Agar Kita Turut Merasakan Indahnya Ramadhan (1)
الحمد
لله وحده والصلاة والسلام على من لا نبي بعده، أما بعد
Tamu agung
itu sebentar lagi akan tiba, sudah siapkah kita untuk menyambutnya? Bisa jadi
inilah Ramadhan terakhir kita sebelum menghadap kepada Yang Maha Kuasa. Betapa
banyak orang-orang yang pada tahun kemarin masih berpuasa bersama kita,
melakukan shalat tarawih dan idul fitri di samping kita, namun ternyata sudah
mendahului kita dan sekarang mereka telah berbaring di ‘peristirahatan umum’
ditemani hewan-hewan tanah. Kapankah datang giliran kita?
Dalam dua
buah hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggambarkan kondisi dua
golongan yang saling bertolak belakang kondisi mereka dalam berpuasa dan
melewati bulan Ramadhan:
Golongan
pertama digambarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:
من صام رمضان إيمانا واحتسابا
غفر له ما تقدم من ذنبه
“Barang
siapa yang berpuasa Ramadhan dengan penuh keimanan dan mengharapkan pahala,
maka akan dosanya yang telah lalu akan diampuni.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Golongan
kedua digambarkan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya:
رب صائم حظه من صيامه الجوع
والعطش
“Betapa
banyak orang berpuasa yang hanya memetik lapar dan dahaga.” (HR. Ibnu Majah),
al-Hakim dan dia menshahihkannya. Al-Albani berkata: “Hasan Shahih.”
Akan
termasuk golongan manakah kita? Hal itu tergantung dengan usaha kita dan taufik
dari Allah ta’ala.
Bulan
Ramadhan merupakan momentum agung dari ladang-ladang yang sarat dengan
keistimewaan, satu masa yang menjadi media kompetisi bagi para pelaku kebaikan
dan orang-orang mulia.
Oleh sebab
itu, para ulama telah menggariskan beberapa kiat dalam menyongsong musim-musim
limpahan kebaikan semacam ini, supaya kita turut merasakan nikmatnya bulan suci
ini. Di antara kiat-kiat tersebut (Agar Ramadhan Kita Bermakna Indah, nasihat
yang disampaikan oleh Syaikh kami Dr. Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaili pada malam
Jum’at 27 Sya’ban 1423 H di Masjid Dzun Nurain Madinah. Plus
penjelasan-penjelasan lain dari penyusun):
Kiat
Pertama: Bertawakal kepada Allah Ta’ala
Oleh karena
itu, salah satu teladan dari ulama salaf -sebagaimana yang dikisahkan Mu’alla
bin al-Fadhl- bahwa mereka berdoa kepada Allah dan memohon pada-Nya sejak enam
bulan sebelum Ramadhan tiba agar dapat menjumpai bulan mulia ini dan memudahkan
mereka untuk beribadah di dalamnya. Sikap ini merupakan salah satu perwujudan
tawakal kepada Allah.
Ibnu
Taimiyah menambahkan, bahwa seseorang yang ingin melakukan suatu amalan, dia
berkepentingan dengan beberapa hal yang bersangkutan dengan sebelum beramal,
ketika beramal dan setelah beramal:
a. Adapun
perkara yang dibutuhkan sebelum beramal adalah menunjukkan sikap tawakal kepada
Allah dan semata-mata berharap kepada-Nya agar menolong dan meluruskan
amalannya. Ibnul Qayyim memaparkan bahwa para ulama telah bersepakat bahwa
salah satu indikasi taufik Allah kepada hamba-Nya adalah pertolongan-Nya kepada
hamba-Nya. Sebaliknya, salah satu ciri kenistaan seorang hamba adalah
kebergantungannya kepada kemampuan diri sendiri.
Menghadirkan
rasa tawakal kepada Allah adalah merupakan suatu hal yang paling penting untuk
menyongsong musim-musim ibadah semacam ini; untuk menumbuhkan rasa lemah, tidak
berdaya dan tidak akan mampu menunaikan ibadah dengan sempurna, melainkan
semata dengan taufik dari Allah. Selanjutnya kita juga harus berdoa kepada
Allah agar dipertemukan dengan bulan Ramadhan dan supaya Allah membantu kita
dalam beramal di dalamnya. Ini semua merupakan amalan yang paling agung yang
dapat mendatangkan taufik Allah dalam menjalani bulan Ramadhan.
Kita amat
perlu untuk senantiasa memohon pertolongan Allah ketika akan beramal karena
kita adalah manusia yang disifati oleh Allah ta’ala sebagai makhluk yang lemah:
وخلق الإنسان ضعيفا
“Dan
manusia dijadikan bersifat lemah.” (QS. An-Nisa: 28)
Jika kita
bertawakal kepada Allah dan memohon kepada-Nya, niscaya Dia akan memberi
taufik-Nya pada kita.
b. Di saat
mengerjakan amalan ibadah, poin yang perlu diperhatikan seorang hamba adalah:
ikhlas dan mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dua hal
inilah yang merupakan dua syarat diterimanya suatu amalan di sisi Allah. Banyak
ayat dan hadits yang menegaskan hal ini. Di antaranya: Firman Allah ta’ala,
وما أمروا إلا ليعبدوا الله
مخلصين له الدين
“Padahal
mereka tidaklah diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan
mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya.” (QS. Al-Bayyinah: 5)
Dan sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
من عمل عملا ليس عليه أمرنا
فهو رد
“Barang
siapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami maka amalan
itu akan tertolak.” (HR. Muslim)
c. Usai
beramal, seorang hamba membutuhkan untuk memperbanyak istigfar atas kurang
sempurnanya ia dalam beramal, dan juga butuh untuk memperbanyak hamdalah
(pujian) kepada Allah Yang telah memberinya taufik sehingga bisa beramal.
Apabila seorang hamba bisa mengombinasikan antara hamdalah dan istigfar, maka
dengan izin Allah ta’ala, amalan tersebut akan diterima oleh-Nya.
Hal ini
perlu diperhatikan betul-betul, karena setan senantiasa mengintai manusia
sampai detik akhir setelah selesai amal sekalipun! Makhluk ini mulai
menghias-hiasi amalannya sambil membisikkan, “Hai fulan, kau telah berbuat
begini dan begitu… Kau telah berpuasa Ramadhan… Kau telah shalat malam di bulan
suci… Kau telah menunaikan amalan ini dan itu dengan sempurna…” Dan terus
menghias-hiasinya terhadap seluruh amalan yang telah dilakukan sehingga
tumbuhlah rasa ‘ujub (sombong dan takjub kepada diri sendiri) yang
menghantarkannya ke dalam lembah kehinaan. Juga akan berakibat terkikisnya rasa
rendah diri dan rasa tunduk kepada Allah ta’ala.
Seharusnya
kita tidak terjebak dalam perangkap ‘ujub; pasalnya, orang yang merasa silau
dengan dirinya sendiri (bisa begini dan begitu) serta silau dengan amalannya
berarti dia telah menunjukkan kenistaan, kehinaan dan kekurangan diri serta
amalannya.
Hati-hati
dengan tipu daya setan yang telah bersumpah:
فبما أغويتني لأقعدن لهم
صراطك المستقيم. ثم لآتينهم من بين أيديهم ومن خلفهم وعن أيمانهم وعن شمائلهم
“Karena
Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan
(menghalang-halangi) mereka (para manusia) dari jalan-Mu yang lurus. Kemudian
saya akan mendatangi mereka dari muka dan dari belakang mereka, dari kanan dan
dari kiri mereka.” (QS. Al-A’raf: 16-17)
Kiat Kedua:
Bertaubat Sebelum Ramadhan Tiba
Banyak sekali
dalil yang memerintahkan seorang hamba untuk bertaubat, di antaranya: firman
Allah ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا تُوبُوا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَصُوحاً عَسَى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ
عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا
الْأَنْهَارُ
“Hai
orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang
semurni-murninya, mudah-mudahan Rabb kamu akan menghapuskan
kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga yang mengalir di
bawahnya sungai-sungai.” (QS. At Tahrim: 8)
Kita
diperintahkan untuk senantiasa bertaubat, karena tidak ada seorang pun di
antara kita yang terbebas dari dosa-dosa. Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam
mengingatkan,
كل بنى آدم خطاء وخير
الخطائين التوابون
“Setiap
keturunan Adam itu banyak melakukan dosa dan sebaik-baik orang yang berdosa
adalah yang bertaubat.” (HR. Tirmidzi dan dihasankan isnadnya oleh Syaikh Salim
Al Hilal)
Dosa hanya
akan mengasingkan seorang hamba dari taufik Allah, sehingga dia tidak kuasa
untuk beramal saleh, ini semua hanya merupakan sebagian kecil dari segudang
dampak buruk dosa dan maksiat (lihat Dampak-Dampak dari Maksiat dalam kitab
Ad-Daa’ Wa Ad-Dawaa’ karya Ibnul Qayyim, dan Adz-Dzunub Wa Qubhu Aatsaariha
‘Ala Al-Afrad Wa Asy-Syu’ub karya Muhammad bin Ahmad Sayyid Ahmad hal: 42-48).
Apabila ternyata hamba mau bertaubat kepada Allah ta’ala, maka prahara itu akan
sirna dan Allah akan menganugerahi taufik kepadanya kembali.
Taubat
nasuha atau taubat yang sebenar-benarnya hakikatnya adalah: bertaubat kepada
Allah dari seluruh jenis dosa. Imam Nawawi menjabarkan: Taubat yang sempurna
adalah taubat yang memenuhi empat syarat:
Meninggalkan
maksiat.
Menyesali
kemaksiatan yang telah ia perbuat.
Bertekad
bulat untuk tidak mengulangi maksiat itu selama-lamanya.
Seandainya
maksiat itu berkaitan dengan hak orang lain, maka dia harus mengembalikan hak
itu kepadanya, atau memohon maaf darinya (Lihat: Riyaadhush Shaalihiin, karya
Imam an-Nawawi hal: 37-38)
Ada suatu
kesalahan yang harus diwaspadai: sebagian orang terkadang betul-betul ingin
bertaubat dan bertekad bulat untuk tidak berbuat maksiat, namun hanya di bulan
Ramadhan saja, setelah bulan suci ini berlalu dia kembali berbuat maksiat.
Sebagaimana taubatnya para artis yang ramai-ramai berjilbab di bulan Ramadhan,
namun setelah itu kembali ‘pamer aurat’ sehabis idul fitri.
Ini
merupakan suatu bentuk kejahilan. Seharusnya, tekad bulat untuk tidak
mengulangi perbuatan dosa dan berlepas diri dari maksiat, harus tetap menyala
baik di dalam Ramadhan maupun di bulan-bulan sesudahnya.
Kiat
Ketiga: Membentengi Puasa Kita dari Faktor-Faktor yang Mengurangi Keutuhan
Pahalanya
Sisi lain
yang harus mendapatkan porsi perhatian spesial, bagaimana kita berusaha
membentengi puasa kita dari faktor-faktor yang mengurangi keutuhan pahalanya.
Seperti menggunjing dan berdusta. Dua penyakit ini berkategori bahaya tinggi,
dan sedikit sekali orang yang selamat dari ancamannya.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan:
من لم يدع قول الزور والعمل
به فليس لله حاجة في أن يدع طعامه وشرابه
“Barang
siapa yang tidak meninggalkan kata-kata dusta dan perbuatannya, maka niscaya
Allah tidak akan membutuhkan penahanan dirinya dari makanan dan minuman (tidak
membutuhkan puasanya).” (HR. Bukhari)
Jabir bin
Abdullah menyampaikan petuahnya:
إذا صمت فليصم سمعك وبصرك
ولسانك عن الكذب والمحارم ودع أذى الجار, وليكن عليك وقار وسكينة يوم صومك, ولا
تجعل يوم صومك ويوم فطرك سواء
“Seandainya
kamu berpuasa maka hendaknya pendengaranmu, penglihatanmu dan lisanmu turut
berpuasa dari dusta dan hal-hal haram dan janganlah kamu menyakiti tetangga.
Bersikap tenang dan berwibawalah di hari puasamu. Janganlah kamu jadikan hari
puasamu dan hari tidak berpuasamu sama.” (Lathaa’if al-Ma’arif, karya Ibnu
Rajab al-Hambali, hal: 292)
Orang yang
menahan lisannya dari ghibah dan matanya dari memandang hal-hal yang haram
ketika berpuasa Ramadhan tanpa mengiringinya dengan amalan-amalan sunnah, lebih
baik daripada orang yang berpuasa plus menghidupkan amalan-amalan sunnah, namun
dia tidak berhenti dari dua budaya buruk tadi! Inilah realita mayoritas
masyarakat; ketaatan yang bercampur dengan kemaksiatan.
Umar bin
Abdul ‘Aziz pernah ditanya tentang arti takwa, “Takwa adalah menjalankan
kewajiban dan meninggalkan perbuatan haram”, jawab beliau. Para ulama menegaskan,
“Inilah ketakwaan yang sejati. Adapun mencampur adukkan antara ketaatan dan
kemaksiatan, maka ini tidak masuk dalam bingkai takwa, meski dibarengi dengan
amalan-amalan sunnah.”
Oleh sebab
itu para ulama merasa heran terhadap sosok yang menahan diri (berpuasa) dari
hal-hal yang mubah, tapi masih tetap gemar terhadap dosa. Ibnu Rajab al-Hambali
bertutur, “Kewajiban orang yang berpuasa adalah menahan diri dari hal-hal mubah
dan hal-hal yang terlarang. Mengekang diri dari makanan, minuman dan jima’
(hubungan suami istri), ini sebenarnya hanya sekedar menahan diri dari hal-hal
mubah yang diperbolehkan. Sementara itu ada hal-hal terlarang yang tidak boleh
kita langgar baik di bulan Ramadhan maupun di bulan lainnya. Di bulan suci ini
tentunya larangan tersebut menjadi lebih tegas. Maka sungguh sangat
mengherankan kondisi orang yang berpuasa (menahan diri) dari hal-hal yang pada
dasarnya diperbolehkan seperti makan dan minum, kemudian dia tidak berpuasa
(menahan diri) dan tidak berpaling dari perbuatan-perbuatan yang diharamkan di
sepanjang zaman seperti ghibah, mengadu domba, mencaci, mencela, mengumpat dan
lain-lain. Semua ini merontokkan ganjaran puasa.”
-bersambung
insya Allah-
***
Penulis:
Ustadz Abdullah Zaen, Lc.
0 komentar:
Posting Komentar