbas
juga terdapat isyarat mengenai hal ini. Ada juga yang mengatakan bahwa hal ini
untuk kehati-hatian, siapa tahu salah dalam penentuan hari ’Asyura’ (tanggal 10
Muharram). Pendapat yang menyatakan bahwa Nabi menambah hari kesembilan agar
tidak menyerupai puasa Yahudi adalah pendapat yang lebih kuat. Wallahu a’lam.
(Lihat Syarh Muslim, 8: 12-13)
Sebagaimana
penjelasan dari Syaikh Ibrahim Ar Ruhaili, kita lebih baik berpuasa dua hari
sekaligus yaitu pada tanggal 9 dan 10 Muharram karena dalam melakukan puasa
‘Asyura ada dua tingkatan yaitu:
1-
Tingkatan yang lebih sempurna adalah berpuasa pada 9 dan 10 Muharram sekaligus.
2-
Tingkatan di bawahnya adalah berpuasa pada 10 Muharram saja. (Lihat Tajridul
Ittiba’, hal. 128)
Syaikh
‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz, mufti Kerajaan Saudi Arabia di masa silam
berkata, “Yang lebih afdhol adalah berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh
dari bulan Muharram karena mengingat hadits (Ibnu ‘Abbas), “Apabila aku masih
diberi kehidupan tahun depan, aku akan berpuasa pada hari kesembilan.” Jika ada
yang berpuasa pada hari kesepuluh dan kesebelas atau berpuasa tiga hari
sekaligus (9, 10 dan 11) maka itu semua baik. Semua ini dengan maksud untuk
menyelisihi Yahudi.” (Lihat Fatwa Syaikh Ibnu Baz di sini).
Semoga
Allah memudahkan kita untuk terus beramal sholih.
—
Muhammad Abduh
Tuasikal, MSc
0 komentar:
Posting Komentar